Saturday, December 10, 2005

Mikroba Tangguh Bukti Kehidupan di Mars?

Jakarta, Jumat

Mikroba yang memproduksi metana ditemukan pada lapisan es Greenland serta padang pasir yang panas dan kering. Ditemukannya jenis bakteri yang hidup di lingkungan ekstrim tersebut semakin mendukung dugaan bahwa organisme tertentu mungkin dapat bertahan hidup di Mars.
Hewan renik penghasil metana itu ditemukan dalam sampel lapisan es yang diambil pada kedalaman tiga kilometer di bawah Greenland oleh para peneliti dari University of Greenland, Berkeley, AS. "Ini adalah kelompok Archaea (bakteri dan sejenisnya) pertama yang diketahui hidup dalam lingkungan tersebut," kata Buford Price, salah satu tim peneliti yang mempublikasikan temuannya dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Para ilmuwan telah mencatat bahwa konsentrasi metana pada lapisan es yang terendah dan sepanjang 90 meter mencapai sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada lapisan di atasnya. Mereka menduga bahwa tingginya kandungan metana karena adanya populasi mikroba dari golongan metanogen yang menghasilkan metana.
Di lain pihak, metana berkosentrasi tinggi juga ditemukan di atmosfer Mars oleh wahana Mars Express milik Eropa meskipun sumbernya masih belum diketahui. Metana bisa berasal dari aktivitas geologi, misalnya gunung berapi - yang belum terlihat sampai sekarang - atau sumber biologi, misalnya bakteri-bakteri metanogen. Sumber penghasil metana yang terbarukan jelas ada di sana. Sebab, jika tidak, sinar ultraviolet dari matahari seharusnya telah mengurai metana dalam 340 tahun.
Model permukaan Mars
Kelompok peneliti mengambil data di Greenland untuk memodelkan kondisi Mars sebagai salah satu program menyiapkan misi ke sana. Metanogen pada lapisan es yang ditemukan di Greenland tetap hidup pada suhu minus 10 derajat Celcius, tapi dapat memproduksi lebih banyak metana di lingkungan yang lebih hangat.
Untuk memperkirakan kandungan metana di Mars, mereka menganggap mikroba hidup pada suhu 0 derajat Celcius atau lebih. Temperatur sebesar ini berada pada kedalaman 150 meter hingga delapan kilometer di bawah permukaan Mars, tergantung pada jenis batuannya. Dari kedalaman tersebut, dibutuhkan waktu antara 15 tahun hingga 300 ribu tahun agar metana yang dihasilkan terlepas ke atmosfer.
"Menurut pendapat saya, NASA tidak akan menemukan cara untuk mengebor hingga 150 meter di Mars," kata Price, "Tapi, bor sederhana dapat digunakan untuk melihat apa yang dikeluarkan dari kawah-kawah di sana."
Kemudian, sebuah wahana dapat dikirim ke kawah yang lebih besar di mana kandungan metan pada atmosfernya tinggi. Robot penjelajah dapat diturunkan untuk menjelajahi bagian dalam kawah untuk mencari bukti-bukti kehidupan.
Penelitian lainnya yang dilaporkan dalam jurnal Icarus juga menemukan metanogen di lingkungan yang keras di Bumi. Para peneliti mempelajari lusinan tanah dan sampel uap dari lima gurun berbeda di Utah, Idaho, dan Kalifornia serta Kanada dan Chili.
Di sekitar Stasiun Penelitian Gurun Mars, Utah, ditemukan tanda-tanda kehidupan metanogen. Sedangkan kandungan metan dalam sampel gas 300 kali lebih besar daripada tanah sekitarnya.
Salah satu anggota tim Timothy Kral dari University of Arkansas, AS menyatakan bahwa lingkungan yang kering biasanya membinasakan bakteri jenis ini. "Jadi, menemukannya di area yang kering tidak pernah diperkirakan siapa pun sebelumnya," katanya.
Metanogen membutuhkan lingkungan anaerob (tanpa oksigen) untuk bertahan hidup serta kombinasi karbon dioksida dan hidrogen untuk menghasilkan energi. Sampel yang dikumpulkan Kral diperoleh dari lingkungan yang kemungkinan besar anaerob, yaitu lapisan kering pada kedalaman 70 centimeter di bawah gurun.
Permukaan Mars juga sangat kering, sehingga temuan tersebut mendukung dugaan bahwa kandungan metan yang ada di Mars mungkin dihasilkan oleh aktivitas mikroba. Tapi menurut Andrew Knoll, seorang ahli biogeokimia di Harvard University dan anggota tim ilmuwan wahana penjelajah Mars, metanogen mungkin tinggal di sana dengan syarat terdapat oksigen walaupun terbatas serta sumber makanannya.
Sumber asli: NewScientist.com
Penulis: Wah

