Majalah Biotrends
Majalah Biotrends, membuka kesempatan kepada para peneliti dan non peneliti khususnya di Puslit Bioteknologi LIPI untuk menyumbangkan tulisan ilmiahnya yang akan diterbitkan edisi 2009.
Majalah Biotrends
Majalah Biotrends, membuka kesempatan kepada para peneliti dan non peneliti khususnya di Puslit Bioteknologi LIPI untuk menyumbangkan tulisan ilmiahnya yang akan diterbitkan edisi 2009.
Naskah selambat-lambatnya di kirimkan ke Redaksi Majalah Biotrends, Akhir Juni 2009 ke Sekretariat Redaksi Majalah Biotrends: Bagian Kerjasama dan Jasa Puslit Bioteknologi, Gedung Perpustakaan Atau kirimkan via email : majalah_biotrends@yahoo.com atau Suherman (DokInfo Puslit Bioteknologi-LIPI)
Tuesday, June 16, 2009
Australia Government Scholarship
About Australian Scholarships
Australian Scholarships aim to promote sustainable development and excellence in education. Scholarships help build mutual understanding between Australia and its Asia-Pacific partners.
Australian Scholarships offer educational and professional development awards to citizens of the Asia-Pacific region. These opportunities support growth in our region and build enduring links at the individual, institutional and country levels.
About Australian Scholarships
Australian Scholarships aim to promote sustainable development and excellence in education. Scholarships help build mutual understanding between Australia and its Asia-Pacific partners.
Australian Scholarships offer educational and professional development awards to citizens of the Asia-Pacific region. These opportunities support growth in our region and build enduring links at the individual, institutional and country levels.
Awards are available to high achievers from participating countries, as well as for Australians wishing to study overseas.
A variety of educational, research and professional development opportunities are available through three programs:
1. Australian Development Scholarships
2. Australian Leadership Awards
3. Endeavour Awards
Educational opportunities for student exchanges, vocational education and training, undergraduate and postgraduate studies and postdoctoral research.
Research opportunities for postgraduate and postdoctoral research and professional attachments.
Professional development opportunities for people in business, industry, community groups, education and government.
On this site you will find information about each of the opportunities, including eligibilit y criteria, value of awards and key dates.
Further information:
http://www.australianscholarships.gov.au/about.htm
Australian Scholarships aim to promote sustainable development and excellence in education. Scholarships help build mutual understanding between Australia and its Asia-Pacific partners.
Australian Scholarships offer educational and professional development awards to citizens of the Asia-Pacific region. These opportunities support growth in our region and build enduring links at the individual, institutional and country levels.
About Australian Scholarships
Australian Scholarships aim to promote sustainable development and excellence in education. Scholarships help build mutual understanding between Australia and its Asia-Pacific partners.
Australian Scholarships offer educational and professional development awards to citizens of the Asia-Pacific region. These opportunities support growth in our region and build enduring links at the individual, institutional and country levels.
Awards are available to high achievers from participating countries, as well as for Australians wishing to study overseas.
A variety of educational, research and professional development opportunities are available through three programs:
1. Australian Development Scholarships
2. Australian Leadership Awards
3. Endeavour Awards
Educational opportunities for student exchanges, vocational education and training, undergraduate and postgraduate studies and postdoctoral research.
Research opportunities for postgraduate and postdoctoral research and professional attachments.
Professional development opportunities for people in business, industry, community groups, education and government.
On this site you will find information about each of the opportunities, including eligibilit y criteria, value of awards and key dates.
Further information:
http://www.australianscholarships.gov.au/about.htm
Membersihkan Laut dengan Mikrobakteri
Memakai alam untuk membersihkan alam adalah metode yang paling tepat. Demikian pula hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang didiseminasikan di Jakarta, Selasa (10/2).
Memakai alam untuk membersihkan alam adalah metode yang paling tepat. Demikian pula hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang didiseminasikan di Jakarta, Selasa (10/2).
Memakai alam untuk membersihkan alam adalah metode yang paling tepat. Demikian pula hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang didiseminasikan di Jakarta, Selasa (10/2).
Ketika wilayah laut di Indonesia akhirnya disadari sering dicemari oleh tanker-tanker minyak yang membawa minyak mentah dari kawasan Timur Tengah ke negara-negara Asia Timur, mikrobakteri yang hidup bebas di laut bisa digunakan untuk mengurai minyak di laut lebih cepat.
