Friday, October 29, 2010

GM Debate Must Be Science-Led, Says MEP

William Surman,Farmers Guardian (UK), Oct 28. 2010 http://www.farmersguardian.com

AN MEP has urged the European Parliament to dismiss 'dogmatic politics' in favour of science when formulating policy for genetically modified (GM) technology.

George Lyon, Liberal Democrat MEP for Scotland, spoke in the European Parliament this week in response to the European Commission's proposal to allow Member States to unilaterally ban, restrict or permit commercial cultivation of GM crops.

Mr Lyon, who is drafting the European Parliament's response to the Commission, warned the Commission proposal could allow politics to run the debate.

"Decisions on new technologies such as GMs should only be based on scientific advice. "The danger with this proposal is that it would allow Member States to ban cultivation for political reasons.

"Without the bedrock of scientific advice to anchor decisions, you risk setting a dangerous precedent in choosing what is popular over what is safe. "Consumers have genuine fears which need to be addressed by politicians, not exploited for political gain.

"I have serious reservations about the Commission's approach to this issue and the agriculture committee will have to come to a decision to either reject the proposal or improve it through amendments," he said.

Transgenic Plants - Corporate or College?

- Daina Ringus , Cornell Daily Sun, Oct. 27, 2010 http://cornellsun.com/node/44314


Ten years ago, genetically modified organisms (GMOs) emerged in the public forum as one of the major controversies in the plant breeding world. Transgenic plants - containing DNA from other organisms - are at the center of the controversy.

Cornell's campus is a powerhouse of plant research, where transgenic plants are created. The College of Agriculture and Life Sciences contains the departments of plant biology, plant breeding & genetics, and horticulture, with labs and greenhouses in Ithaca and at the New York State Agricultural Experiment Station in Geneva, NY. The Boyce Thompson Institute (BTI), an independent non-for-profit organization for plant research with a world-renowned reputation, is near the Vet School.


Scientists have been developing transgenic plants at the university since the Green Revolution of the 1960s. One famous example is the GMO papaya, developed by Prof. Dennis Gonsalves, plant pathology. Gonsalves collaborated with scientists at the University of Hawaii and the USDA for nearly two decades to introduce a resistance gene into papaya - the genes combated a virus that destroyed Hawaiian papaya crops. The project succeeded, and the collaboration also marked the first time a university-pursued and approved deregulation - extensive testing and then approval by the US Department of Agriculture (USDA) for commercial use - of a transgenic fruit in 1996.


The landscape has changed for academic research on transgenic plants. Today, very little research on Cornell's campus develops transgenic plants for commercial use. Prof. Jim Giovannoni, plant biology, a USDA plant molecular biologist who works at BTI, studies the ripening pathways in tomatoes and fruit.

Though he works with these edible crops, "Most of the transgenic plants we make are to address questions of basic biology. In general, they're not designed to create a product," said Giovannoni.

Researchers in Giovannoni's group create mutant tomatoes using Agrobacterium tumifaciens - a pathogenic plant bacterium that can inject DNA into plant cells - to introduce a transgenic DNA sequence made up of viral (cauliflower virus), microbial (Agrobacterium and antibiotic resistance markers), and mostly tomato DNA. They do this to manipulate the expression of specific genes.

Growth of transgenic plants in greenhouses at Cornell and BTI is tightly regulated to prevent the escape of pollen or plant materials. Screens cover block the entry of potential pollinators, and all plant material grown in a greenhouse with the transgenic plants, whether transgenic themselves or not, must be "rendered biologically inactive" by pressure-cooking in an autoclave before disposal, according to the Cornell Institutional Biosafety Committee form for greenhouse use.

Growing transgenic plants in field trials is even more tightly regulated, requiring a permit from the government, a minimum distance from commercially grown crops of the same plant, and swaths of land around the field to minimize the movement of transgenic material.

Prof. Tom Brutnell, plant breeding and genetics, a scientist at BTI, studies corn genetics. In one of his collaborative projects funded by The Bill & Melinda Gates Foundation, his group studies photosynthesis genes from C4 plants with the long-term goal of eventually engineering them into C3 plants, like wheat and rice. C4 plants have very efficient photosynthetic mechanisms that allow them to thrive in hot, dry locations. Brutnell's group uses the model, non-crop plant Arabidopsis thaliana for much of their transgenic work. Part of the reason he uses model systems is the ease compared to using transgenic crop plants.

Brutnell said, "Many of the regulations on transgenic plants hamper their use in basic research."