Sumber : http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0512/09/175212.htm

Friday, December 09, 2005

Indonesia Harus Serius Kembangkan Bioteknologi

JAKARTA--MIOL:
Bangsa Indonesia harus serius mengembangkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayatinya yang melimpah untuk memajukan industri bioteknologinya sebagai faktor potensial meningkatkan perekonomian nasionalnya.
Peneliti Bioisland Kementerian Ristek, Dr Meika Rusli saat menjadi pembicara dalam acara Seminar tentang "Klaster Bioteknologi Dunia dan Rencananya di Indonesia" di Jakarta, Selasa (6/12) mengatakan pemanfaatan biota Indonesia yang menyumbang sekitar 16,7 persen kekayaan hayati dunia, masih belum maksimal.
"Oleh karena itu, Biopark Serpong dibangun untuk menjawab permasalahan teknologi nasional menuju pemanfaatan bioteknologi sebagai faktor potensial peningkatan ekonomi nasional," katanya.
Namun, katanya lagi, hal itu masih membutuhkan kerjasama yang komprehensif antara pemerintah, akademisi, dan kalangan swasta karena selama ini pengembangan sektor industri bioteknologi masih belum mendapat dukungan pemerintah, baik dalam segi pendanaan maupun kebijakan yang kondusif.
"Memang selama ini untuk pengembangan Ristek ada di bawah naungan menteri, tapi yang mempunyai hak membuat kebijakan atau Perpres dalam rangka mendukung pengembangan bioteknologi itu adalah presiden sehingga seorang Menristek tidak bisa berbuat banyak," tegasnya.
Sedangkan kalangan swasta, menurut Meika, sangat diperlukan keberadaannya untuk menanamkan modalnya bagi pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi itu.
Sementara itu, peneliti Bioteknologi LIPI, Dr Arief Witarto mengatakan, konsep Biopark Serpong ini sudah menyerupai klaster Silicon Valley yang ada di Amerika dan Hyderabab India.
Serpong Biopark merupakan satu kawasan yang memiliki fasilitas dan infrastruktur terintegrasi untuk kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi. Tempat yang akan dibangun di Puspiptek Serpong itu nantinya akan menjadi rumah bagi para peneliti dan inkubator industri bioteknologi.
Saat ini, di seluruh dunia, penggunaan bioteknologi telah diarahkan untuk memproduksi material berbagai industri. Bioteknologi itu memanfaatkan mikroba atau organisme hidup demi kepentingan manusia. (Ant/OL-06)

Resistensi Bakteri TBC

Kamis, 4 Agustus 2005 15:15:37

Oleh Andi Utama

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit lama, namun sampai saat ini masih belum bisa dimusnahkan. Jika dilihat secara global, TBC membunuh 2 juta penduduk dunia setiap tahunnya, dimana angka ini melebihi penyakit infeksi lainnya. Bahkan Indonesia adalah negara terbesar ketiga dengan jumlah pasien TBC terbanyak di dunia, setelah Cina dan India. Sulitnya memusnahkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap obat yang digunakan. Karena itu, upaya penemuan obat baru terus dilakukan.