"Nama prosesnya bioremediasi, artinya mengeliminasi polutan dengan proses biologi. Ini sudah ada dari dulu. Cuma proses biodegradasi, Indonesia belum punya," ujar peneliti teknik lingkungan LIPI, Dwi Susilaningsih, di Jakarta.
Proses biodegradasi adalah penguraian minyak di laut dengan material biologi, salah satunya dengan bakteri. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian ini dilakukan, ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Dwi menjelaskan, daripada memikirkan bahan-bahan dengan kandungan zat kimia untuk membersihkan laut dan akhirnya malah kembali mencemarkan, lebih baik Indonesia memanfaatkan kekayaan bakterinya di laut. "Coba bayangkan, polusi minyak, contohnya di Pulau Pramuka, sudah kayak aspal kerasnya menempel di akar-akar bakau. Itu bisa diuraikan dengan bakteri," ujar Dwi.
Fumiyoshi Okazaki, salah satu peneliti dari NITE Jepang, memaparkan penelitiannya yang bertajuk "Diversity and Functional Analysis of Petroleum Hydrocarbon-degrading Bacterial Communities in Coastal Zones of Indonesia".
Penelitian yang berpusat di Selat Malaka dan Selat Lombok ini menyebutkan peran Acinetobacter dan Alcanivorax yang sangat dominan dalam biodegradasi. "Mikroba alam itu yang bertanggung jawab terhadap remediasi minyak," ujar Okazaki. "Populasi bakteri secara konstan bekerja dan kadar n-Alkanes secara konstan pula menurun setelah tujuh hari masa inkubasi," tuturnya.
Sementara itu, Dwi berharap agar hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk menelurkan regulasi terkait sistem bioremediasi untuk menangani polusi minyak di wilayah laut Indonesia.
Oleh : Lin
Sumber : Kompas (10 Februari 2009)
Memakai alam untuk membersihkan alam adalah metode yang paling tepat. Demikian pula hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang didiseminasikan di Jakarta, Selasa (10/2).
Memakai alam untuk membersihkan alam adalah metode yang paling tepat. Demikian pula hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang didiseminasikan di Jakarta, Selasa (10/2).
Ketika wilayah laut di Indonesia akhirnya disadari sering dicemari oleh tanker-tanker minyak yang membawa minyak mentah dari kawasan Timur Tengah ke negara-negara Asia Timur, mikrobakteri yang hidup bebas di laut bisa digunakan untuk mengurai minyak di laut lebih cepat.
"Nama prosesnya bioremediasi, artinya mengeliminasi polutan dengan proses biologi. Ini sudah ada dari dulu. Cuma proses biodegradasi, Indonesia belum punya," ujar peneliti teknik lingkungan LIPI, Dwi Susilaningsih, di Jakarta.
Proses biodegradasi adalah penguraian minyak di laut dengan material biologi, salah satunya dengan bakteri. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian ini dilakukan, ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Dwi menjelaskan, daripada memikirkan bahan-bahan dengan kandungan zat kimia untuk membersihkan laut dan akhirnya malah kembali mencemarkan, lebih baik Indonesia memanfaatkan kekayaan bakterinya di laut. "Coba bayangkan, polusi minyak, contohnya di Pulau Pramuka, sudah kayak aspal kerasnya menempel di akar-akar bakau. Itu bisa diuraikan dengan bakteri," ujar Dwi.
Fumiyoshi Okazaki, salah satu peneliti dari NITE Jepang, memaparkan penelitiannya yang bertajuk "Diversity and Functional Analysis of Petroleum Hydrocarbon-degrading Bacterial Communities in Coastal Zones of Indonesia".
Penelitian yang berpusat di Selat Malaka dan Selat Lombok ini menyebutkan peran Acinetobacter dan Alcanivorax yang sangat dominan dalam biodegradasi. "Mikroba alam itu yang bertanggung jawab terhadap remediasi minyak," ujar Okazaki. "Populasi bakteri secara konstan bekerja dan kadar n-Alkanes secara konstan pula menurun setelah tujuh hari masa inkubasi," tuturnya.
Sementara itu, Dwi berharap agar hasil penelitian ini menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk menelurkan regulasi terkait sistem bioremediasi untuk menangani polusi minyak di wilayah laut Indonesia.