Once developed for commercial use, plants must be deregulated by the USDA and the Animal and Plant Health Inspection Service (APHIS). This is an expensive process, requiring extensive testing and data collection.

Prof. Margaret Smith, plant genetics & breeding, Associate Director for Cornell Cooperative Extension, follows genetically engineered crops closely. As a corn breeder, Smith doesn't develop transgenic plants. However, as part of her extension appointment, she educates audiences on and off campus about genetic engineering in order to demystify the technology.

According to Smith, "There's still quiet a bit of interest in genetically engineered crops." However, due to the high costs associated with technology use and deregulation, she added, "That interest is largely concentrated in the private sector."

Jamu akan Masuk dalam Resep Dokter

Jamu akan Masuk dalam Resep Dokter

MI/Rommy Pujianto/pj

Penulis : Siswantini Suryandari

JAKARTA--MICOM: Potensi jamu untuk pengobatan cukup besar di Indonesia. Apalagi gaung back to nature yang melanda dunia, banyak orang kembali ke herbal dibandingkan obat kimia.

Sayangnya di Indonesia, meski jamu sudah dikonsumsi dan diturunkan ke tiga generasi, produk tersebut belum bisa naik kelas. Jamu belum dianggap sebagai obat alternatif dan preventif.

Seperti dikatakan oleh Dr Hardhi Pranata selaku Ketua Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), saat ini jamu atau herbal akan didorong menjadi bagian dari pengobatan yang diakui oleh para dokter.

"Tahun 2007 Presiden SBY menginginkan agar jamu dipakai dalam resep dokter. Tentu tidak mudah membiasakan dokter memakai jamu sebagai resep pengobatan. Tapi itu yang sedang kami lakukan menjadikan herbal sebagai pengobatan dan preventif," terang Hardhi di sela-sela konferensi internasional tentang obat herbal yang diselenggarakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Selasa (19/10).

Lebih lanjut Hardhi mengatakan untuk menjadikan jamu sebagai resep dokter, maka bahan-bahan alami yang dibuat untuk jamu harus diketahui khasiatnya.

"Memang untuk menjadikan jamu atau obat herbal lainnya sebagai fitofarmaka memakan waktu lama, dan biaya cukup mahal. Maka cara yang paling cepat dengan pendekatan ilmiah atau scientific jamu," tambahnya.

Terlebih lagi potensi ekonomi cukup besar di sektor obat herbal ini. Pasar obat herbal Indonesia pada 2003 sebesar Rp2,5 triliun, dan meningkat menjadi Rp8 triliun-Rp10 triliun pada 2010.

Dalam kesempatan itu, Indah Yuning Prapti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat Tradisional Balitbangkes Kementerian Kesehatan yang berada di Temanggung, Jawa Tengah, menerangkan untuk menjadikan jamu sebagai resep dokter, para dokter dan apoteker akan dilatih selama 50 jam seminggu di Temanggung, untuk belajar tentang khasiat bahan-bahan alami berkhasiat untuk jamu pada November mendatang.

Bahkan sudah ada 12 rumah sakit di seluruh Indonesia yang sudah menggunakan herbal sebagai pengobatan. Adapun 12 rumah sakit itu adalah RS Persahabatan Jakarta, Pusat Kanker Nasional Dharmais Jakarta, RS Sardjito Yogyakarta, RS Karyadi Semarang, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Dr Sutomo Surabaya, RS Syaiful Anwar Malang, RSAL Mintohardjo Jakarta, RS Pirngadi Medan, RS Kandou Manado, RS Sanglah Bali, dan RS Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Selain itu, langkah lain yang ditempuh adalah pembentukan komite science jamu, yang nantinya akan mempercepat upaya jamu menjadi fitofarmaka (obat jamu lulus uji klinis).

"Kalau menempuh jalur dari herbal ke fitofarmaka memang lama, maka dengan pendekatan ilmiah atau scientific ini bisa mempercepat proses fitofarmaka. Caranya tumbuhan berkhasiat yang biasa untuk bahan jamu diteliti khasiatnya untuk dijadikan bukti ilmiah. Saat ini ada 3000 item produk herbal baik berupa jamu, suplemen kesehatan, herbal terstandar atau fitofarmaka," terang Indah.

Hanya saja, dari sekian banyak item itu yang masuk dalam kategori fitofarmaka baru empat yakni obat fitofarmaka untuk antikokestrol, asam urat, antihipertensi, dan antihiperglikemi.

