Auditorium FTP UGM, 2 Desember 2009
(UPT BPPTK LIPI & PDII LIPI)
Berkerjasama dengan :
§ Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) cabang Yogyakarta
§ Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
§ Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi D.I. Yogyakarta
§ Bank Indonesia Yogyakarta
Tema dan Topik
Tema :
“Pengembangan teknologi berbasis bahan baku lokal”
Topik :
1. Agroindustri dan Kerakyatan
2. Diseminasi dan Implementasi Iptek
3. Energi, Bahan Alam, dan Lingkungan
Waktu dan Tempat
Hari : Rabu
Waktu : 2 Desember 2009
Tempat : Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM
Pembicara :
Keynote Speaker :
Prof. Sugahara (expert pangan fungsional, Ehime University , Japan )
Tema : Pemanfaatan Bahan Lokal untuk Peningkatan Kesehatan
1. Dr. Ir. Syahrul Aiman (Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI)
Tema : Peranan IPTEK untuk Pengembangan Industri
2. Ir. Mas’ud Asj’ari (Konsultan UMKM Bank Indonesia )
Tema : Peran Perbankan dan Permasalahan Strategis dalam Pembiayaan
UMKM di Indonesia
3. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI
Tema : Strategi Kebijakan Ketahanan Pangan dan Gizi Berbasis Bahan Lokal
Makalah
Makalah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Setiap makalah disediakan maksimal 10 halaman termasuk gambar dan tabel. Untuk keseragaman, penulisan makalah harus mengikuti format dan ketentuan sebagai berikut :
- Makalah diketik menggunakan Microsoft Word dengan format kertas A4 (210 x 297 mm), huruf times new roman 12 pt, jarak 1 spasi kecuali abstrak 10 pt dengan format satu kolom tanpa nomor halaman.
- Margin kiri ditetapkan 30 mm, margin kanan 20 mm, margin atas 30 mm dan margin bawah 20 mm.
- Makalah terdiri dari pendahuluan, bahan dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.
- Format kajian/review menyesuaikan
- Makalah akan diterbitkan dalam prosiding yang mempunyai ISBN
Pendaftaran
Kategori Peserta
Umum/Industri
Sebelum 28 Nov 2009
Rp 300.000,00
Sesudah 28 Nov 2009
Rp 350.000,00
Dosen/Peneliti
Sebelum 28 Nov 2009
Rp 200.000,00
Sesudah 28 Nov 2009
Rp 250.000,00
Anggota PATPI
Sebelum 28 Nov 2009
Rp 200.000,00
Sesudah 28 Nov 2009
Rp 250.000,00
Mahasiswa S1/S2/S3
Sebelum 28 Nov 2009
Rp 150.000,00
Sesudah 28 Nov 2009
Rp 200.000,00
* Bagi yang mengirimkan lebih dari satu makalah dikenakan biaya sebesar 50% dari biaya pendaftaran.
* Bagi yang berminat memesan prosiding, dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 100.000,00 per prosiding.
- Ditransfer ke BRI No rekening 6973-01-000011- 50-9 a/n Lilis Mulatsih
- Atau dibayar langsung pada saat heregristrasi
Tanggal Penting
F 9 November 2009 : Batas akhir pengiriman abstrak
F 13 November 2009 : Pengumuman makalah yang diterima
F 28 November 2009 : Penerimaan makalah lengkap
Sekretariat Panitia ;
UPT BPPTK LIPI
Jl. Yogyakarta – Wonosari km.31,5
Gading, Playen, Gunungkidul, Yogyakarta
Telepon (0274) 392570 faximile (0274) 391168
E-mail : semnas_09@yahoo. com
CP : Khoirun Nisa (08174110461) , Ervika Rahayu N.H. (08156893348)
Thursday, October 22, 2009
Riset Aplikatif Diperbanyak Komposisi Riset Diubah
Jakarta, Kompas - Pelaksanaan riset melalui Kementerian Negara Riset dan
Teknologi untuk tahun 2010 lebih diarahkan pada riset implementatif yang
hasilnya bisa diaplikasikan, termasuk untuk komersial industri. Komposisinya
sekitar 55 persen, sedangkan 45 persen lainnya untuk riset dasar.