Oleh : Lin
Sumber : Kompas (10 Februari 2009)
DITEMUKAN 182 SPESIES MIKROBAKTERI PENGURAI MINYAK DI LAUT INDONESIA
Pencemaran limbah minyak yang kerap dilakukan oleh berbagai tanker di laut, ternyata bisa diuraikan oleh mikrobakteri yang hidup bebas di laut. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian, telah ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Pencemaran limbah minyak yang kerap dilakukan oleh berbagai tanker di laut, ternyata bisa diuraikan oleh mikrobakteri yang hidup bebas di laut. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian, telah ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Pencemaran limbah minyak yang kerap dilakukan oleh berbagai tanker di laut, ternyata bisa diuraikan oleh mikrobakteri yang hidup bebas di laut. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian, telah ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Mikrobakteri yang hidup bebas di laut bisa digunakan untuk mengurai minyak di laut lebih cepat. Hal itu merupakan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang bertajuk Diseminasi Hasil Penelitian LIPI-NITE Jepang, Conservation and Sustainable Use of Microbial Resources, di Jakarta, Selasa (10/2).
Menurut Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Yantyati Widyastuti, penelitian itu penting, karena disadari bahwa wilayah laut di Indonesia sering dicemari oleh tanker-tanker minyak yang membawa minyak mentah dari kawasan Timur Tengah ke negara-negara Asia Timur, "Nama prosesnya bioremediasi, artinya mengeliminasi polutan dengan proses biologi. Ini sudah ada dari dulu. Cuma proses biodegradasi, Indonesia belum punya," ujarnya.
Proses biodegradasi adalah penguraian minyak di laut dengan material biologi, salah satunya dengan bakteri. Dia menjelaskan, daripada memikirkan berbagai bahan dengan kandungan zat kimia untuk membersihkan laut dan akhirnya malah kembali mencemarkan, lebih baik Indonesia memanfaatkan bakteri. [W-12]
Sumber : Suara Pembaruan (12 Februari 2009)
Pencemaran limbah minyak yang kerap dilakukan oleh berbagai tanker di laut, ternyata bisa diuraikan oleh mikrobakteri yang hidup bebas di laut. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian, telah ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Pencemaran limbah minyak yang kerap dilakukan oleh berbagai tanker di laut, ternyata bisa diuraikan oleh mikrobakteri yang hidup bebas di laut. Dalam kurun waktu tiga tahun penelitian, telah ditemukan 182 spesies dan 53 genus baru di tiga wilayah perairan Indonesia yang menjadi rute utama kapal tanker, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok.
Mikrobakteri yang hidup bebas di laut bisa digunakan untuk mengurai minyak di laut lebih cepat. Hal itu merupakan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan National Institute of Technology and Evaluation (NITE) Jepang yang bertajuk Diseminasi Hasil Penelitian LIPI-NITE Jepang, Conservation and Sustainable Use of Microbial Resources, di Jakarta, Selasa (10/2).
Menurut Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Yantyati Widyastuti, penelitian itu penting, karena disadari bahwa wilayah laut di Indonesia sering dicemari oleh tanker-tanker minyak yang membawa minyak mentah dari kawasan Timur Tengah ke negara-negara Asia Timur, "Nama prosesnya bioremediasi, artinya mengeliminasi polutan dengan proses biologi. Ini sudah ada dari dulu. Cuma proses biodegradasi, Indonesia belum punya," ujarnya.
Proses biodegradasi adalah penguraian minyak di laut dengan material biologi, salah satunya dengan bakteri. Dia menjelaskan, daripada memikirkan berbagai bahan dengan kandungan zat kimia untuk membersihkan laut dan akhirnya malah kembali mencemarkan, lebih baik Indonesia memanfaatkan bakteri. [W-12]
Sumber : Suara Pembaruan (12 Februari 2009)
Negara Maju Sukai Pengobatan Tradisional
Denpasar (ANTARA News) - Beberapa tahun terakhir, masyarakat negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan daripada menggunakan obat sintetik.
Denpasar (ANTARA News) - Beberapa tahun terakhir, masyarakat negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan daripada menggunakan obat sintetik.
"Indikasi menyukai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit kini semakin meluas ke berbagai negara di belahan dunia," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu.
Denpasar (ANTARA News) - Beberapa tahun terakhir, masyarakat negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan daripada menggunakan obat sintetik.
"Indikasi menyukai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit kini semakin meluas ke berbagai negara di belahan dunia," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, kecenderungan masyarakat luas menggunakan obat-obat tradisional di berbagai negara itu lebih dikenal sebagai "gelombang hijau baru" (new green wave).
