JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah ancaman perubahan iklim yang bisa menyebabkan kegagalan panen dan krisis pangan, ada satu harapan. Sorghum, salah satu jenis tanaman serealia yang kini banyak dikembangkan di Afrika dan India, ternyata bisa bertahan di tengah kondisi tersebut.
"Perubahan iklim adalah salah satu kesempatan bagi sorghum. Perubahan iklim menyebabkan kebanyakan area dimana kita menanam tanaman pangan mengalami kekeringan dan peningkatan suhu," kata Tesfaye T. Tesso Ph.D, peneliti sorghum dari Amerika Serikat di Jakarta, Rabu (2/3/2011). Ia menjadi salah satu pembicara seminar mengenai teknologi sorghum yang digelar Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Tesso mengatakan, komplikasi yang lebih parah bisa mengakibatkan marginalisasi lahan dan berkurangnya kesuburan tanah. Dalam situasi tersebut, menurutnya, tak banyak jenis tanaman pangan yang bisa dibudidayakan karena tidak toleran terhadap suhu tinggi dan kekeringan.
"Karena adaptasi alaminya, sorghum memiliki potensi besar untuk memberi pangan pada kondisi tersebut," papar Tesso.
Menurut Tesso, sorghum memiliki kapasitas untuk mengekstrak kelembapan tanah yang rendah, tingkat penguapan air di daun yang rendah serta kapasitas untuk mengekstrak nutrisi dari tanah jadi bisa bertahan. Berdasarkan kondisi pengembangan sorghum saat ini, Tesso mengatakan bahwa 5 negara yang bisa memproduksi sorghum terbesar adalah Amerika Serikat, Nigeria, Sudan, India, dan Ethiophia.
Indonesia sendiri cukup memiliki potensi asalkan serius dalam mengembangkannya. Salah satunya dengan pemuliaan bibit yang sesuai kondisi lahan di Indonesia dengan teknologi nuklir. Dalam seminar di mana Tesso menjadi salah satu pembicaranya itu, dipamerkan beberapa produk pangan berbasis sorghum, diantaranya brondong sorghum, pilus sorghum, dan kue sorghum.
No comments:
Post a Comment