Artikel Selengkapnya di Sumber : http://www.beritaiptek.com/pilihberita.php?id=97&PHPSESSID=fc76a8eb2f4325fe48911973044a7c8e

Beasiswa PhD

International PhD Programme Dresden in Cell Biology, Bioengineering, Developmental Biology, Genetics, Biophysics, Neurobiology and Bioinformatics .

Selection 2006 Application deadline: 2 January 2006
Interview week in Dresden: 13-18 March 2006

selengkapnya: http://www.imprs-mcbb.de/index.html

PIN Polio dan Kesadaran Masyarakat

Kamis, 1 Desember 2005Sejak munculnya wabah polio di Indonesia, pemerintah dengan bantuan WHO dan UNICEF telah memutuskan untuk melakukan PIN sebagai usaha pemberantasan polio di negeri ini. PIN putaran pertama dan kedua masing-masing telah dilaksanakan pada bulan Agustus dan September yang lalu. Putaran ketiga telah dilakukan Rabu (30/11) lalu.


Imunisasi adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi penyebaran virus polio liar. Apalagi imunisasi ini diberikan secara cuma-cuma, sehingga negara harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membiayai program PIN tersebut.


Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan dalam mengantisipasi penyakit polio adalah pencegahan, bukan pengobatan. Hal ini disebabkan, hingga kini belum ditemukan obat yang efektif untuk penyembuhan penyakit ini. Pencegahan dilakukan melalui imunisasi (vaksinasi), yaitu memberikan vaksin polio kepada anak-anak sehingga tercegah dari serangan polio. Dengan meminum vaksin, di dalam tubuh kita akan terbentuk antibodi yang bisa melawan serangan virus polio. Artinya, dengan vaksinasi tubuh kita akan memeroleh "senjata" yang bisa melawan serangan polio. Sebaliknya, orang yang tidak vaksinasi tidak akan memeroleh "senjata" tersebut, sehingga pada saat terinfeksi virus polio, virus akan dengan leluasa berkembang-biak di dalam tubuh dan akhirnya menyebabkan gejala polio.


Program imunisasi juga memutuskan mata rantai penularan virus polio liar. Jika seseorang tidak mendapatkan vaksin polio, virus polio yang menginfeksinya bisa berkembang-biak dan menyebabkan gejala polio. Tidak hanya itu, virus yang keluar dari tubuh seseorang melalui tinja bahkan bisa menular kepada orang lain dan menyebabkan gejala yang sama. Sebaliknya, jika seseorang tersebut divaksinasi, jika satu saat virus polio menginfeksi akan bisa dinetralisasikan oleh antibodi yang terbentuk di dalam tubuh yang dihasilkan dari vaksinasi. Akibatnya, virus polio tidak berkembang biak di dalam tubuhnya, dan secara otomatis tidak menular kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Karena itu, jelas sekali bahwa imunisasi adalah cara yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan virus polio.


Untuk memusnahkan polio dari bumi ini, tahun 1988 WHO mencanangkan program "The Global Polio Eradication Initiative" dibantu oleh UNICEF, Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (The US Centers for Disease Control and Prevention, CDC) dan klub Rotary International. Strategi utama dalam program tersebut adalah imunisasi, baik imunisasi rutin yang diberikan kepada setiap bayi yang lahir maupun imunisasi massal melalui national immunization day (NID), atau di Indonesia lebih dikenal dengan PIN. Dengan program ini, pada 1995 Indonesia telah bebas dari polio. Dan dengan program ini juga, pada 2004 dunia sudah hampir bebas dari polio, di mana endemik polio hanya tinggal di 6 negara, India, Pakistan, Afghanistan, Mesir, Nigeria, dan Niger. Tetapi tahun 2005, wabah polio kembali terjadi di beberapa negara yang sebelumnya sudah bebas dari polio, termasuk Indonesia. Terjadinya wabah disebabkan tidak adanya program imunisasi, baik imunisasi rutin maupun imunisasi massal yang bisa mencakup seluruh balita. Padahal seharusnya program imunisasi polio harus tetap dijalankan selama virus polio masih belum hilang dari bumi ini.


