Indonesia adalah gudang keanekaragaman hayati. Akan diolah menjadi apa di BioIsland yang akan dibangun mulai 2006 di Batam?
Namanya 'pisang hepatitis-B'. Tapi ini bukan varietas pisang baru atau pisang yang bisa menebar penyakit hepatitis. Ini adalah vaksin hepatitis-B. Cuma bentuknya pisang. Aneh?
Pisang jenis ini tengah dikembangkan oleh divisi biologi molekuler Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jadi, jangan kaget jika beberapa tahun mendatang balita Anda malah disuruh makan pisang oleh dokter. Padahal, niatnya mau disuntik vaksin hepatitis-B.
Tapi, inilah keajaiban teknologi rekayasa genetika. ''Jika berhasil dikembangkan, kelak kita tidak perlu lagi disuntik untuk memperoleh vaksin hepatitis-B, tapi cukup makan pisang,'' tutur Dr Inez Hortense Slamet-Loedin, kepala Bidang Biologi Molekuler, LIPI, Kamis (16/2).
Hanya, kata Inez, diperlukan waktu paling cepat delapan tahun menciptakan produk bioteknologi unik ini. Meski begitu, LIPI bukannya belum menelorkan produk bioteknologi. Sejak 2003, divisi biologi molekuler LIPI mengembangkan varietas padi unggul.
Varietas ini memiliki ketahanan terhadap hama pengeret. Uji coba penanaman varietas baru ini di daerah Karawang, Jawa Barat, menunjukkan produktivitas padi meningkat 30-140 persen. ''Jika telah berhasil dirilis, para petani di Indonesia dapat mendongkrak kapasitas panen padi dari rata-rata empat ton per hektare menjadi delapan ton seperti Thailand atau Vietnam,'' tutur dia. Tentu saja ini memiliki implikasi ekonomi yang serius.
BioIsland
Menurut Dr Meika Syahbana Rusli, bioteknologi memang bukan cuma menawarkan temuan-temuan spektakuler, tapi juga nilai transaksi yang luar biasa (economic based-biotechonology). Lihat saja, pada tahun 2005 nilai produk berbasis bioteknologi di dunia mencapai 60 miliar dolar AS atau Rp 600 triliun.
Indonesia, kata Meika, bukannya tak mau terjun serius di bioteknologi. Apalagi, keanekaragaman hayati (biodiversity) Indonesia terbesar kedua di dunia. Sebidang tanah seluas 600 hektare di Pulau Rempang, Batam, Riau, telah disiapkan untuk dijadikan cluster pengembangan bioteknologi nasional. Namanya BioIsland.
Perancangan BioIsland mencontoh cluster-cluster lain yang telah dibangun di seluruh dunia. Cluster adalah kawasan yang terdiri dari kumpulan industri, institusi pemerintah, lembaga pendidikan (universitas) dan lembaga riset yang bekerja pada satu bidang khusus yang sama dalam satu lokasi geografis.
Hingga saat ini sistem cluster terbukti sebagai strategi jitu untuk melakukan komersialisasi teknologi dan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Cluster memungkinkan efektivitas pertukaran ilmu dan bahan baku. Contoh sukses cluster adalah Sillicon Valley di California, Amerika Serikat (AS), dalam bidang informasi teknologi (IT) atau Hollywood dalam industri perfilman.
Ada 25 negara yang telah memiliki cluster bioteknologi. AS yang terbesar dengan tujuh cluster bioteknologi. Singapura dan Malaysia bahkan sudah mendahului Indonesia. Belakangan, India membangun Genome Valley Hyderabad, sebuah cluster bioteknologi yang memiliki Center for DNA Fingerprinting and Diagnostic (CDFC), sebuah pusat bioinformatika terlengkap di Asia, dan menjadi rujukan banyak negara.
Proyek BioIsland, kata Meika, sejatinya telah dicetuskan pada 2001. Presiden Megawati Soekarnoputri yang menginstruksikan dibangunnya BioIsland. ''Kini kita telah memasuki penyusunan dokumen-dokumen teknis pembangunan kawasan, juga agenda pengembangan produk bioteknologi unggulan,'' papar Koordinator Tim Pengembangan BioIsland Kementerian Riset dan Teknologi itu.
Proyek seharga Rp 3 triliun itu --Rp 2 triliun di antaranya dari investasi asing-- direncanakan akan mulai dibangun pada 2006. Target waktu pembangunan 10-15 tahun. BioIslanad, kata Meika, akan melibatkan para ahli dari dalam dan luar negeri untuk mendapatkan temuan atau produk industri berbasis bioteknologi yang bernilai ekonomi tinggi.
BioIsland akan memfokuskan diri pada empat zona, yakni pertanian dan pangan; kesehatan dan farmasi; kelautan dan perikanan; serta industri dan lingkungan. ''Untuk tahap awal, lebih dititikberatkan pada bidang pertanian dan pangan serta kesehatan dan farmasi,'' kata Meika.
Pemilihan Pulau Rempang sebagai lokasi, kata Meika, lantaran kawasan ini memiliki akses internasional dan dekat dengan Singapura. Wilayah ini sejatinya termasuk area Balerang (Batam-Rempang-Galang). Sebagai kawasan yang dipersiapkan menjadi free trade zone, Barelang memiliki kelebihan berupa fasilitas bebas pajak atau pabean, serta kemudahan pengurusan keimigrasian dan investasi. Kawasan terpadu BioIsland akan ditangani empat pihak: Kementerian Riset dan Teknologi, Pemerintah Kota Batam, Badan Otorita Batam, serta PT Dafa Teknoagro Mandiri.
Menghemat devisa
Seberapa pentingkah BioIsland? Jika cluster ini terealisasi, Meika memprediksikan, negara dapat menghemat devisa hingga Rp 70 triliun per tahun. Saat ini, setiap tahunnya Indonesia masih mengimpor bahan-bahan pangan, sandang, atau produk farmasi.
Jika pengembangan BioIsland diarahkan pada bidang kesehatan dan farmasi, misalnya, negara diperkirakan dapat menghemat devisa negara sebesar 2078.9 juta dolar AS atau senilai 20,79 triliun rupiah (angka tahun 2003) untuk impor bahan kimia organik.
Selain itu, dapat juga dihemat devisa negara yang berasal dari impor produk farmasi dan kesehatan sebesar 470 juta dolar AS atau setara 4,2 triliun rupiah dan impor obat-obat kimia sebesar 18 trilyun rupiah. Devisa negara dari sektor kesehatan dan farmasi yang bisa dihemat mencapai 42 triliun rupiah per tahun.
Belum lagi, di bidang pangan. Bila BioIsland dikonsentrasikan untuk komoditas jagung dan kedelai saja, maka devisa negara sebesar Rp 8,6 triliun per tahun dapat diselamatkan. Jumlah ini antara lain untuk substitusi importasi kedelai (Rp 2 triliun), benih berlabel (Rp 500 miliar), dan substitusi importasi jagung (Rp 6,1 triliun).
Di sektor sandang, Indonesia merupakan negeri pengimpor serat kapas dalam jumlah besar. Menurut Meika, jika benih unggul kapas, padi, jagung, dan kedelai dapat diproduksi di dalam negeri melalui bioteknologi, maka devisa yang dapat diselamatkan serta nilai ekonomi produk industri yang dapat dibangkitkan akan mencapai lebih Rp 150 triliun atau hampir 10 persen nilai PDB Indonesia tahun 2003.
Sumber: http://republika.co.id/koran_detail.asp?id=235717&kat_id=13
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...
No comments:
Post a Comment