Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur, yang berbatasan langsung dengan wilayah Timor Timur, seperti wilayah perbatasan umumnya di Indonesia merupakan daerah yang terisolasi karena minimnya sarana transportasi dan ketersediaan energi. Belum lagi adanya keterbatasan lain, terutama menyangkut akses komunikasi dan informasi serta pendidikan.
Mengatasi masalah tersebut, sejak dua tahun lalu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan paket teknologinya melakukan pendekatan yang terintegrasi, termasuk mencari energi alternatif dengan memanfaatkan sumber daya energi lokal, antara lain dari pohon lontar untuk menghasilkan bioetanol. Tujuan akhir dari program di Kabupaten Belu adalah tumbuhnya kemandirian serta meningkatkan standar hidup dan kesejahteraan masyarakat di perbatasan.
Hal tersebut dipaparkan oleh Kepala LIPI Prof Umar A Jenie dalam kunjungan kerjanya di Atambua, Kamis (17/2), untuk meresmikan beroperasinya stasiun pemancar TV, radio, telepon pedesaan, serta instalasi pembuatan es balok untuk pengawetan ikan. Kegiatan ini merupakan bagian dari program kerja 100 hari LIPI.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Dr Joko Sulityo APU, ahli teknologi pangan dari LIPI, Belu merupakan salah satu daerah di Nusa Tenggara Timur yang dikenal sebagai "kepulauan lontar" karena di sini terdapat ratusan ribu pohon lontar. Saat ini tumbuhan alam itu baru dimanfaatkan sekitar 1-2 persen saja untuk gula lontar dan minuman beralkohol.
Potensi itu sebenarnya dapat dikembangkan menjadi bioetanol dan alkohol medik. Pembuatan bioetanol dari lontar saat ini tengah diteliti. Apalagi teknologi pembuatan alkohol medik akan dapat menggerakkan industri rumah tangga melalui pembentukan kelompok usaha di daerah ini.
"Untuk membangun usaha tersebut, diperlukan dana Rp 20 juta per kelompok," urai Joko, yang juga Kepala Konsorsium Pembangunan Agroindustri Terpadu Bogor Agribio.
Belu yang memiliki padang savana yang luas dan kurang produktif, menurut Dr Arjuno Brodjonegoro, Koordinator Program LIPI untuk Wilayah Perbatasan, juga dapat mengembangkan budidaya tanaman jarak pagar dan mengolahnya menjadi minyak jarak. Bahan bakar ini dapat menggantikan minyak tanah yang selama ini harus didatangkan dari luar pulau. Produksi minyak jarak nantinya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga di pedesaan yang banyak bergantung pada sumber energi ini.
Wilayah di sebelah selatan Atambua seluas ratusan hektar itu diketahui dapat ditanami jarak pagar. Pembibitan jarak saat ini tengah dirintis oleh LIPI bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Belu. Penelitian jarak untuk energi ini juga akan melibatkan peneliti dari Institut Teknologi Bandung.
"Untuk menghasilkan minyak jarak, prosesnya relatif sederhana, yaitu dengan cara dipres. Hal ini dapat melibatkan masyarakat setempat," ujarnya.
PLTS
Pemenuhan kebutuhan listrik di Belu saat ini juga merupakan masalah lain. Kebutuhan listrik masyarakat di perbatasan itu, kata Wakil Bupati Belu Gregorius Mau Bili, saat ini masih dipasok dari pembangkit listrik tenaga diesel. Untuk meningkatkan pasokan daya itu di desa-desa yang terpencil, Pemerintah Kabupaten Belu akan bekerja sama dengan BPPT membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Energi matahari di daerah yang bersuhu udara sekitar 40 derajat Celsius itu tergolong potensial.
"Dengan PLTS, masyarakat dapat memperpanjang jam kerja pada malam hari. Melalui sentuhan teknologi, juga dapat dimanfaatkan potensi sumber energi lain, seperti air dan angin. Dengan energi alternatif ini dapat meningkatkan kegiatan usaha dan kesejahteraan keluarga masyarakat Belu," urainya.
Sementara itu, menurut Kepala Puslitbang Bioteknologi LIPI Bambang Prasetyo, etanol juga dapat dihasilkan dari proses biodegradasi bagas atau ampas tebu oleh jamur pelapuh putih (white rot fungi).
Penelitian yang dilakukan Bambang bekerja sama dengan Muhammad Samsuri dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi menggunakan kapang S cerevisiae AM12 menghasilkan enzim selulase (meicellase) untuk mengurai bagas menjadi etanol. Proses penguraian itu adalah fermentasi dan sakarifikasi simultan.
Ia melihat selama ini ampas tebu dibuang begitu saja sehingga menimbulkan pencemaran, seperti yang terjadi di perkebunan dan industri gula di Lampung. Pemanfaatan bagas akan mendatangkan keuntungan tinggi karena bagas sebagai bahan baku dapat diperoleh secara cuma-cuma.
Sumber : Kompas (19 Februari 2005)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...
No comments:
Post a Comment