Vaksin Polio


Untuk imunisasi polio ada dua jenis vaksin yang bisa digunakan. Pertama, vaksin yang terbuat dari virus polio yang dinonaktifkan atau lebih dikenal dengan IPV (inactivated polio vaccine). Vaksin ini selain harganya mahal juga memerlukan tenaga medis karena harus diberikan melalui suntikan. Karena itu, untuk program eradikasi polio, WHO tidak mengutamakan penggunaan vaksin ini. Vaksin ini kebanyakan digunakan di negara-negara maju seperti AS dan negara-negara di Eropa.


Kedua, vaksin berupa virus polio hidup yang patogennya telah dilemahkan, atau lebih dikenal dengan OPV (live-attenuated oral polio vaccine). Vaksin ini murah, baik biaya produksi maupun biaya pelaksanaan imunisasinya. Vaksin ini berbentuk sirup sehingga tidak memerlukan tenaga medis khusus dalam pelaksanaan imunisasinya. Begitu juga dengan jarum suntikan, tidak diperlukan pada imunisasi dengan OPV. Selain itu, karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki karakter seperti virus polio alami. Artinya, OPV bisa berkembang-biak di dalam tubuh, mengindus antibodi dan kemudian ke luar bersama tinja. Karena virus yang keluar juga memiliki karakter vaksin OPV, jika menginfeksi ke manusia di sekitarnya juga akan memberikan makna yang sama dengan vaksinasi. Ini juga merupakan kelebihan dari vaksin OPV dibandingkan IPV. Atas pertimbangan ini, WHO lebih menekankan penggunaan OPV dalam program eradikasi polio global. Begitu juga dengan program imunisasi di Indonesia, semuanya menggunakan OPV.


Dari segi keamanan, kedua jenis vaksin pada prinsipnya aman. Ini terbukti dari pemakaian kedua vaksin ini sejak pertama kali digunakan, tahun 1950-an sampai sekarang. Kedua vaksin ini ditemukan pada waktu yang hampir bersamaan. IPV dikembangkan oleh Jonas Salk tahun 1954, sedangkan OPV dikembangkan oleh Albert Sabin (1957). Sampai saat ini vaksin ini masih tetap dipakai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa vaksin ini adalah yang terbaik sampai saat ini.


OPV memiliki banyak kelebihan sehingga dipakai dalam program eradikasi polio global. Walaupun demikian, OPV juga memiliki sedikit kelemahan, yaitu kemungkinan berubah menjadi virus yang patogen. Karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki kemungkinan berubah, termasuk berubah kembali menjadi patogen. Jika terjadi, ini akan berisiko terhadap orang yang mendapatkan vaksinasi. Kasus polio seperti ini dikenal dengan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Tapi perlu diingat bahwa kemungkinan VAPP ini sangat rendah, yaitu 1 kasus dalam 2-3 juta orang. (www.post-polio.org). Dengan kata lain, peluangnya adalah sebesar 0.00003-0.00005%. Jadi, kemungkinan VAPP ini sangat kecil, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Peluang terserang polio jauh lebih besar jika tidak mendapatkan imunisasi. Ini merupakan hal yang perlu dipahami, sehingga diharapkan tidak terjadi salah pengertian yang membuat masyarakat enggan membawa balitanya untuk imunisasi polio.


Untuk melaksanakan program PIN, diperlukan dana besar, sehingga diharapkan program ini berjalan lancar, di mana diharapkan imunisasi dapat mencakupi semua balita yang ada di Indonesia. Berhasil tidaknya program ini sangat ditentukan oleh pengertian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. Jangan sampai masyarakat tidak mau balitanya divaksinasi karena khawatir terjadi sesuatu. Ini adalah pengertian yang tidak benar dan keliru. Perlu dipahami bahwa hanya vaksinasilah yang bisa dilakukan sebagai antisipasi terhadap penyakit polio.

***

Andi Utama Penulis Virolog Puslit Bioteknologi-LIPI.

Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=128296

Tuesday, December 06, 2005

LANGKAN : Temuan Baru Penurun Kolesterol

Peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan penurun kolesterol yang dihasilkan dari fermentasi beras oleh kapang Monascus purpureus. ”Dalam tepung monascus terdapat senyawa aktif utama, yaitu Lovastatin atau Monacolin K yang menghambat kerja enzim HMG-CoA reductase. Enzim ini diketahui sebagai penyebab terbentuknya kolesterol,” urai Djadjat Tisnadjaja MTech, Ketua Tim Peneliti Monascus LIPI, di Jakarta, Kamis (27/10). Dengan mengonsumsi monascus terjadi peningkatan kolesterol baik (HDL) dan penurunan kolesterol buruk (LDL) dalam darah. Diketahui, kelebihan kolesterol buruk yang berlarut dapat menyebabkan pengendapan kolesterol pada arteri (arterosklerosis) hingga mengakibatkan penyakit jantung. Karena itu, bila monascus dikonsumsi secara teratur dapat terhindar dari penyakit itu. Monascus juga diketahui dapat memperbaiki sistem pencernaan. Saat ini monascus telah siap untuk ditingkatkan skala produksinya ke tingkat industri. ”Untuk itu Puslit Bioteknologi LIPI telah siap bekerja sama dengan industri atau investor untuk mengembangkan hasil penelitian ke skala komersial,” ujar Djadjat. (YUN)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/28/humaniora/2162169.htm