Kondisi itu dipicu oleh efek samping obat sintetik dan antibiotik, disamping opini di banyak negara bahwa bahan alami lebih aman dari bahan berzat kimia buatan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu menilai, masyarakat dunia semakin mengkhawatirkan dampak negatif penggunaan obat-obat sintetik sehingga mereka ramai-ramai kembali ke alam (back to nature).
Gerakan ini berupaya menggunakan kembali obat-obatan tradisional yang ramuannya dari bahan alami yang didapat di alam.
Kondisi ini sendiri membuat para ilmuwan tertuntut untuk mengembangkan pengobatan tradisional yang lahir dari kearifan leluhur, seperti berlaku lama di Indonesia.
Indonesia sendiri sigap memanfaatkan momentum ini dengan mengintensifkan usaha pengobatan tradisional, diantaranya dengan membangun Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) yang memiliki dua sub balai di Sumatera Barat dan Lampung.
Selain itu ada 12 kebun percobaan berbagai jenis tanaman obat-obatan yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku, demikian Nala. (*)
Sumber : antara.co.id
Denpasar (ANTARA News) - Beberapa tahun terakhir, masyarakat negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan daripada menggunakan obat sintetik.
"Indikasi menyukai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit kini semakin meluas ke berbagai negara di belahan dunia," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu.
Denpasar (ANTARA News) - Beberapa tahun terakhir, masyarakat negara maju lebih menyukai pengobatan tradisional berbahan dasar tumbuh-tumbuhan daripada menggunakan obat sintetik.
"Indikasi menyukai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit kini semakin meluas ke berbagai negara di belahan dunia," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, kecenderungan masyarakat luas menggunakan obat-obat tradisional di berbagai negara itu lebih dikenal sebagai "gelombang hijau baru" (new green wave).
Kondisi itu dipicu oleh efek samping obat sintetik dan antibiotik, disamping opini di banyak negara bahwa bahan alami lebih aman dari bahan berzat kimia buatan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu menilai, masyarakat dunia semakin mengkhawatirkan dampak negatif penggunaan obat-obat sintetik sehingga mereka ramai-ramai kembali ke alam (back to nature).
Gerakan ini berupaya menggunakan kembali obat-obatan tradisional yang ramuannya dari bahan alami yang didapat di alam.
Kondisi ini sendiri membuat para ilmuwan tertuntut untuk mengembangkan pengobatan tradisional yang lahir dari kearifan leluhur, seperti berlaku lama di Indonesia.
Indonesia sendiri sigap memanfaatkan momentum ini dengan mengintensifkan usaha pengobatan tradisional, diantaranya dengan membangun Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) yang memiliki dua sub balai di Sumatera Barat dan Lampung.
Selain itu ada 12 kebun percobaan berbagai jenis tanaman obat-obatan yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Maluku, demikian Nala. (*)
Sumber : antara.co.id
9.606 Spesies Tanaman Obat Ada di Indonesia
DENPASAR, KOMPAS.com - Indonesia memiliki sekitar 9.606 spesies tumbuhan yang mengandung khasiat tinggi untuk pengadaan obat-obatan alami guna penyembuhan berbagai jenis penyakit yang bebas dari efek samping.
DENPASAR, KOMPAS.com - Indonesia memiliki sekitar 9.606 spesies tumbuhan yang mengandung khasiat tinggi untuk pengadaan obat-obatan alami guna penyembuhan berbagai jenis penyakit yang bebas dari efek samping.
"Hutan tropis yang dimiliki Indonesia sekitar 120 juta hektar. Di kawasan itu tumbuh spesies yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu (24/5).
Ia mengatakan, cahaya sinar matahari yang tersedia sepanjang tahun disertai curah hujan yang mencukupi memungkinkan tumbuhnya beraneka jenis tanaman obat-obatan berkembang biak dengan baik.
"Dari ribuan jenis tanaman obat yang ada, hingga saat ini belum ada hasil penelitian secara pasti berapa persen di antaranya yang sudah dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan masyarakat," ujar Ngurah Nala yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Prof Nala menambahkan, Indonesia yang memiliki ribuan jenis tanaman obat itu menerima permintaan dari sejumlah negara akan tumbuhan obat dalam bentuk simplisia, yakni bahan tumbuhan alami dalam keadaan kering yang belum diolah.
