Sebagai imbuhan pakan (feed additive), penambahan COS dalam pakan unggas mampu menekan perkembangan Salmonella dan E. coli dalam usus, meningkatkan imunitas, plus mendongkrak efisiensi pakan.
Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan & Perikanan (2000), Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah air menghasilkan limbah kulit/kepala udang, cangkang kepiting, dan hewan laut lainnya tak kurang dari 56.200 metrik ton. Produk samping itu terbukti kaya akan kitin, yang melalui proses tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebelumnya, kitosan telah diketahui memiliki manfaat sebagai pengawet bahan pangan yang bersifat alami. Siapa mengira kalau sejatinya dari produk buangan tersebut juga dapat dihasilkan produk alternatif yang dapat menggantikan fungsi antibiotik sebagai imbuhan (feed additive) dalam pakan unggas.
Riset membuktikan, dari limbah tersebut dapat dihasilkan Chito-Oligosaccharida (COS), suatu senyawa kompleks golongan gliko-protein yang memiliki ikatan 1,4-b-glukosamin. Dan COS ini memiliki kemampuan menghambat bakteri patogen (antibacteria), menurunkan kadar kolesterol (hypocholesterolemia) serta mampu memacu kekebalan tubuh (immunostimulant).
Penggunaannya dalam pakan unggas seolah menjawab tantangan dan tuntutan konsumen akan penyediaan pangan hewani yang berkualitas dan aman. Ini terkait makin gencarnya kampanye penolakan penggunaan antibiotik sebagai pakan imbuhan (feed additive) yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ternak. Bahkan Masyarakat Uni Eropa (European Union) pada 1998 telah mengeluarkan larangan penggunaan antibiotik kecuali untuk terapi pengobatan.
Sifat Antimikroba & Imunostimulan
Sebagai ’kandidat’ pengganti antibiotik, bahan aditif setidaknya harus memiliki sifat antimikroba. Kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba pathogen tertentu (narrow spectrum) ataupun terhadap total mikroba penggangu (broad spectrum) dalam saluran pencernaan unggas sangat penting agar proses pencernaan dapat maksimal.
Chito-Oligosaccharida (COS) adalah senyawa turunan dari kitosan yang merupakan senyawa hasil proses deasetilasi kitin. Sementara kitin dapat diperoleh melalui 2 tahap proses deproteinasi (penghilangan gugus protein) dan demineralisasi (penghilangan partikel mineral) dari bahan baku limbah perikanan seperti kepala udang, cangkang kepiting maupun hewan laut lainnya.
Dibandingkan dengan antibiotik, kitosan (bahan baku COS) memiliki karakter yang unik yaitu bersifat polikationik yang mampu melindungi protein dan menekan laju pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian Yadav & Bishe (2004) membuktikan kitosan memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Salmonella enterica, bakteri yang pada unggas dapat menjadi penyebab penyakit thypoid yang berujung pada mortalitas (kematian) unggas. Sementara Sofyan dan kawan-kawan (2008) melalui penelitiannya melaporkan, penggunaan kitosan sebagai pakan imbuhan selain dapat menghambat bakteri patogen Escherichia coli juga dapat memperbaiki retensi protein yang berarti meningkatkan efesiensi pakan unggas.
Dalam perkembangannya, kitosan dimodifikasi dengan reaksi penguraian / hidrolisis melalui proses deasetilisasi menjadi Chito-Oligosaccharida (COS). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kitosan agar memiliki khasiat yang lebih. Hasil penelitian Xingzhao-Deng dan kawan-kawan (2008) menyebutkan bahwa penggunaan COS 50-80 mg/kg pada pakan unggas dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam. Disebutkan adanya kenaikan konsentrasi serum TNF-a yang berperan dalam menekan pertumbuhan sel tumor.
Kitosan berperan dalam peningkatan imunitas/kekebalan tubuh yang dindikasikan dengan meningkatnya kadar Imonuglobulin (Ig) darah unggas yang diberi perlakuan pakan mengandung COS. Selain itu, penelitian ini juga menyebut penggunaan COS mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Dengan meningkatnya sistem imunitas dan efisiensi penggunaan pakan, produktivitas unggas meningkat. COS sebagai satu bahan yang berpotensi sebagai ‘antibiotik alternatif’ memiliki nilai lebih aman tanpa menimbulkan residu.
Sifat Antikolesterol
COS juga diyakini memiliki sifat antikolesterol (hypocholesterolemia) bagi ternak. Hasil penelitian Razdan & Peterson (1994) menyebutkan bahwa penambahan kitosan dalam pakan unggas dapat menurunkan kadar kolesterol plasma dan triasilgliserol (pembentuk lemak). Penurunan komponen lemak/lipida tersebut menyebabkan timbunan lemak dan kolesterol pada jaringan otot daging akan menurun sehingga dapat memperbaiki kualitas karkas unggas. Dijelaskan Van Bennekum dan kawan-kawan (2005) dalam hasil risetnya, penurunan kadar kolesterol ini karena kitosan memiliki kemampuan mengikat (binding capacity) asam empedu. Pengikatan asam empedu akan memacu ekskresi (pengeluaran) kolesterol sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan otot/daging.
Peranan COS sebagai antikolesterol juga telah dibuktikan dari penelitian Li bersama rekan-rekannya (2007). Pemberian COS 50-100 mg/kg pakan dikatakan mampu meningkatkan kadar HDL (high density lipoprotein) atau yang dikenal sebagai “kolesterol baik“. HDL ini akan berfungsi mengangkut timbunan kolesterol pada jaringan otot selanjutnya diurai dan dibakar di mitokondria dan sebagian dikeluarkan melalui feses.
Peluang Bisnis COS
Manfaat penggunaan COS sebagai pakan imbuhan dalam mendukung produktivitas unggas dan meningkatkan kualitas produk daging yang sehat diharapkan dapat mendorong munculnya sentra produksi COS dalam skala industri. Produksi COS ini akan memiliki peranan secara ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan. Limbah perikanan yang berpotensi sebagai agen pencemar lingkungan akan termanfaatkan untuk bahan baku pembuatan COS.
Termanfaatkannya limbah sumber kitin ini bakal menjadi peluang usaha memenuhi kebutuhan antibiotik sebagai feed additive yang selama ini sebagian masih mengandalkan pemenuhannya dari produk luar negeri. Pada gilirannya memberi kontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Disisi lain akan meningkatkan nilai tambah (keuntungan) dan daya saing produk perikanan nasional, karena dengan ini bisnis pengolahan (Cold Storage) menganut konsep zero waste system (sistem tanpa limbah).
Tentunya upaya integrasi ini perlu dukungan semua pihak, baik ilmuwan, industri dan pemerintah atau yang dikenal sebagai konsep ABG (Academicians, Businessmen, Goverment). Sudah saatnya industri peternakan dan perikanan menjadi penopang perekonomian bangsa. Suatu usaha agribisnis yang mengintegrasikan peternakan dan perikanan diharapkan berdampak pada kemandirian bangsa dari ketergantungan impor.
Penulis:
Ahmad Sofyan1 & Mukhammad Angwar2
1) Peneliti Bidang Pakan & Nutrisi Ternak, 2) Peneliti Bidang Bahan Alam, pada BPPT Kimia-LIPI, Jogjakarta.
Sumber: Majalah Agribisnis Peternakan dan Perikanan ’Trobos’ edisi 117, Juni 2009. http://www.trobos.com/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...
No comments:
Post a Comment