"Girls Science Camp 2005"Ulangan dan Kelinci Percobaan Jadi Hambatan

Dalam lomba karya ilmiah ini sebenarnya banyak karya peserta yang cukup inovatif. Sayangnya, waktu penelitian berbarengan dengan musim ulangan. Sampai ada empat finalis yang akhirnya enggak bisa mempresentasikan karya mereka.
"Menurut saya, dalam kehidupan sehari-hari itu yang terkena seriawan anak bayi. Soalnya, anak saya mengalaminya,” ungkap seorang guru. ”Apakah campuran getah dan jeruk nipis itu bisa buat bayi?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada tiga cewek yang berdiri di podium. Wajah Indah, Ifi, dan Cindy tampak agak terkejut. Lantas mereka saling berpandangan dan berdiskusi sebentar. Sementara itu, juri, wartawan, peserta lain, dan guru di depan mereka menantikan jawaban dari cewek-cewek SMP Al Azhar Kelapa Gading, Jakarta, ini. Lantas Cindy mendekati mik, ”Getah jarak rasanya pahit. Campuran yang kami bikin memang buat obat seriawan, tetapi bukan buat bayi. Jadi menurut kami sebaiknya jangan diberikan kepada bayi.” Mendengar jawaban tegas itu, penonton pun bertepuk tangan.
Seperti itulah suasana yang terjadi ketika peserta L’Oreal Girls Science Camp 2005 mempresentasikan karya ilmiah mereka di Auditorium Pusat Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor. Acara yang berlangsung Selasa, 21 Juni 2005, ini adalah lomba karya ilmiah untuk anak-anak SMP. Penyelenggaranya, perusahaan kosmetik L’Oreal. Dan pesertanya cewek semua. Makanya dinamakan L’Oreal Girls Science Camp 2005.
Ada enam kelompok dari enam SMP yang lolos ke babak final ini. Setiap kelompok wajib mempresentasikan karyanya di depan para juri, guru-guru, dan penonton yang hadir. Mereka juga harus bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh siapa pun yang hadir di ruang presentasi tersebut.
Terbentur ulangan
Sebenarnya event yang juga didukung oleh Lembaga Eijkman, Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI ini diikuti oleh 35 SMP se-Jabotabek. Tetapi setelah melalui proses seleksi yang kriterianya meliputi orisinalitas ide penelitian, inovasi, metodologi, dan implikasi, akhirnya ada 10 sekolah yang dinyatakan lolos. Lalu mereka diminta membuat satu kelompok yang terdiri atas tiga orang untuk melakukan penelitian lebih mendalam.
Sayangnya hanya enam kelompok yang bisa melakukan penelitian dan menyerahkan hasil penelitiannya kepada panitia, yaitu SMP Al Azhar Kelapa Gading, Jakarta, SMPN 19 Jakarta, SMP Al Azhar 1 Jakarta, SMP Islam Tugasku, SMP Regina Pacis, Jakarta, dan SMP Islam Harapan Ibu. Empat sekolah lainnya enggak bisa menyelesaikan penelitian karena waktunya bersamaan dengan masa ulangan. Aduh... sayang banget, ya!
Kelompok dari SMPN 19 yang terdiri dari Janita, Norita, dan Yasmin yang penelitian ilmiahnya berjudul Hidroponik Budidaya Lidah Buaya berhasil mengatasi persoalan terlalu sedikitnya waktu yang mereka miliki untuk melakukan penelitian. ”Kebetulan di rumahku ada tumbuhan lidah buaya. Jadi, penelitiannya dilakukan di rumah saja,” kata Janita yang harus menyiram pohon lidah buayanya tiap jam enam pagi dan jam lima sore. ”Mau pohon lain, takut waktunya habis buat cari pohon,” kata Janita.
Banyak kendala
Kelompok dari SMP Regina Pacis, Jakarta, juga mengeluhkan sedikitnya waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian. Akibatnya, masa penelitian mereka harus terpotong-potong karena ada ulangan umum. Padahal, waktu yang sempit itu hanya salah satu kendala yang dihadapi para peneliti muda ini. Masih banyak kendala lain yang menghadang mereka. Misalnya saja yang dialami oleh Indah dan kelompoknya dari SMP AL Azhar Kelapa Gading, Jakarta.