Permintaan tersebut setiap tahun terus meningkat dan kondisi itu mendorong para investor yang bergerak di bidang farmasi, obat tradisional dan jamu menangkap peluang tersebut dengan mengembangkan dan memproduksi obat-obatan sintetis, tanpa mengandung zat kimia dan efek sampingan.
Semakin majunya iptek, menjadikan alternatif bentuk olahan simplisia yang beredar di pasaran semakin bervariasi, antara lain dalam bentuk serbuk, tablet, pil, kapsul cairan, salep dan krim.
"Demikian pula produk olahan Indonesia menembus pasaran ekspor, antara lain Singapura, Malaysia, Hongkong, Korea, Jepang, Taiwan, India, Spanyol, dan Jerman," tutur Prof Nala.
BNJ
Sumber : Ant
DENPASAR, KOMPAS.com - Indonesia memiliki sekitar 9.606 spesies tumbuhan yang mengandung khasiat tinggi untuk pengadaan obat-obatan alami guna penyembuhan berbagai jenis penyakit yang bebas dari efek samping.
"Hutan tropis yang dimiliki Indonesia sekitar 120 juta hektar. Di kawasan itu tumbuh spesies yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal," kata Prof dr I Gusti Ngurah Nala dari Program Studi Ayurweda Fakultas Kesehatan Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, Minggu (24/5).
Ia mengatakan, cahaya sinar matahari yang tersedia sepanjang tahun disertai curah hujan yang mencukupi memungkinkan tumbuhnya beraneka jenis tanaman obat-obatan berkembang biak dengan baik.
"Dari ribuan jenis tanaman obat yang ada, hingga saat ini belum ada hasil penelitian secara pasti berapa persen di antaranya yang sudah dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan masyarakat," ujar Ngurah Nala yang juga guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Prof Nala menambahkan, Indonesia yang memiliki ribuan jenis tanaman obat itu menerima permintaan dari sejumlah negara akan tumbuhan obat dalam bentuk simplisia, yakni bahan tumbuhan alami dalam keadaan kering yang belum diolah.
Permintaan tersebut setiap tahun terus meningkat dan kondisi itu mendorong para investor yang bergerak di bidang farmasi, obat tradisional dan jamu menangkap peluang tersebut dengan mengembangkan dan memproduksi obat-obatan sintetis, tanpa mengandung zat kimia dan efek sampingan.
Semakin majunya iptek, menjadikan alternatif bentuk olahan simplisia yang beredar di pasaran semakin bervariasi, antara lain dalam bentuk serbuk, tablet, pil, kapsul cairan, salep dan krim.
"Demikian pula produk olahan Indonesia menembus pasaran ekspor, antara lain Singapura, Malaysia, Hongkong, Korea, Jepang, Taiwan, India, Spanyol, dan Jerman," tutur Prof Nala.
BNJ
Sumber : Ant
Wednesday, June 10, 2009
COS: Trik Bebas Residu Antibiotik
Sebagai imbuhan pakan (feed additive), penambahan COS dalam pakan unggas mampu menekan perkembangan Salmonella dan E. coli dalam usus, meningkatkan imunitas, plus mendongkrak efisiensi pakan.
Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan & Perikanan (2000), Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah air menghasilkan limbah kulit/kepala udang, cangkang kepiting, dan hewan laut lainnya tak kurang dari 56.200 metrik ton. Produk samping itu terbukti kaya akan kitin, yang melalui proses tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebelumnya, kitosan telah diketahui memiliki manfaat sebagai pengawet bahan pangan yang bersifat alami. Siapa mengira kalau sejatinya dari produk buangan tersebut juga dapat dihasilkan produk alternatif yang dapat menggantikan fungsi antibiotik sebagai imbuhan (feed additive) dalam pakan unggas.
Riset membuktikan, dari limbah tersebut dapat dihasilkan Chito-Oligosaccharida (COS), suatu senyawa kompleks golongan gliko-protein yang memiliki ikatan 1,4-b-glukosamin. Dan COS ini memiliki kemampuan menghambat bakteri patogen (antibacteria), menurunkan kadar kolesterol (hypocholesterolemia) serta mampu memacu kekebalan tubuh (immunostimulant).
Penggunaannya dalam pakan unggas seolah menjawab tantangan dan tuntutan konsumen akan penyediaan pangan hewani yang berkualitas dan aman. Ini terkait makin gencarnya kampanye penolakan penggunaan antibiotik sebagai pakan imbuhan (feed additive) yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ternak. Bahkan Masyarakat Uni Eropa (European Union) pada 1998 telah mengeluarkan larangan penggunaan antibiotik kecuali untuk terapi pengobatan.
