Sel bahan bakar mulai diminati karena bebas polusi.Koran Tempo menurunkan artikel ilmu pengetahuan tentang kereta api berpenggerak sel bahan bakar yang telah dibuat di Jepang. Tapi kebanyakan sel bahan bakar berbasis katalis kimia dan menggunakan bahan bakar hidrogen serta oksigen. Sehingga penggunaannya terbatas pada mesin-mesin besar, seperti mobil hibrida dan kereta.
Padahal, kalau sel bahan bakar ditujukan untuk pengganti baterai konvensional, tentu harus dapat digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk yang kecil, dari senter, jam dinding, sampai alat medis. Menggunakan sel bahan bakar dengan hidrogen tentu
menjadi tidak efisien untuk kepentingan seperti itu. Tidak adakah alternatif pengembangannya?
Jawabannya ada, yaitu menggunakan sel bahan bakar dari enzim atau dikenal dengan nama biofuel cell.
Sel bahan bakar dari enzim menggunakan bahan bakar glukosa dan enzim PQQ glukosa dehidrogenase sebagai katalis. Glukosa, yang setelah bercampur enzim, akan
menghasilkan senyawa glukono-delta-lakton dan satu elektron.
Ide ini muncul dari alat ukur gula darah yang digunakan penderita diabetes melitus. Alat ukur yang dahulu menggunakan enzim glukosa okidase sekarang diganti enzim PQQ glukosa dehidrogenase yang memiliki akurasi, efisiensi, dan kecepatan ukur lebih baik. Penulis terlibat penelitian itu di Jepang dan Indonesia.
Karena dalam reaksi enzim saat mengukur gula menghasilkan elektron, dalam prinsipnya dapat digunakan untuk membangun sel bahan bakar dari enzim.
Menggunakan enzim PQQ glukosa dehidrogenase sebanyak 100 unit pada anodanya dan enzim bilirubin oksidase sebanyak 5 unit pada katodanya, dalam eksperimen dengan sirkuit terbuka bertegangan 600 mV dapat dihasilkan kerapatan daya 61 mikro ampere/cm2 serta kerapatan tenaga 18 mikro watt/cm2.
Jumlah itu cukup untuk menggerakkan alat pengukur gula darah yang bertenaga internal. Karena enzim adalah molekul biologi yang dapat rusak, usia sel bahan bakar
dari enzim ini ada batasnya.
Menggunakan enzim PQQ glukosa dehidrogenase asli, sel ini dapat bekerja selama 5 jam. Tapi, bila menggunakan enzim sama yang telah direkayasa protein sehingga
lebih stabil, sel bahan bakar ini dapat bertahan sampai 22 jam.
Bahan bakar tidak hanya glukosa. Karena dapat mengenali substrat yang sejenis, enzim PQQ glukosa dehidrogenase pun dapat mengkatalis reaksi terhadap laktosa, maltosa, dan galaktosa.
Bila bahan bakar yang digunakan glukosa, energi yang dihasilkan dihitung 100 persen, sel bahan bakar dari enzim ini menghasilkan energi 59 persen dengan laktosa dan 56 persen ketika menggunakan maltosa dan galaktosa. Artinya, bila glukosa murni tidak ada,sumber gula lain yang lebih banyak dan murah tersedia,seperti gula pasir pun dapat digunakan.
Untuk apa kegunaan dari sel bahan bakar dari enzim ini? Saat ini yang paling diharapkan adalah untuk
digunakan sebagai penggerak alat pengukur gula darah yang dicangkokkan di bawah kulit penderita diabetes melitus.
Pada konsentrasi rata-rata glukosa dalam darah yang sebesar 5mM, sel bahan bakar ini bekerja dengan baik. Jadi alat pengukur tipe cangkokan yang lebih nyaman karena tidak melukai ini dapat bekerja aman dengan baterai alami terbuat dari enzim dan bahan bakar gula yang sudah berada dalam aliran darah.
Ke depannya, berbagai kemungkinan dapat dipertimbangkan, seperti menjadi pembangkit listrik berbahan bakar biomassa yang menjadi ciri kekayaan negara tropis seperti Indonesia.
Dr Arief Budi Witarto, M.Eng.
Ketua Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat
Penelitian Bioteknologi-LIPI Cibinong Science Center
Sumber : KORAN TEMPO - Ilmu dan Teknologi, Senin, 08 Mei 2006
http://www.korantempo.com/korantempo/2006/05/08/Ilmu_dan_Teknologi/krn,20060508,48.id.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...
No comments:
Post a Comment