Wednesday, September 28, 2011

Begini Cara Petani Jombang Akali Sawah Agar Panen Melimpah


TEMPO Interaktif, Jombang - Hadi Suryanto tampak sumringah. Semangatnya terus membungkah pada usianya yang memasuki 50 tahun. Senyum selalu menghiasi wajah ayah tiga anak dan kakek seorang cucu tersebut.
Hadi, salah seorang petani di Desa Tejo, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, itu tak henti-hentinya menghaturkan puji syukurnya kepada Tuhan. Panenan padi di lahannya yang tak seberapa luas, yakni 100 ru, atau setara 275 meter persegi kian meningkat. Ukuran tanah bagi petani di Jawa, 1 ru sama dengan 2,75 meter. "Hasil panenan kali ini mencapai sembilan kuintal lebih, hampir satu ton," ujarnya seraya menunjukkan tumpukan padi di dapur rumahnya di RT 01 RW 01 Desa Tejo.

Hadi menuturkan, hasil panen sawah warisan orang tuanya selama lima tahun terakhir terus menurun. Pada musim panen tahun lalu, sawahnya hanya menghasilkan lima kuintal. Padahal, berbagai jenis pupuk kimia sudah dia taburkan.

Hadi tak ingin patah semangat. Apalagi ia tak punya pekerjaan lain. Sejak kecil sudah bekerja di sawah sebagai petani sebagaimana umumnya warga Desa Tejo lainnya.

Kerja keras harus dilakoninya sembari terus putar otak agar tingkat kesuburan tanahnya bisa diperbaiki. Terbersit pikiran membiarkan sawahnya menganggur selama satu musim panen. Batang jagung setelah panen tahun sebelumnya dibiarkan, padahal biasanya dibakar untuk menyongsong musim tanam padi.

Selama lahan sawahnya tak ditanami apapun, Hadi menabur 250 kilogram pupuk organik. Ia berharap dengan menabur pupuk organik pada lahan yang masih dipenuhi batang jagung yang mengering, tingkat kesuburan tanah miliknya kembali meningkat. "Dahulu ketika orang tua masih hidup, cukup diberi sedikit pupuk kimia, tanaman langsung subur. Tapi belakangan, meski pupuk kimia ditingkatkan, hasil panen malah menurun," ucapnya.

Hasil kerja Hadi ternyata tak sia-sia. Sawahnya yang sempat menganggur, setelah kembali ditanami pada pada musim tanam lalu, memberikan hasil yang baginya sudah sangat memuaskan. Tingkat kesuburan tanahnya kembali normal. Jumah panenan sembilan kuintal gabah kering giling sudah mendekati hasil puncak yang pernah dinikmati semasa orang tuanya masih hidup. ”Hasil panen tertinggi pernah mencapai satu ton,” tuturnya mengenang masa lalu.

Adalah Sama’i yang ikut berperan membantu Hadi mengolah tanah sawahnya agar kembali sumbur. Sebagai ketua Kelompok Tani Makmur Desa Tejo, Sama’i, tak ingin 107 petani yang menjadi anggotanya terus dlanda kerisauan. Sebab, bukan hanya tanah sawah milik Hadi yang merosot tingkat kesuburannya melainkan seluruh lahan sawah di desa tersebut, termasuk milik anggota kelompok tani yang dipimpinnya juga tak lagi subur. ”Mereka selalu mengeluh hasil panen padinya terus merosot dalam lima tahun terakhir,” papar Sama’i.

Kesukaannya mengumpulkan informasi dari berbagai media membantu Sama’i mendapatkan pengetahuan untuk mengatasi merosotnya tingkat kesuburan tanah sawah di desanya. Berbekal pengetahuannya yang dikumpulkannya sejak dua tahun lalu, Sama’i bersama anggota kelompok taninya terus berdiskusi. Akhirnya disepakati menggunakan pupuk organik sebagai solusi untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah.

Sejak itulah Hadi dan seluruh anggota Kelompok Tani Makmur membuat pupuk organik sederhana, yakni dari kotoran hewan, seperti sapi. Pupuk ditaburkan ke sawah. Selain itu jerami sisa panen yang biasanya dijual ditata secara merata di seluruh areal persawahan.

Ihwal merosotnya tingkat kesuburan tanah dibenarkan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jombang, Suhardi. Kondisinya, menurut Suhardi, sudah sangat memprihatinkan.

Menurut Suhardi, idealnya kandungan organik yang terdiri dari unsur hara dan mineral tanah tiga persen. Namun, saat ini hampir seluruh lahan sawah di Kabupaten Jombang telah mencapai titik nadir di bawah satu persen.

Dinas Pertanian Kabupaten Jombang tahun 2009 lalu melakukan penelitian. Hasilnya mencengangkan. Berdasarkan penelitian di 19 dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Jombang, kandungan bahan organik berkisar antara 0,5 hingga 1 persen. "Saat itu kami langsung bergerak dengan membuat laboratorium tanah," tutur Suhardi.

Dinas Pertanian juga memberikan pelatihan dan membantu peralatan pembuatan pupuk organik yang murah dan efisien. Pelatihan dan pemberian bantuan peralatan dilakukan melalui kelompok tani masing-masing.