Sifat Antimikroba & Imunostimulan
Sebagai ’kandidat’ pengganti antibiotik, bahan aditif setidaknya harus memiliki sifat antimikroba. Kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba pathogen tertentu (narrow spectrum) ataupun terhadap total mikroba penggangu (broad spectrum) dalam saluran pencernaan unggas sangat penting agar proses pencernaan dapat maksimal.
Chito-Oligosaccharida (COS) adalah senyawa turunan dari kitosan yang merupakan senyawa hasil proses deasetilasi kitin. Sementara kitin dapat diperoleh melalui 2 tahap proses deproteinasi (penghilangan gugus protein) dan demineralisasi (penghilangan partikel mineral) dari bahan baku limbah perikanan seperti kepala udang, cangkang kepiting maupun hewan laut lainnya.
Dibandingkan dengan antibiotik, kitosan (bahan baku COS) memiliki karakter yang unik yaitu bersifat polikationik yang mampu melindungi protein dan menekan laju pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian Yadav & Bishe (2004) membuktikan kitosan memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Salmonella enterica, bakteri yang pada unggas dapat menjadi penyebab penyakit thypoid yang berujung pada mortalitas (kematian) unggas. Sementara Sofyan dan kawan-kawan (2008) melalui penelitiannya melaporkan, penggunaan kitosan sebagai pakan imbuhan selain dapat menghambat bakteri patogen Escherichia coli juga dapat memperbaiki retensi protein yang berarti meningkatkan efesiensi pakan unggas.
Dalam perkembangannya, kitosan dimodifikasi dengan reaksi penguraian / hidrolisis melalui proses deasetilisasi menjadi Chito-Oligosaccharida (COS). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kitosan agar memiliki khasiat yang lebih. Hasil penelitian Xingzhao-Deng dan kawan-kawan (2008) menyebutkan bahwa penggunaan COS 50-80 mg/kg pada pakan unggas dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam. Disebutkan adanya kenaikan konsentrasi serum TNF-a yang berperan dalam menekan pertumbuhan sel tumor.
Kitosan berperan dalam peningkatan imunitas/kekebalan tubuh yang dindikasikan dengan meningkatnya kadar Imonuglobulin (Ig) darah unggas yang diberi perlakuan pakan mengandung COS. Selain itu, penelitian ini juga menyebut penggunaan COS mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Dengan meningkatnya sistem imunitas dan efisiensi penggunaan pakan, produktivitas unggas meningkat. COS sebagai satu bahan yang berpotensi sebagai ‘antibiotik alternatif’ memiliki nilai lebih aman tanpa menimbulkan residu.
Sifat Antikolesterol
COS juga diyakini memiliki sifat antikolesterol (hypocholesterolemia) bagi ternak. Hasil penelitian Razdan & Peterson (1994) menyebutkan bahwa penambahan kitosan dalam pakan unggas dapat menurunkan kadar kolesterol plasma dan triasilgliserol (pembentuk lemak). Penurunan komponen lemak/lipida tersebut menyebabkan timbunan lemak dan kolesterol pada jaringan otot daging akan menurun sehingga dapat memperbaiki kualitas karkas unggas. Dijelaskan Van Bennekum dan kawan-kawan (2005) dalam hasil risetnya, penurunan kadar kolesterol ini karena kitosan memiliki kemampuan mengikat (binding capacity) asam empedu. Pengikatan asam empedu akan memacu ekskresi (pengeluaran) kolesterol sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan otot/daging.
Peranan COS sebagai antikolesterol juga telah dibuktikan dari penelitian Li bersama rekan-rekannya (2007). Pemberian COS 50-100 mg/kg pakan dikatakan mampu meningkatkan kadar HDL (high density lipoprotein) atau yang dikenal sebagai “kolesterol baik“. HDL ini akan berfungsi mengangkut timbunan kolesterol pada jaringan otot selanjutnya diurai dan dibakar di mitokondria dan sebagian dikeluarkan melalui feses.
Peluang Bisnis COS
Manfaat penggunaan COS sebagai pakan imbuhan dalam mendukung produktivitas unggas dan meningkatkan kualitas produk daging yang sehat diharapkan dapat mendorong munculnya sentra produksi COS dalam skala industri. Produksi COS ini akan memiliki peranan secara ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan. Limbah perikanan yang berpotensi sebagai agen pencemar lingkungan akan termanfaatkan untuk bahan baku pembuatan COS.