Untuk menuju fitofarmaka ini, para industri herbal juga harus memperhatikan kualitas bahan tanaman sehingga tidak mengurangi kualitas. Para petani yang menanam tanaman herbal pun wajib diberi pelatihan, untuk menjaga kualitas dan khasiat.
Komisi scientific tersebut akan dibentuk di Bali pada 20 Oktober ini. Kepala BPPT Marzan A Iskandar yang ikut hadir dalam acara tersebut menyatakan kesanggupannya membantu dalam bidang pembuktian ilmiah, baik dari segi dana maupun sumber daya manusia. (OL-3)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/19/176331/71/14/Jamu-akan-Masuk-dalam-Resep-Dokter-

Ini Dia Kompor Bioetanol dari Limbah Salak

Adhita Sri Prabakusuma, mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, berhasil membuat kompor berbahan bakar bioetanol terbuat dari limbah buah salak.

"Bioetanol sebagai bahan bakar pengganti minyak maupun elpiji terbuat dari limbah buah salak yang cacat panen atau busuk," katanya di Yogyakarta, Senin.

Ia mengatakan selama ini, buah salak tidak layak jual tersebut dibuang petani atau dibiarkan membusuk di pekarangan kebun salaknya.

"Di Dusun Ledoknongko, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang merupakan salah satu sentra penghasil salak dihasilkan sekitar 1-3 ton limbah salah dalam satu bulan," katanya.

Menurutnya, dari 10 kilogram limbah buah salak dihasilkan sedikitnya 1 liter bioetanol, setelah sebelumnya, limbah buah salak tersebut difermentasikan dahulu selama satu minggu dengan menambah ragi dan urea.

"Cairan fermentasi tersebut dipanaskan dengan suhu 70 derajat Celcius pada tabung destilasi. Hasil pemanasan ini nantinya menghasilkan bioetanol," katanya.

Praba mengakui belum banyak masyarakat Dusun Ledoknongko yang mau mengolah limbah buah salak menjadi bahan bakar.

"Tidak mudah menyosialisasikan inovasi tersebut karena tingkat pendidikan masyarakat di Dusun Ledoknongko berbeda-beda," katanya.

Ia berharap inovasinya membantu masyarakat dalam mengatasi limbah salak, mendukung program pertanian terpadu, dan dalam menerapkan energi ramah lingkungan.

Red: taufik rachman
Sumber: antara
Dikutip dari : http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/10/10/11/139577-ini-dia-kompor-bioetanol-dari-limbah-salak

Ragam Khasiat Tanaman Asli Indonesia Temulawak

Ragam Khasiat Tanaman Asli Indonesia Temulawak

useherbal

SALAH satu bahan dasar jamu Indonesia, temulawak, tanpa disadari ternyata hak patennya telah dipegang pemerintah Amerika Serikat. Padahal temulawak yang merupakan tanaman obat-obatan ini tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae) sekaligus berasal dari Indonesia, khususnya Pulau Jawa, kemudian menyebar ke beberapa tempat di kawasan Indo-Malaya.

Saat ini, sebagian besar budidaya temu lawak berada di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Di Jawa, tanaman itu dikenal dengan nama temulawak, di Sunda disebut koneng gede, sedangkan di Madura disebut temu labak.

Kandungan utama yang dimiliki temulawak adalah protein, karbohidrat, dan minyak atsiri yang terdiri atas kamfer, glukosida, turmerol, dan kurkumin. Baru-baru ini, kurkumin dinyatakan sebagai zat yang mampu membuat orang panjang usia karena khasiatnya sebagai antiinflamasi (antiradang) dan antihepotoksik (antikeracunan empedu).

Di Indonesia, temulawak telah dikenal luas sebagai bahan dalam jamu tradisonal yang memiliki banyak khasiat kesehatan seperti mengatasi gangguan lever, mencegah hepatitis, meningkatkan produksi cairan empedu, membantu pencernaan, mengatasi radang kandung empedu, radang lambung, dan gangguan ginjal.

Selain itu, temulawak juga bisa menurunkan kadar kolesterol tinggi, anemia/kurang darah, melancarkan peredaran darah, gumpalan darah, malaria, demam, campak, pegal linu, rematik, sakit pinggang, peluruh haid, keputihan, sembelit, ambeien, menambah nafsu makan, batuk, asma, radang tenggorokan, radang saluran nafas, radang kulit, eksim, jerawat, meningkatkan stamina, radang kandung empedu dan batu empedu.