Suhardi juga menjelaskan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan laboratorium tanah, tingkat kesuburan tanah mulai menurun sejak tahun 1983, setelah Kabupaten Jombang menikmati puncak hasil panen. Penggunaan pupuk kimia yang mulai dikenal masyarakat sekitar tahun 1960 membuat kandungan kesuburan tanah terus menurun. Akibatnya, tanah tak memiliki unsur hara yang cukup dan tanah pun mengeras.

Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur, Wibowo Eko Putro, mengamininya. Merosotnya tingkat kesuburan tanah bahkan tidak hanya terjadi di Jombang, melainkan menyeluruh di Jawa Timur. ”Jika dibiarkan, maka potensi pangan di tingkat lokal Jawa Timur dan Indonesia tak bisa terpenuhi lagi,” urai Wibowo.

Kekhawatiran Wibowo bukan tanpa alasan. Jawa Timur menyumbang 12 persen produksi padi secara nasional. Dengan demikian, jika Jawa Timur mengalami kekurangan produksi pertanian akan menggoyahkan politik pangan secara nasional.

Langkah penanggulangan segera diambil. Sejak tahun 2009, Jawa Timur menerapkan bantuan berupa subsidi pupuk organik kepada para petani. Melalui kelompok tani diberikan peralatan pembuat pupuk organik, seperti coper (pencacah bahan pupuk) dan granul (pembuat buliran pupuk). Dengan bantuan tersebut diharapkan petani mampu membuat pupuk organik murah sehingga bisa meningkatkan kesuburan tanah mereka.

Sejak saat itu sebanyak 1.968 kelompok tani sudah menerima peralatan pembuatan pupuk organik. Jumlah bantuan akan terus ditambah sehingga ditargetkan mencapai 3.000 alat untuk 3.000 kelompok tani.

Melalui pola bantuan tersebut, kata Wibowo, kelompok tani diharapkan mampu menyuplai kebutuhan pupuk organik, terutama untuk anggota kelompoknya. Harganya pun menjadi lebih murah, yakni Rp 500 per kilogram. Padahal harga pupuk organik produksi pabrik besar mencapai Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogram.

Kelompok tani juga terus didorong untuk terus berinovasi agar tanahnya subur. Di antaranya mencampur pupuk organik dengan beberapa mikroba sehingga kandungan unsur hara dan unsur perekat yang terdapat dalam pupuk organik lebih cepat berkembang.

Sama’i mengakui pentingnya terus berinovasi. Dengan menambahkan beberapa jenis mikroba, seperti azatobacter chroococcum, aspergillus niger serta beberapa mikroba lainnya, kandungan unsur hara dan pengikat nitrogen dalam tanah menjadi lebih cepat. Berbagai jenis mikroba tersebut bisa dibeli di Dinas Pertanian.

Dengan mencampukan mikroba, pembuatan pupuk organik bisa lebih cepat, yaitu hanya memerlukan waktu kurang dari dua pekan. "Kalau tanpa campuran mikroba bisa lebih dari satu bulan," kata Sama’i.

Kandungan zat organik dalam pupuk juga meningkat tajam. Jika tanpa campuran mikroba, 100 ru sawah memerlukan dua ton pupuk organik, sedangkan dengan campuran mikroba untuk tanah seluas 100 ru hanya membutuhkan 20 kilogram pupuk organik.

Pakar kesuburan tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Syahrul Kurniawan, menjelaskan bahwa merosotnya kesuburan tanah merupakan imbas dari ditemukannya pupuk kimia yang menandai adanya revolusi hijau pada dekade 1960-an. "Sejak saat itu kebutuhan pupuk kimia berkonsentrasi tinggi meningkat tajam," paparnya kepada Tempo, Rabu, 28 September 2011.

Tingginya penggunaan pupuk kimia saat itu lantaran para petani merasa pupuk organik atau kompos kurang efektif untuk mempercepat dan meningkatkan produksi tanaman. Padahal, penggunaan pupuk kimia secara berkelanjutan membuat kandungan unsur hara dalam bahan organik dalam tanah tanah terus menyusut dan akhirnya habis.

Ditegaskan oleh Syahrul, jika kandungan organik dalam tanah sudah habis, maka berapapun jumlah pupuk kimia yang ditaburkan tak akan mampu menjadikan tanaman subur. Bahan-bahan kandungan pupuk kimia sesungguhnya hanya bisa merangsang pertumbuhan tanaman, tapi tidak mampu menciptakan unsur organik yang sejatinya dibutuhkan oleh tanah.

Menurut Syahrul pula, sejak Indonesia mencapai swasembada pangan tahun 1983, saat itulah titik puncak terjadinya kerusakan kandungan bahan organik tanah di seluruh areal persawahan. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah justru terus menggenjot target peningkatan produksi pertanian. Para petani pun berlomba menggunakan pupuk kimia. Pada saat bersamaan luas lahan terus berkurang.

Untuk memulihkan tingkat kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia, kata Syahrul, dibutuhkan waktu lima sampai 10 tahun. Itupun tingkat kesuburannya hanya mencapai tiga persen. Hasil tersebut juga sangat tergantung pada tingkat kesadaran petani untuk beralih menggunakan pupuk organik. FATKHURROHMAN TAUFIQ

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2011/09/28/brk,20110928-358711,id.html

No comments:

Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi

Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...