Termanfaatkannya limbah sumber kitin ini bakal menjadi peluang usaha memenuhi kebutuhan antibiotik sebagai feed additive yang selama ini sebagian masih mengandalkan pemenuhannya dari produk luar negeri. Pada gilirannya memberi kontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Disisi lain akan meningkatkan nilai tambah (keuntungan) dan daya saing produk perikanan nasional, karena dengan ini bisnis pengolahan (Cold Storage) menganut konsep zero waste system (sistem tanpa limbah).
Tentunya upaya integrasi ini perlu dukungan semua pihak, baik ilmuwan, industri dan pemerintah atau yang dikenal sebagai konsep ABG (Academicians, Businessmen, Goverment). Sudah saatnya industri peternakan dan perikanan menjadi penopang perekonomian bangsa. Suatu usaha agribisnis yang mengintegrasikan peternakan dan perikanan diharapkan berdampak pada kemandirian bangsa dari ketergantungan impor.
Penulis:
Ahmad Sofyan1 & Mukhammad Angwar2
1) Peneliti Bidang Pakan & Nutrisi Ternak, 2) Peneliti Bidang Bahan Alam, pada BPPT Kimia-LIPI, Jogjakarta.
Sumber: Majalah Agribisnis Peternakan dan Perikanan ’Trobos’ edisi 117, Juni 2009. http://www.trobos.com/
Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan & Perikanan (2000), Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah air menghasilkan limbah kulit/kepala udang, cangkang kepiting, dan hewan laut lainnya tak kurang dari 56.200 metrik ton. Produk samping itu terbukti kaya akan kitin, yang melalui proses tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebelumnya, kitosan telah diketahui memiliki manfaat sebagai pengawet bahan pangan yang bersifat alami. Siapa mengira kalau sejatinya dari produk buangan tersebut juga dapat dihasilkan produk alternatif yang dapat menggantikan fungsi antibiotik sebagai imbuhan (feed additive) dalam pakan unggas.
Riset membuktikan, dari limbah tersebut dapat dihasilkan Chito-Oligosaccharida (COS), suatu senyawa kompleks golongan gliko-protein yang memiliki ikatan 1,4-b-glukosamin. Dan COS ini memiliki kemampuan menghambat bakteri patogen (antibacteria), menurunkan kadar kolesterol (hypocholesterolemia) serta mampu memacu kekebalan tubuh (immunostimulant).
Penggunaannya dalam pakan unggas seolah menjawab tantangan dan tuntutan konsumen akan penyediaan pangan hewani yang berkualitas dan aman. Ini terkait makin gencarnya kampanye penolakan penggunaan antibiotik sebagai pakan imbuhan (feed additive) yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ternak. Bahkan Masyarakat Uni Eropa (European Union) pada 1998 telah mengeluarkan larangan penggunaan antibiotik kecuali untuk terapi pengobatan.
Sifat Antimikroba & Imunostimulan
Sebagai ’kandidat’ pengganti antibiotik, bahan aditif setidaknya harus memiliki sifat antimikroba. Kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba pathogen tertentu (narrow spectrum) ataupun terhadap total mikroba penggangu (broad spectrum) dalam saluran pencernaan unggas sangat penting agar proses pencernaan dapat maksimal.
Chito-Oligosaccharida (COS) adalah senyawa turunan dari kitosan yang merupakan senyawa hasil proses deasetilasi kitin. Sementara kitin dapat diperoleh melalui 2 tahap proses deproteinasi (penghilangan gugus protein) dan demineralisasi (penghilangan partikel mineral) dari bahan baku limbah perikanan seperti kepala udang, cangkang kepiting maupun hewan laut lainnya.
Dibandingkan dengan antibiotik, kitosan (bahan baku COS) memiliki karakter yang unik yaitu bersifat polikationik yang mampu melindungi protein dan menekan laju pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian Yadav & Bishe (2004) membuktikan kitosan memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan Salmonella enterica, bakteri yang pada unggas dapat menjadi penyebab penyakit thypoid yang berujung pada mortalitas (kematian) unggas. Sementara Sofyan dan kawan-kawan (2008) melalui penelitiannya melaporkan, penggunaan kitosan sebagai pakan imbuhan selain dapat menghambat bakteri patogen Escherichia coli juga dapat memperbaiki retensi protein yang berarti meningkatkan efesiensi pakan unggas.
