Jakarta, Jumat
Mikroba yang memproduksi metana ditemukan pada lapisan es Greenland serta padang pasir yang panas dan kering. Ditemukannya jenis bakteri yang hidup di lingkungan ekstrim tersebut semakin mendukung dugaan bahwa organisme tertentu mungkin dapat bertahan hidup di Mars.
Hewan renik penghasil metana itu ditemukan dalam sampel lapisan es yang diambil pada kedalaman tiga kilometer di bawah Greenland oleh para peneliti dari University of Greenland, Berkeley, AS. "Ini adalah kelompok Archaea (bakteri dan sejenisnya) pertama yang diketahui hidup dalam lingkungan tersebut," kata Buford Price, salah satu tim peneliti yang mempublikasikan temuannya dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Para ilmuwan telah mencatat bahwa konsentrasi metana pada lapisan es yang terendah dan sepanjang 90 meter mencapai sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada lapisan di atasnya. Mereka menduga bahwa tingginya kandungan metana karena adanya populasi mikroba dari golongan metanogen yang menghasilkan metana.
Di lain pihak, metana berkosentrasi tinggi juga ditemukan di atmosfer Mars oleh wahana Mars Express milik Eropa meskipun sumbernya masih belum diketahui. Metana bisa berasal dari aktivitas geologi, misalnya gunung berapi - yang belum terlihat sampai sekarang - atau sumber biologi, misalnya bakteri-bakteri metanogen. Sumber penghasil metana yang terbarukan jelas ada di sana. Sebab, jika tidak, sinar ultraviolet dari matahari seharusnya telah mengurai metana dalam 340 tahun.
Model permukaan Mars
Kelompok peneliti mengambil data di Greenland untuk memodelkan kondisi Mars sebagai salah satu program menyiapkan misi ke sana. Metanogen pada lapisan es yang ditemukan di Greenland tetap hidup pada suhu minus 10 derajat Celcius, tapi dapat memproduksi lebih banyak metana di lingkungan yang lebih hangat.
Untuk memperkirakan kandungan metana di Mars, mereka menganggap mikroba hidup pada suhu 0 derajat Celcius atau lebih. Temperatur sebesar ini berada pada kedalaman 150 meter hingga delapan kilometer di bawah permukaan Mars, tergantung pada jenis batuannya. Dari kedalaman tersebut, dibutuhkan waktu antara 15 tahun hingga 300 ribu tahun agar metana yang dihasilkan terlepas ke atmosfer.
"Menurut pendapat saya, NASA tidak akan menemukan cara untuk mengebor hingga 150 meter di Mars," kata Price, "Tapi, bor sederhana dapat digunakan untuk melihat apa yang dikeluarkan dari kawah-kawah di sana."
Kemudian, sebuah wahana dapat dikirim ke kawah yang lebih besar di mana kandungan metan pada atmosfernya tinggi. Robot penjelajah dapat diturunkan untuk menjelajahi bagian dalam kawah untuk mencari bukti-bukti kehidupan.
Penelitian lainnya yang dilaporkan dalam jurnal Icarus juga menemukan metanogen di lingkungan yang keras di Bumi. Para peneliti mempelajari lusinan tanah dan sampel uap dari lima gurun berbeda di Utah, Idaho, dan Kalifornia serta Kanada dan Chili.
Di sekitar Stasiun Penelitian Gurun Mars, Utah, ditemukan tanda-tanda kehidupan metanogen. Sedangkan kandungan metan dalam sampel gas 300 kali lebih besar daripada tanah sekitarnya.
Salah satu anggota tim Timothy Kral dari University of Arkansas, AS menyatakan bahwa lingkungan yang kering biasanya membinasakan bakteri jenis ini. "Jadi, menemukannya di area yang kering tidak pernah diperkirakan siapa pun sebelumnya," katanya.
Metanogen membutuhkan lingkungan anaerob (tanpa oksigen) untuk bertahan hidup serta kombinasi karbon dioksida dan hidrogen untuk menghasilkan energi. Sampel yang dikumpulkan Kral diperoleh dari lingkungan yang kemungkinan besar anaerob, yaitu lapisan kering pada kedalaman 70 centimeter di bawah gurun.
Permukaan Mars juga sangat kering, sehingga temuan tersebut mendukung dugaan bahwa kandungan metan yang ada di Mars mungkin dihasilkan oleh aktivitas mikroba. Tapi menurut Andrew Knoll, seorang ahli biogeokimia di Harvard University dan anggota tim ilmuwan wahana penjelajah Mars, metanogen mungkin tinggal di sana dengan syarat terdapat oksigen walaupun terbatas serta sumber makanannya.
Sumber asli: NewScientist.com
Penulis: Wah
Sumber : http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0512/09/175212.htm
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...
No comments:
Post a Comment