Wednesday, June 29, 2005

Kloning Terapi Makin Jadi Kenyataan

Minggu, 19 Juni 2005

ISTILAH "kloning" selama ini lebih banyak memberikankesan menakutkan daripada harapan. Ini dikarenakanperkembangan teknologi kloning yang muncul lebih banyak mengarahkepada kloning reproduksi, yaitu membuat individu baruyang identik. Walaupun banyak pula manfaatnya, terutamauntuk peternakan seperti pemuliaan sapi unggul, tetapisangat mudah disalahgunakan untuk menciptakan manusia kloning yangsangat kontroversial.

Kloning yang dinantikan sesungguhnya adalah kloningterapi, yaitu membuat sel, jaringan, sampai organ yangidentik sehingga tidak menimbulkan penolakan untuk keperluanpencangkokan/transplantasi. Ilmuwan dari Korea Selatanberhasil memberikan kontribusi besar menuju kloning terapi itumelalui keberhasilannya mendapatkan sel tunas dariembrio manusia hasil kloning yang dipublikasikan di jurnalScience (19 Mei 2005).

Setahun sebelumnya, kelompok peneliti yang dipimpinoleh Woo Suk Hwang dari Fakultas Kedokteran Hewan,Seoul National University itu, telah berhasil melakukan kloning selmanusia tetapi masih menggunakan sel telur yangmenjadi penerima/akseptor inti sel dan sel somatik/dewasa yangmenjadi pemberi/donor inti sel dari pasien yang sama.

Dalam praktik kloning terapi nanti, hal seperti inijustru jarang terjadi. Seorang pasien laki-laki tidakmungkin menyediakan sel telurnya sendiri karena laki-lakitidak memproduksi sel telur, misalnya. Namun, hasilpenelitian yang dipublikasikan di jurnal Science (12 Maret 2004) itutelah banyak memberikan informasi penting tentang halteknis yang belum diketahui untuk kesuksesan kloning sel manusia.

Dalam tahapan kloning sel, setelah inti sel dari seldewasa ditransfer ke dalam sel telur yang telahdihilangkan intinya, diperlukan waktu untuk sel tersebut didiamkanyang disebut waktu "pemrograman kembali".

Pada saat itu, genom atau keseluruhan DNA dalam intisel yang menjadi cetak biru kehidupan mengalamiadaptasi dari yang sebagian digunakan dan sebagian lagi dimatikanpada sel dewasa menjadi seakan "diformat" kembali.

Setelah itu, sel telur diaktifkan oleh kondisitertentu untuk menjadi embrio. Lalu dikultur dalammedia khusus sehingga embrio berkembang sampai tahap blastosis yangmengandung sel tunas embrio.

Tiga hal penting di atas telah berhasil diperoleh darieksperimen awal ini, yaitu untuk waktu pemrogramankembali diperlukan dua jam. Kemudian, kondisi pengaktifan seltelur lebih baik menggunakan senyawa kimia alami,yaitu calcimycin dan DMAP, pada konsentrasi dan lama waktutertentu daripada dengan cara fisik, seperti medanlistrik atau mekanik yang sebelumnya digunakan.

Terakhir, komposisi media untuk kultur lebih optimaldengan penambahan protein human serum albumin dan gulajenis fruktosa juga pada konsentrasi tertentu.

Berbekal keberhasilan awal itulah, kelompok penelitiyang masih dipimpin oleh peneliti yang sama tetapidengan jumlah anggota yang lebih besar, dari 13 menjadi 24 penelitiitu, mendapatkan pencapaian yang spektakuler dalamwaktu relatif singkat, satu tahun.

Dalam hasil penelitian terbaru ini, sel donor berasaldari pasien laki-laki maupun perempuan dari usia 2tahun sampai 56 tahun.

Untuk lebih mendekatkan pada tujuan kloning terapi,pasien yang memberikan selnya adalah penderitapenyakit yang disebabkan oleh kerusakan sel tertentu sehingga bisadisembuhkan dengan pencangkokan sel normal yang tentusaja harus identik supaya tidak ada penolakan.

Penyakit dan sel yang perlu diganti itu masing-masingadalah penyakit genetik kerusakan imunitas CGH dengansel tunas hematopoetik darah, penyakit kerusakan saraf punggungseperti yang diderita aktor film Superman, ChristopherReeve, dengan sel saraf motorik, dan penyakit diabetes dengansel beta-islet yang memproduksi hormon insulin.

Keberhasilan transfer inti sel dari sejenis sel dewasacukup tinggi, yaitu membutuhkan 5 sampai 48 sel telur,tergantung dari usia perempuan asal sel telur itu,yaitu yang di atas usia 30 tahun umumnya lebih rendah keberhasilannya. Perkembangan embrio hasil kloningsampai menjadi blastosis pun juga tinggi, yaiturata-rata 69,7 persen. Dari blastosis inilah diperoleh sel tunasembrio yang kali ini secara keseluruhan diperoleh 11galur sel. Kebenaran sel tunas embrio itu telah dicek berdasarberbagai penanda berupa aktivitas enzim maupunekspresi protein tertentu. Yang juga penting bahwa sel tunas embrioidentik secara genetik dan imunologi dengan sel pasienyang menjadi donor inti sel telah dikonfirmasi menggunakan beberapasegmen DNA penanda maupun karakterisasi protein MHC dipermukaan sel. Bentuk kromosom sel tunas embrio puntampak normal setelah diamati dengan mikroskop.Terakhir, kemampuan sel embrio tunas untuk berdiferensiasiberubah menjadi sel spesialis telah dicek secara invitro/dalam tabung reaksi maupun in vivo/dalam tubuh.

Setelah keberhasilan ini, apa selanjutnya perkembanganyang dinanti dalam kloning terapi? Bagi pasienpenderita penyakit genetik, perlu dilakukan terapi genetikterhadap sel yang dijadikan donor inti sel agar selembrio tunas yang diperoleh sudah tidak mengandung cacat genetik lagi.Terapi genetik seperti ini telah dikembangkan lebihdulu daripada teknologi kloning sendiri. Setelahberhasil melakukan pencangkokan sel, tantangan berikut adalahpencangkokan jaringan, seperti kulit, pembuluh darah,dan tulang rawan.

Karena jaringan dibentuk oleh sel yang serupa, seltunas embrio hasil kloning dapat ditumbuhkan di atascetakan dari polimer biologi yang sudah dibentuk sesuai denganjaringan yang hendak dibuat. Teknologi rekayasajaringan ini telah dikembangkan sejak tahun 1987 oleh Robert Langer danJoseph Vacanti dari Massachussets, Amerika Serikat.

Sementara pembuatan organ seperti jantung dan hatiyang lebih kompleks membutuhkan waktu penelitian yanglebih lama. Namun jelas, tahapan-tahapan menuju kloning yangbermanfaat untuk kesejahteraan manusia semakin menjadikenyataan dengan keberhasilan tim Korea Selatan ini.

Penulis : Arief B Witarto (Biotek LIPI)
Sumber : Kompas (17 Juni 2005)

No comments:

Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi

Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...