Dalam perkembangannya, kitosan dimodifikasi dengan reaksi penguraian / hidrolisis melalui proses deasetilisasi menjadi Chito-Oligosaccharida (COS). Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kitosan agar memiliki khasiat yang lebih. Hasil penelitian Xingzhao-Deng dan kawan-kawan (2008) menyebutkan bahwa penggunaan COS 50-80 mg/kg pada pakan unggas dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam. Disebutkan adanya kenaikan konsentrasi serum TNF-a yang berperan dalam menekan pertumbuhan sel tumor.
Kitosan berperan dalam peningkatan imunitas/kekebalan tubuh yang dindikasikan dengan meningkatnya kadar Imonuglobulin (Ig) darah unggas yang diberi perlakuan pakan mengandung COS. Selain itu, penelitian ini juga menyebut penggunaan COS mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Dengan meningkatnya sistem imunitas dan efisiensi penggunaan pakan, produktivitas unggas meningkat. COS sebagai satu bahan yang berpotensi sebagai ‘antibiotik alternatif’ memiliki nilai lebih aman tanpa menimbulkan residu.
Sifat Antikolesterol
COS juga diyakini memiliki sifat antikolesterol (hypocholesterolemia) bagi ternak. Hasil penelitian Razdan & Peterson (1994) menyebutkan bahwa penambahan kitosan dalam pakan unggas dapat menurunkan kadar kolesterol plasma dan triasilgliserol (pembentuk lemak). Penurunan komponen lemak/lipida tersebut menyebabkan timbunan lemak dan kolesterol pada jaringan otot daging akan menurun sehingga dapat memperbaiki kualitas karkas unggas. Dijelaskan Van Bennekum dan kawan-kawan (2005) dalam hasil risetnya, penurunan kadar kolesterol ini karena kitosan memiliki kemampuan mengikat (binding capacity) asam empedu. Pengikatan asam empedu akan memacu ekskresi (pengeluaran) kolesterol sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan otot/daging.
Peranan COS sebagai antikolesterol juga telah dibuktikan dari penelitian Li bersama rekan-rekannya (2007). Pemberian COS 50-100 mg/kg pakan dikatakan mampu meningkatkan kadar HDL (high density lipoprotein) atau yang dikenal sebagai “kolesterol baik“. HDL ini akan berfungsi mengangkut timbunan kolesterol pada jaringan otot selanjutnya diurai dan dibakar di mitokondria dan sebagian dikeluarkan melalui feses.
Peluang Bisnis COS
Manfaat penggunaan COS sebagai pakan imbuhan dalam mendukung produktivitas unggas dan meningkatkan kualitas produk daging yang sehat diharapkan dapat mendorong munculnya sentra produksi COS dalam skala industri. Produksi COS ini akan memiliki peranan secara ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan. Limbah perikanan yang berpotensi sebagai agen pencemar lingkungan akan termanfaatkan untuk bahan baku pembuatan COS.
Termanfaatkannya limbah sumber kitin ini bakal menjadi peluang usaha memenuhi kebutuhan antibiotik sebagai feed additive yang selama ini sebagian masih mengandalkan pemenuhannya dari produk luar negeri. Pada gilirannya memberi kontribusi pada penyerapan tenaga kerja. Disisi lain akan meningkatkan nilai tambah (keuntungan) dan daya saing produk perikanan nasional, karena dengan ini bisnis pengolahan (Cold Storage) menganut konsep zero waste system (sistem tanpa limbah).
Tentunya upaya integrasi ini perlu dukungan semua pihak, baik ilmuwan, industri dan pemerintah atau yang dikenal sebagai konsep ABG (Academicians, Businessmen, Goverment). Sudah saatnya industri peternakan dan perikanan menjadi penopang perekonomian bangsa. Suatu usaha agribisnis yang mengintegrasikan peternakan dan perikanan diharapkan berdampak pada kemandirian bangsa dari ketergantungan impor.
Penulis:
Ahmad Sofyan1 & Mukhammad Angwar2
1) Peneliti Bidang Pakan & Nutrisi Ternak, 2) Peneliti Bidang Bahan Alam, pada BPPT Kimia-LIPI, Jogjakarta.
Sumber: Majalah Agribisnis Peternakan dan Perikanan ’Trobos’ edisi 117, Juni 2009. http://www.trobos.com/
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...