Selain dimanfaatkan sebagai jamu dan obat, temulawak juga dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dengan mengambil patinya kemudian diolah menjadi bubur makanan untuk bayi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan. Di sisi lain, temu lawak juga mengandung senyawa beracun yang dapat mengusir nyamuk karena tumbuhan tersebut menghasilkan minyak atsiri yang mengandung linelool, geraniol yaitu golongan fenol yang mempunyai daya repellan nyamuk Aedes aegypti.

Dengan segudang manfaat di atas, tak mengherankan bila Amerika memutuskan untuk menjadikan temulawak sebagai miliknya. Terlebih dengan tren pengobatan yang kini semakin mengarah ke obat berbahan dasar tradisional. Ini tentunya merupakan pukulan telak bagi pemerintah, sekali lagi tanaman asli Indonesia 'direbut' oleh asing setelah sebelumnya kunyit juga dipatenkan oleh Jerman. (Pri/OL-06)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2010/10/25/3267/9/Ragam-Khasiat-Tanaman-Asli-Indonesia-Temulawak

Menggempur Bakteri E Coli dengan Sari Mawar

Menggempur Bakteri E Coli dengan Sari Mawar
Mawar
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Sebuah mawar dengan nama apapun, akan tetap indah, demikian Shakespeare mengkiaskan. Keindahan mawar kerap menjadi simbol asmara dan cinta. Tapi tahukah Anda, mawar juga penuh khasiat pengobatan?

Mawar telah ditanam untuk tanaman taman dan bunga potong untuk dekorasi dan sumber wewangian alami dan perasa. Sekarang ada tidak kurang dari 7.500 varietas mawar di seluruh dunia. Tidak hanya mempercantik rumah dan taman, sejarah juga menunjukkan mawar telah digunakan dalam pengobatan, makanan, parfum, dan kesehatan.


Mawar memiliki minyak esensial untuk parfum sehingga banyak digunakan dalam kosmetik. Kemudian aroma mawar dapat dibuat menjadi beberapa turunan, dari air mawar hingga minyak mawar.

Mengetahui ada banyak menggunakan mawar, peneliti Roziana dan Dalina bekerja untuk menemukan penggunaan mawar untuk kesehatan, dengan berusaha untuk menemukan agen antibakteri di dalamnya. Mereka melakukannya dengan mengektrasi mawar segar.

Dipengaruhi oleh bagaimana nenek moyang kita menggunakan berbagai macam tanaman untuk menyembuhkan penyakit, Roziana dan Dalina menemukan bahwa ekstrak botani telah lama digunakan untuk mengobati penyakit. Tanaman yang dikenal memiliki sumber yang kaya senyawa yang berharga dan telah menjadi sumber utama dari perawatan kesehatan primer di banyak negara berkembang.

Senyawa ini digunakan sebagai prinsip aktif dari banyak obat. Pemutaran tanaman seperti aktivitas antimikroba ekstrak untuk selalu menjadi yang menarik bagi para ilmuwan untuk mencari sumber baru untuk tambahan makanan, kosmetika dan obat-obatan.

Demikian juga, Roziana dan Dalina melihat bahwa mawar memiliki potensi terhadap kegiatan mikroba. Mereka berusaha untuk membuktikan bahwa penggunaan ethnobotanical kelopak mawar dapat menjadi obat diare dan tonsil membesar, umumnya disebabkan oleh E coli.

Dalam percobaan mereka, proses ekstraksi dengan menggunakan beberapa pelarut dilakukan, pengujian aktivitas antibakteri ekstrak pada Escherichia coli - bakteri gram negatif, melalui metode difusi cakram Kirby-Bauer.

Jaringan kelopak bunga mungkin memiliki aktivitas antibakteri sebagai sistem perlindungan alami untuk reproduksi dan pelestarian lebih lanjut melalui pembentukan biji. Jadi beberapa varietas mawar telah dipelajari untuk potensi diferensial kegiatan di tingkat genotipik dan ditemukan untuk menjadi aktif terhadap spektrum bakteri gram positif dan gram-negatif dengan perbedaan profil kegiatan.

Biasanya, senyawa polaritas yang berbeda diambil dari mawar namun dalam penelitian ini, diekstrak dari residu mawar. Pada ekstrak mawar biasanya mengandung linalool, alkohol phenylethyl, citronelol, nerol dan geraniol. Sementara senyawa utama mawar diekstraksi oleh ekstraksi pelarut yang isopropyl miristat, rhondinol, 1-nonadecene dan heneicosane. Senyawa ini dapat dideteksi dengan kromatografi gas dengan alat spektrometri dan umumnya, mereka memiliki polaritas yang berbeda di mana mereka akan dipisahkan menjadi kelompok-kelompok semacam itu dari polaritas pelarut.