”Komposisi ini berubah dibanding tahun ini,” kata Sekretaris Dewan Riset
Nasional (DRN) Tusy A Adibroto, Senin (19/10) di Jakarta.
Tahun ini, lanjutnya, komposisi pelaksanaan riset, sekitar 70 persen untuk
riset dasar dan 30 persen untuk riset implementatif. Dengan harapan
hasil-hasil riset bisa diaplikasikan di tengah masyarakat, komposisi riset
diubah.
Dalam pelaksanaan riset ini, DRN ditugaskan mengubah substansi proposal
riset agar lebih banyak riset yang aplikatif bagi industri. Dari 3.800
proposal riset yang diajukan ke DRN sepanjang 2009, misalnya, terdapat 304
proposal yang disetujui.
Menurut Tusy, meskipun terjadi perubahan komposisi riset, dana insentif
riset 2010 yang melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi tetap sama
seperti tahun 2009, yakni sebesar Rp 100 miliar. Dana insentif lainnya
disalurkan melalui berbagai lembaga riset.
Seperti disampaikan Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat Indroyono Soesilo, dari alokasi dana insentif riset 2009 sebesar Rp
360 miliar bagi 7.212 peneliti dan perekayasa, hanya tersalurkan Rp 273
miliar untuk 5.515 peneliti dan perekayasa di 36 lembaga riset pemerintah.
Karena daya serap rendah, alokasi dana insentif riset untuk 2010 turun
menjadi Rp 225 miliar bagi 5.500 peneliti dan perekayasa (Kompas, 19/10).
”Penyebab tidak terserapnya seluruh dana insentif riset harus diteliti
dulu,” kata Tusy.
Masih minim
Perekayasa Soni Solistia Wirawan dari Balai Rekayasa Desain dan Sistem
Teknologi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengatakan, dana
insentif riset yang ditujukan untuk menunjang inovasi secara komersial bagi
industri sebetulnya tergolong minim. Tahun ini, pengajuan risetnya disetujui
dan mendapat alokasi dana sebesar Rp 350 juta.
Proposal Soni berjudul ”Perintisan Pembangunan Pabrik Biodiesel Skala
Komersial Kapasitas 30.000 sampai 40.000 ton per tahun dengan Teknologi
Lokal”. Persetujuan dana riset Rp 350 juta itu hanya cukup sampai tahap
penyelesaian rancang-bangun, jauh dari biaya konstruksi dan operasionalnya.
”Supaya riset itu benar-benar bisa implementatif, caranya dengan menggandeng
pihak swasta,” kata Soni. Untuk merealisasikan pabrik biodiesel berkapasitas
sampai 40.000 ton per tahun, lanjut Soni, diperkirakan butuh dana Rp 10
miliar. (NAW)
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Teknologi untuk tahun 2010 lebih diarahkan pada riset implementatif yang
hasilnya bisa diaplikasikan, termasuk untuk komersial industri. Komposisinya
sekitar 55 persen, sedangkan 45 persen lainnya untuk riset dasar.
”Komposisi ini berubah dibanding tahun ini,” kata Sekretaris Dewan Riset
Nasional (DRN) Tusy A Adibroto, Senin (19/10) di Jakarta.
Tahun ini, lanjutnya, komposisi pelaksanaan riset, sekitar 70 persen untuk
riset dasar dan 30 persen untuk riset implementatif. Dengan harapan
hasil-hasil riset bisa diaplikasikan di tengah masyarakat, komposisi riset
diubah.
Dalam pelaksanaan riset ini, DRN ditugaskan mengubah substansi proposal
riset agar lebih banyak riset yang aplikatif bagi industri. Dari 3.800
proposal riset yang diajukan ke DRN sepanjang 2009, misalnya, terdapat 304
proposal yang disetujui.
Menurut Tusy, meskipun terjadi perubahan komposisi riset, dana insentif
riset 2010 yang melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi tetap sama
seperti tahun 2009, yakni sebesar Rp 100 miliar. Dana insentif lainnya
disalurkan melalui berbagai lembaga riset.
