Wednesday, September 03, 2008

Menuju swasembada bahan bakar murah

Harga bahan bakar minyak (BBM) melonjak tinggi. Ini bukan pertama kali terjadi. Tiga dekade lalu kasus serupa pernah terjadi dan memicu kondisi resesi dunia. Brasil memutuskan berkonsentrasi mengembangkan metanol sebagai substitusi BBM.

Saat kelangkaan BBM terulang, keras kepala Brasil menuai pujian. Indonesia latah mengikuti meski tergagap. Maklum, 30 tahun lalu Indonesia termasuk negara yang terlena dengan windfall profit dari meroketnya harga minyak.

Kini Indonesia bukan negara makmur lagi. Utang menumpuk, sementara ketergantungan pada BBM semakin menjadi-jadi karena semakin murahnya kendaraan mesin bakar.

Minyak jarak memang sempat digaungkan, tetapi pelaksanaannya tak sederhana. Adapun bahan bakar air yang di banderol sebagai blue energy justru membuat Presiden SBY malu bukan kepalang ketika Joko Suprapto ternyata gombal.

Toh lepas dari adanya desas-desus campur tangan mafia minyak terhadap penemuan Joko, tuntutan terhadap bahan bakar murah sudah menjadi hal yang tak tertahankan karena berimbas langsung pada keamanan dapur rakyat dan bujet anggaran negara.

Beberapa penemu Indonesia seperti Poempida Hidayatullah, Futung Mustari hingga Djoko Sutrisno bereksperimen dengan penggunaan substitusi brown energy pada mesin bakar.

Dari Yogyakarta muncul nama Adji Koesoemo yang menemukan bahan bakar nusantara (BBN). Apalagi ini? Menurut cicit Sultan Hamengkubuwono VII, BBN-ya sama dengan BBM!

"BBM atau BBN ya sama. Sama-sama dari plankton atau ganggang yang tumbuh di lautan. Saya hanya merekayasa waktu untuk mendapatkan minyak dari biota laut itu," ujar pria yang tak lulus Fakultas Filsafat UGM itu beberapa waktu lalu.

Temuan BBN yang seliter bisa diproduksi seharga tak lebih dari Rp500 atau seharga sepotong tempe goreng-bahkan bisa lebih murah-itu sudah disampaikan kepada pemerintah, tetapi kurang mendapat respons.

Sayang ayah tiga anak itu enggan membeberkan bagaimana BBN bisa dihasilkan. Adji hanya meminta Pemerintah Indonesialah yang mengurus ini. Dirinya tak meminta sepeser pun keuntungan dari BBN yang dijamin melimpah ruah.

"Penangkaran plankton pada areal satu meter persegi dapat memproduksi bensin 14 liter per sepuluh hari, dengan ongkos produksi hanya Rp 380. Kalau dikembangkan kita dapat menikmati BBM harga murah," ujarnya.

Terbukti ilmiah

Sepintas omongan Adji hanya bualan di warung kopi, tetapi alasan ilmiah BBN menemukan jawaban saat IPB menggelar seminar bertajuk Oil Algae Seminar: The Next Prospective Environmental Biofuel Feedstock.

Dalam seminar yang digelar akhir Agustus itu, kampus para petani itu menyatakan siap mengembangkan mikroalga atau ganggang mikro sebagai sumber energi terbarukan.

"Sejumlah mikroalga telah dikembangkan [IPB] untuk bahan baku kosmetik dan farmasi, namun aplikasinya untuk pengembangan biofuel masih jarang dilakukan," kata Peneliti Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, Mujizat Kawaroe.

Mikroalga merupakan kelompok tumbuhan berukuran renik, baik sel tunggal maupun koloni yang hidup di seluruh wilayah perairan air tawar dan laut.

Mikroalga lazim disebut fitoplankton. Mikroalga saat ini menjadi salah satu alternatif sumber energi baru yang sangat potensial. Makanan utama mikroalga ialah karbon dioksida.

Biota ini mampu tumbuh cepat dan dipanen dalam waktu singkat yakni 7 hari-10 hari. Kegiatan kultivasi tumbuhan produsen primer ini menghemat ruang (save space), memiliki efisiensi dan efektivitas tinggi.

Panen mikroalga minimal 30 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan darat. Untuk mendapatkan satu liter biofuel dibutuhkan 5 ton mikroalga. Jumlah bahan baku ini termasuk masih sedikit.

Di dunia ini ada empat kelompok mikroalga antara lain: diatom (Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Keempatnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel.

Dari ratusan jenis mikroalga Indonesia, SBRC IPB telah melakukan penelitian kandungan senyawa bioaktif mikroalga yang ideal sebagai bahan baku biofuel. Beberapa di antaranya Chlorella dan Dunaliella. Chlorella ini memiliki kandungan lemak dan karbohidrat masing-masing adalah 14-22% dan 17%, sedangkan Dunaliella masing-masing 6% dan 32%.

SBRC IPB juga meneliti kandungan minyak mentah mikroalga (crude alga oil) Chlorella (17%), Dunaliella salina (23%), Isochrysis galbana (20-35%), dan Nannochloropsis oculata (31-68 %).

Menurut Mujizat, karakteristik spesies mikroalga ideal yang dikembangkan menjadi biofuel antara lain: memiliki kandungan lemak tinggi, adaptif terhadap perubahan lingkungan dan cepat laju pertumbuhannya.

Tak hanya itu, IPB juga telah memperbandingkan produksi biofuel per luas wilayah kultivasi antara lain: mikroalga A (136.900 liter per hektare), mikroalga B (58.700 liter per hektare), kelapa sawit (5.960 liter per hektare), kelapa (2.689 liter per hektare), jarak pagar (1.892 liter per hektare), kedelai (44 liter per hektare) dan jagung (172 liter per hektare).

Selanjutnya, Mujizat menjelaskan proses pembuatan mikroalga menjadi biofuel. Pertama-tama dilakukan identifikasi dan isolasi mikroalga. Mikroalga kemudian dikembangbiakkan (kultivasi) dan dipanen

Proses selanjutnya adalah ekstraksi (pemisahan) dengan pelarut hexan atau dietil eter. Metode ekstraksi bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan.

Direktur Utama PT Diatoms Cell Bioenergy, Dudy Christian menyampaikan prospek dan nilai ekonomi pengembangan biofuel mikroalga.

"Kondisi iklim tropis Indonesia dengan cahaya matahari sepanjang tahun sangat sesuai untuk kehidupan mikroalga. Mikroalga sangat prospektif dikembangkan di Indonesia," ujarnya optimistis.

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB, Yonny Koesmaryono menambah optimisme dengan statistik bahwa dua per tiga luas wilayah Indonesia terdiri dari perairan.

Sumber : www.bisnis.com

No comments:

Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi

Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...