Sebagai tujuan dari metode ekstraksi pelarut untuk memisahkan campuran organik menjadi sebuah kelompok yang sama senyawa, secara teoritis, senyawa polar diekstrak memiliki kecenderungan harus dengan pelarut polar. Oleh karena itu senyawa non polar akan lebih dipilih untuk menjadi pelarut non polar.

Untuk menemukan nilai-nilai antibakteri, Roziana dan Dalina menggunakan uji difusi Kirby Bauer. Ini adalah untuk menentukan kerentanan atau perlawanan dari patogen bakteri aerobik dan fakultatif anaerob untuk berbagai senyawa antimikroba.

Kabar baiknya, Roziana dan Dalina menemukan bahwa mawar segar yang diekstrak dari etil asetat menunjukkan hasil yang paling menjanjikan dari keempat ekstrak lainnya. Ini menunjukkan 39 mm zona hambatan pada agar Mueller Hinton, zona diameter terbesar dibandingkan dengan ekstrak lain, menunjukkan bahwa bakteri Gram-negatif dari E coli yang sangat rentan terhadap ekstrak. Ini berarti naik ekstrak potensial untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan E coli. Mereka menyimpulkan bahwa senyawa polar antara dalam mawar baik segar atau residu, mereka memberikan potensi besar sebagai agen antibakteri untuk menghambat E coli.

http://www.physorg.com/news/2010-10-roses-beautiful.html

Red: Siwi Tri Puji B

Wednesday, October 06, 2010

Antibiotic resistance fight 'must include' poor nations

Mićo Tatalović
14 September 2010 | EN

A European antibiotic campaign — but there's a need for a focus on poor countries, say experts
Flickr\AJC1
Efforts to combat resistance to antibiotics will fail unless developing countries are included in the battle, a conference heard last week.

Problems that beset poor countries, such as the cost of future antibiotics and their availability, must be tackled in any attempt to find long-term answers to resistance, delegates from 45 countries agreed at the meeting, held at Uppsala University, Sweden, (6–8 September) and organised by Action on Antibiotic Resistance (ReAct).



They also agreed that global cooperation is urgently needed to slow the spread of resistance by limiting the use of antibiotics — and also to monitor its growth, given that common infections might once again become fatal as bacteria become resistant to current treatments.

Andreas Heddini, executive director of ReAct and a medical doctor at the Karolinska Institute, Sweden, said there had been a "change of tone" at the meeting.

Drug industry representatives acknowledged for the first time that there was a need to tackle issues in developing countries, he said.

An important step could be restricting the use of the latest or broadest antibiotics in developing countries for conditions that have alternative treatments, said Heddini.

But, to do so, scientists need more community-wide data so they can understand the spread of resistance and, therefore, which drugs need to be prioritised or restricted in which places.

"So far, only hospital data is available from developing countries," Heddini said, which gives only a partial picture.

Eva Ombaka, former president of the not-for-profit Ecumenical Pharmaceutical Network (EPN), said that scientists in developing countries "can help provide a good indication of what is really happening on the ground" and that mapping the spread of antibiotic resistance around the world needs their input.

Delegates discussed the need for new models of private–public cooperation to work towards new classes of antibiotics that do not rely on investment by pharmaceutical companies in search of high-profit, branded drugs.

To this end, Heddini said a number of working groups have been set up that will meet over the next two years. The efforts will emulate existing partnerships in malaria and tuberculosis drug innovation, including the Open Source Drug Discovery programme, which might cut research and development costs while still delivering new drugs.

Earlier this year the Transatlantic Task Force on Antimicrobial Resistance (TATFAR), set up by the European Union and the United States in November 2009, published its terms of reference on investigating antibiotic resistance issues.

It was criticised by ReAct and others for not including developing countries in its remit.

But Stuart Levy, director of the Alliance for the Prudent Use of Antibiotics, told SciDev.Net: "That the United States and Europe have come to the table on this issue is an important first step. Finally, the urgency has been recognised, which might lead to more funding for seeking solutions.

"I don't want this to fail because of political issues."

Sources : http://www.scidev.net/en/news/antibiotic-resistance-fight-must-include-poor-nations.html

Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi

Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...