Seperti disampaikan Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat Indroyono Soesilo, dari alokasi dana insentif riset 2009 sebesar Rp
360 miliar bagi 7.212 peneliti dan perekayasa, hanya tersalurkan Rp 273
miliar untuk 5.515 peneliti dan perekayasa di 36 lembaga riset pemerintah.
Karena daya serap rendah, alokasi dana insentif riset untuk 2010 turun
menjadi Rp 225 miliar bagi 5.500 peneliti dan perekayasa (Kompas, 19/10).
”Penyebab tidak terserapnya seluruh dana insentif riset harus diteliti
dulu,” kata Tusy.
Masih minim
Perekayasa Soni Solistia Wirawan dari Balai Rekayasa Desain dan Sistem
Teknologi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi mengatakan, dana
insentif riset yang ditujukan untuk menunjang inovasi secara komersial bagi
industri sebetulnya tergolong minim. Tahun ini, pengajuan risetnya disetujui
dan mendapat alokasi dana sebesar Rp 350 juta.
Proposal Soni berjudul ”Perintisan Pembangunan Pabrik Biodiesel Skala
Komersial Kapasitas 30.000 sampai 40.000 ton per tahun dengan Teknologi
Lokal”. Persetujuan dana riset Rp 350 juta itu hanya cukup sampai tahap
penyelesaian rancang-bangun, jauh dari biaya konstruksi dan operasionalnya.
”Supaya riset itu benar-benar bisa implementatif, caranya dengan menggandeng
pihak swasta,” kata Soni. Untuk merealisasikan pabrik biodiesel berkapasitas
sampai 40.000 ton per tahun, lanjut Soni, diperkirakan butuh dana Rp 10
miliar. (NAW)
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Belajar dari Hadiah Nobel
PENGUMUMAN tokoh-tokoh yang meraih hadiah Nobel menjadi perhatian media massa di seluruh dunia. Momentum tahunan ini sudah menjadi tradisi yang tak bisa ditinggalkan selama lebih seratus tahun.
Penganugerahan hadiah yang diambil dari nama pendirinya, pengusaha kaya raya asal Swedia Alfred Nobel, ini telah mengilhami banyak orang untuk konsisten mengabdi dan berbuat untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Seleksi yang sangat ketat membuat ajang ini benar-benar menjadi penanda puncak prestasi dari tokoh-tokoh dunia yang memiliki kreasi, inovasi, dan dedikasi tinggi pada bidang masing-masing.
Hadiah Nobel yang pertama kali diadakan pada 1901 ini diberikan pada bidang fisika, ekonomi, sastra, dan yang paling bergengsi adalah Nobel Perdamaian. Setiap tahun Komite Nobel bersama dewan juri akan memilihkan empat dari ratusan bahkan ribuan nama yang sudah disaring dengan ketat dan diumumkan di Norwegia. Begitu pentingkah ajang Nobel itu dan apa manfaat yang bisa dipetik oleh bangsa Indonesia? Ajang seperti ini jelas penting dan harus menjadi salah satu obsesi bangsa Indonesia jika ingin disejajarkan dengan negaranegara maju yang selama ini mendominasi peraih Nobel.
Negara maju boleh mendominasi, tapi tidak berarti peluang emerging countryseperti Indonesia menjadi tertutup.Sangat terbuka kemungkinan para ilmuwan,tokoh-tokoh yang kita miliki mampu meraih Nobel.Asalkan kita semua memiliki tekad dan kemauan untuk memperjuangkan putraputri terbaik bangsa kita di ajang-ajang internasional. Di berbagai eventolimpiade sains dan teknologi tingkat dunia,prestasi siswa-siswi dan mahasiswa kita beberapa tahun terakhir sangat membanggakan. Ini berarti kemampuan sumber daya manusia kita sudah diakui dunia.