”Kami kesulitan mencari orang yang bersedia jadi obyek uji coba campuran yang kami buat,” ujar Indah. ”Padahal waktu yang kami miliki cuma tiga minggu untuk penelitian dan membuat makalah. Di kompleks rumahku ya enggak ada yang mau. Untungnya ada tetangga guruku yang mau, yaitu seorang bapak dan dua anak. Dalam waktu tiga hari, seriawan mereka sembuh,” ungkap Indah.
Kartika dan kelompoknya dari SMP Islam Harapan Ibu juga kesulitan mendapatkan ”kelinci percobaan”. Tak seorang pun yang rambutnya rontok bersedia jadi obyek penelitian mereka. Akhirnya Kartika, Neta, dan Ayu masing-masing menghitung sendiri berapa helai rambut mereka yang rontok. ”Ternyata, rambutku paling banyak rontoknya. Maka akulah yang dijadikan korbannya, ha-ha-ha...,” ujar Tika, panggilan Kartika.
Sebelum mendapat ide, Tika melihat literatur. Dia tahu kalau jeruk nipis bisa digunakan untuk mencegah munculnya ketombe dan rambut rontok. Tika pikir mengurangi kerontokan boleh juga karena hal itu sering mereka rasakan.
”Kita baru bisa dalam taraf mengurangi kerontokan. Maunya sih, penelitian kita sampai bagaimana supaya rambut enggak rontok. Tetapi waktunya enggak cukup buat meneliti, jadi ya… cuma mengurangi saja,” ungkap Tika.
Akhirnya penelitian Tika dan kelompoknya yang berjudul Jeruk Nipis untuk Mengatasi Kerontokan Rambut berhasil meraih juara kedua. Juara pertamanya adalah Indah dan kawan-kawan dari SMP Islam Al Azhar Kelapa Gading dengan penelitiannya yang berjudul Campuran Jeruk Nipis dan Getah Jarak Pagar sebagai Obat Sariawan. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, campuran kedua elemen tersebut dapat menghasilkan suatu formula yang efektif dalam menyembuhkan seriawan hanya dalam tiga hari dengan rasa yang lebih disukai.
Sedangkan SMP Islam Al Azhar I Kebayoran meraih juara ketiga dengan tema penelitian Pemanfaatan Sukun di Kepulauan Seribu sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk Setempat.
Selain penelitian kelompok, dilombakan juga karya tulis ilmiah perorangan. Untuk kategori ini yang jadi juara pertamanya adalah Gloria Ate, siswi SMPN 1 Cikini. Gloria menyisihkan peserta lainnya dengan karya tulisnya yang berjudul Pengembangan Daerah Aliran Sungai & Kanal di Wilayah Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Masyarakat.
Biar lebih baik
Kalau tujuan utamanya ingin menumbuhkan minat anak SMP pada bidang sains, kelihatannya cukup berhasil ya. Buktinya walau di tengah suasana ulangan umum, cukup banyak juga pesertanya. Belum lagi kalau dilihat dari kualitasnya. Tema atau topik yang diajukan oleh peserta sangat menarik. Selain yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa karya lain yang membuat orang ingin tahu lebih jauh.
Misalnya saja karya tulis ilmiahnya Effika Nurningtyas. Siswi SMP Al Azhar 1 ini mengangkat tema Pemanfaatan Buah Jarak sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti BBM. Di saat harga BBM yang semakin melambung tinggi, tentu karya Effika ini sangat menarik perhatian banyak orang. Iya enggak?
Nah, semoga saja tahun depan lomba ini digelar lagi. Tidak sebatas Jabotabek saja, tetapi bisa lebih luas lagi. Iya dong, cewek-cewek SMP dari luar Jabotabek kan ingin dapat kesempatan juga! Pasti deh akan lebih banyak lagi karya-karya yang berkualitas. Apalagi kalau waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian lebih lama lagi. Hasilnya pasti lebih baik dari yang sekarang.
Oh iya, soal hadiah nih... masak sih untuk juara satu penelitian kelompok, hadiah uangnya cuma Rp 1,2 juta? Kayaknya enggak cukup tuh untuk bikin penelitian baru, he-he-he....!