Inilah peluang sekaligus kesempatan kita semua untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi,sebut saja hadiah Nobel.Kesuksesan bukanlah sesuatu yang given atau turun dari langit, tapi harus dibuat dan dirancang sedemikian rupa dalam waktu yang tidak singkat. Human investment memerlukan waktu 20–30 tahun.Andaikan kita start dengan benar 20 tahun lalu,tentu saat ini kita sudah menuai buah manis dari kerja keras itu. Namun karena kita startterlambat,katakanlah lima tahun lalu,berarti kita baru memetik hasilnya 15 ke depan atau pada 2024.
Setidaknya di tahun-tahun itulah anak-anak muda kita yang sudah mengantongi prestasi internasional sudah semakin matang dan harus siap bersaing dengan ratusan tokoh lain untuk memperebutkan Nobel ekonomi, fisika, sastra, dan perdamaian. Ini pun dengan catatan, pemerintah benar-benar serius memperhatikan dan mendidik anak-anak bangsa yang berprestasi itu secara baik. Merekalah masa depan Indonesia. Maka kita harus all out untuk menggembleng mereka tiada henti. Dengan anggaran pendidikan yang cukup besar,semua itu sangat mungkin dilakukan.
Untuk mengejar impian dan obsesi itu diperlukan pemimpinpemimpin yang visioner, berpikir jauh ke depan dan mengabdikan diri demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.Pemimpin yang tidak hanya berpikir untuk kepentingan sesaat jangka pendek yang tidak memiliki visi dan misi mulia. Karena itu, kita mengetuk hati para pemimpin yang terpilih yang duduk di DPR,DPD,pemerintahan,kepala daerah agar memiliki kesadaran yang sama untuk menyiapkan masa depan.
Bukan menyiapkan masa depan diri sendiri atau kelompoknya, tapi masa depan seluruh bangsa Indonesia. Penganugerahan Nobel hendaknya kita jadikan momentum untuk introspeksi dan berkaca diri bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang di awangawang yang tak mungkin diraih. Cukup banyak anak bangsa ini yang bisa di-upgrade dan dipertajam potensi dirinya sehingga mampu menjadi tokoh-tokoh kelas dunia di masa depan.
Sejarah telah memberi contoh terang benderang bahwa kita ini bukan bangsa tempe,bukan bangsa kelas dua,tapi bangsa yang mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mari kita atasi ketertinggalan itu dengan semangat dan kerja keras karena kesuksesan tidak ditentukan oleh waktu, tapi oleh seberapa jauh kemauan dan semangat kita meraihnya.(*)
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/
Penganugerahan hadiah yang diambil dari nama pendirinya, pengusaha kaya raya asal Swedia Alfred Nobel, ini telah mengilhami banyak orang untuk konsisten mengabdi dan berbuat untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Seleksi yang sangat ketat membuat ajang ini benar-benar menjadi penanda puncak prestasi dari tokoh-tokoh dunia yang memiliki kreasi, inovasi, dan dedikasi tinggi pada bidang masing-masing.
Hadiah Nobel yang pertama kali diadakan pada 1901 ini diberikan pada bidang fisika, ekonomi, sastra, dan yang paling bergengsi adalah Nobel Perdamaian. Setiap tahun Komite Nobel bersama dewan juri akan memilihkan empat dari ratusan bahkan ribuan nama yang sudah disaring dengan ketat dan diumumkan di Norwegia. Begitu pentingkah ajang Nobel itu dan apa manfaat yang bisa dipetik oleh bangsa Indonesia? Ajang seperti ini jelas penting dan harus menjadi salah satu obsesi bangsa Indonesia jika ingin disejajarkan dengan negaranegara maju yang selama ini mendominasi peraih Nobel.
Negara maju boleh mendominasi, tapi tidak berarti peluang emerging countryseperti Indonesia menjadi tertutup.Sangat terbuka kemungkinan para ilmuwan,tokoh-tokoh yang kita miliki mampu meraih Nobel.Asalkan kita semua memiliki tekad dan kemauan untuk memperjuangkan putraputri terbaik bangsa kita di ajang-ajang internasional. Di berbagai eventolimpiade sains dan teknologi tingkat dunia,prestasi siswa-siswi dan mahasiswa kita beberapa tahun terakhir sangat membanggakan. Ini berarti kemampuan sumber daya manusia kita sudah diakui dunia.