FITRI HARIYADININGSIH Tim MUDA
Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/24/muda/1836302.htm

5 (Lima) Delegasi Indonesia mengikuti Nobel Prize Winners Meeting di Lindau, Jerman

Kementerian Negara Riset dan Teknologi akan mengirimkan delegasi Indonesia pada the 55th Nobel Laureates Meeting diadakan di Lindau, Jerman pada tanggal 26 Juni – 1 Juli 2005. Hari ini (17/6) sebanyak 5 orang akan diterima Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dr. Kusmayanto Kadiman untuk melakukan bincang-bincang dan juga arahan dari Menegristek sebelum bertolak ke Jerman. Dalam acara ini akan hadir juga Rektor ITB, Rektor UI, Pejabat LIPI, Direktur DAAD dan pejabat Kementerian Riset dan Teknologi serta Alexander P. Hansen, penasehat Menristek untuk Jerman.
Kelima peserta merupakan hasil seleksi yang telah dilakukan sejak Desember 2004 dan telah melampau berbagai proses. Peserta seleksi terdiri dari berbagai lembaga iptek dan perguruan tinggi, sebanyak 18 orang terdiri dari, antara lain: UNDIP, ITS, UI, BPPT, LAPAN, BATAN, LIPI dan ITB. Ke-18 orang tersebut terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan antara lain mahasiswa S1, mahasiswa S2, sarjana S2, dan S3. Untuk proses seleksi ini, Menegristek memberikan kepercayaan kepada Kepala LIPI untuk menjadi ketua tim seleksi dari pihak Indonesia. Minimnya jumlah peminat disebabkan tingginya kualifikasi peserta yang ditentukan oleh Panitia Pertemuan Para Pemenang Nobel (Lindau Committee) termasuk persyaratan usia dan kelengkapan administrasi lainnya.
Seleksi tahap kedua dilakukan pada tanggal 10 Maret 2005. Seleksi kedua dihadiri oleh Dr. Alexander P. Hansen (Penasehat Menegristek dari Jerman), Mrs. Ilonna Krueger – Rechmann (Director DAAD Jakarta), Dr. Anung Kusnowo (LIPI) dan Academic Selection Committee of DAAD dari Jerman yang tengah berada di Jakarta. Akhirnya diputuskan hanya ada 5 orang yang akan menjadi delegasi Indonesia, yaitu:
1. Anto Tri SugiartoUsia : 33 tahun Pendidikan terakhir : PhD in Production Engineering, Guama University, JapanPekerjaan : Peneliti pada Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi LIPI
2. Arief Budi WitartoUsia : 34 tahun Pendidikan terakhir : Doctor of Engineering in Biotechnology, Department of Biotechnology, Tokyo University of Agriculture and Technology, JapanPekerjaan : Peneliti (Kepala Penelitian Bidang Protein Engineering), Divisi Molekular Biologi, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
3. Dian PratiwiUsia : 29 tahunPendidikan terakhir : S1 Kedoketeran Umum Universitas IndonesiaPekerjaan : Mahasiswa S2 Semester 8 jurusan Dermatology and Venereology Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
4. IsmunandarUsia : 35 tahun (per Juni 2005)Pendidikan terakhir : PhD di bidang Kimia Inorganik, University of Sidney Pekerjaan : Dosen Fakultas Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB)
5. Nurul Taufiqu RochmanUsia : 35 tahun (per Agustus 2005) Pendidikan terakhir : S3 – Doctor of Engineering, Material Production Engineering, Kagoshima University, Japan Pekerjaan : Peneliti di LIPI
Sebagai bentuk dukungan terhadap partisipasi Indonesia pada pertemuan para pemenang Nobel, Lindau Committee telah membebaskan biaya pendaftaran sebesar 500 EUR dan boarding and lodging untuk para peserta dari Indonesia
Setelah menghadiri acara di Lindau, delegasi Indonesia akan mengadakan program kunjungan ke laboratorium – laboratorium penelitian yang ada di Jerman antara lain di Constance, Munich, Bonn dan Frankfurt, pada tanggal 4 – 9 Juli 2005. Program kunjungan ini dikoordinir dan didanai oleh Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG), yang memiliki kerjasama bilateral dengan RISTEK. Kedutaan Besar RI di Berlin juga telah menunjukkan perhatian melalui kesediaannya untuk menanggung biaya akomodasi dan mengatur suatu program akhir pekan untuk delegasi Indonesia.
Nobel Laureates Meeting berlangsung setiap tahun dengan mengambil tema secara bergantian di bidang – bidang Fisika, Kimia, Biologi/Medicine. Pada tahun tahun 2000 dan 2005 ini tema pertemuan difokuskan pada “interdisciplinary”, yang membahas bidang yaitu fisika, kimia, biologi/medicine. Para pemenang Nobel akan diundang untuk berpartisipasi sebagai lecturer untuk memberikan presentasi atau kuliah singkat mengenai bidangnya masing – masing. Diskusi panel diikuti oleh seluruh peserta dari berbagai negara yang diadakan pada setiap sesi perkuliahan. Diskusi biasanya mengambil topik permasalahan di bidang fisika, kimia dan biologi/medicine. Selain itu diskusi diarahkan pada bagaimana menjawab tantangan ilmiah maupun sumbangsi ilmu pengetahuan tersebut bagi perkembangan masyarakat.
The 55th Nobel Laureates meeting 2005 dihadiri oleh peserta dari berbagai negara antara lain : USA, Italia, Jerman, Inggris, Perancis, Turki, Romania, Portugal, Lithunia, Rusia, Hongaria, Saudi Arabia, United Arab Emirates, Israel, Portugal, Swedia, Swiss, Venezuela, Brazil, Argentina, Indonesia, India, Cina, Pakistan, Korea, Spanyol, Chile, Bulgaria, Ukraina, Australia, Belgia, dsb.
Untuk peserta dari Asia, India mengirimkan 47 orang delegasi, Cina 34 orang, Korea 7 orang, Jepang 20 orang, Pakistan 10 orang, Singapura 2 orang dan Malaysia 8 orang. Sedangkan Indonesia mengirimkan 5 orang untuk berpartisipasi pada pertemuan tersebut.

Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi

Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...