Inilah peluang sekaligus kesempatan kita semua untuk meraih prestasi yang lebih tinggi lagi,sebut saja hadiah Nobel.Kesuksesan bukanlah sesuatu yang given atau turun dari langit, tapi harus dibuat dan dirancang sedemikian rupa dalam waktu yang tidak singkat. Human investment memerlukan waktu 20–30 tahun.Andaikan kita start dengan benar 20 tahun lalu,tentu saat ini kita sudah menuai buah manis dari kerja keras itu. Namun karena kita startterlambat,katakanlah lima tahun lalu,berarti kita baru memetik hasilnya 15 ke depan atau pada 2024.
Setidaknya di tahun-tahun itulah anak-anak muda kita yang sudah mengantongi prestasi internasional sudah semakin matang dan harus siap bersaing dengan ratusan tokoh lain untuk memperebutkan Nobel ekonomi, fisika, sastra, dan perdamaian. Ini pun dengan catatan, pemerintah benar-benar serius memperhatikan dan mendidik anak-anak bangsa yang berprestasi itu secara baik. Merekalah masa depan Indonesia. Maka kita harus all out untuk menggembleng mereka tiada henti. Dengan anggaran pendidikan yang cukup besar,semua itu sangat mungkin dilakukan.
Untuk mengejar impian dan obsesi itu diperlukan pemimpinpemimpin yang visioner, berpikir jauh ke depan dan mengabdikan diri demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.Pemimpin yang tidak hanya berpikir untuk kepentingan sesaat jangka pendek yang tidak memiliki visi dan misi mulia. Karena itu, kita mengetuk hati para pemimpin yang terpilih yang duduk di DPR,DPD,pemerintahan,kepala daerah agar memiliki kesadaran yang sama untuk menyiapkan masa depan.
Bukan menyiapkan masa depan diri sendiri atau kelompoknya, tapi masa depan seluruh bangsa Indonesia. Penganugerahan Nobel hendaknya kita jadikan momentum untuk introspeksi dan berkaca diri bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang di awangawang yang tak mungkin diraih. Cukup banyak anak bangsa ini yang bisa di-upgrade dan dipertajam potensi dirinya sehingga mampu menjadi tokoh-tokoh kelas dunia di masa depan.
Sejarah telah memberi contoh terang benderang bahwa kita ini bukan bangsa tempe,bukan bangsa kelas dua,tapi bangsa yang mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mari kita atasi ketertinggalan itu dengan semangat dan kerja keras karena kesuksesan tidak ditentukan oleh waktu, tapi oleh seberapa jauh kemauan dan semangat kita meraihnya.(*)
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/
Cahaya bagi Penuaan dan Kanker
Oleh BRIGITTA ISWORO L
Mereka yang ”takut” pada proses penuaan, dan berpendapat penyakit kanker adalah penyakit tak tersembuhkan, telah menemukan ujung lorong cahaya melalui penemuan yang mengarah pada lorong jawab.
Tiga ilmuwan—Elizabeth Blackburn, Carol Greider, dan Jack Szostak—Senin (5/10), menerima Hadiah Nobel Kedokteran tahun 2009 karena menemukan dan mengidentifikasi sebuah mekanisme kunci dalam operasi genetis sel, sebuah penemuan yang telah mengilhami penelitian-penelitian baru dalam penuaan dan kanker.
Mereka, pada akhir 1970-an dan 1980-an, telah berhasil memecahkan persoalan besar di bidang biologi, ”Bagaimana kromosom mampu mengopi diri secara sempurna saat membelah diri dan bagaimana mereka melindungi diri mereka dari degradasi”, demikian tertulis pada sitat.
Ini kemenangan kedua mereka bertiga setelah tahun 2006 mereka memenangi Lasker Prize karena mampu memprediksi dan menemukan suatu enzim yang disebut telomerase yang membantu menahan kromosom sel tetap muda. Mereka menemukan solusinya di ujung kromosom, di bagian yang disebut telomere yang sering dibandingkan dengan bagian plastik pada ujung-ujung tali sepatu yang menahan tali sepatu itu agar tidak terurai (Kompas, 6/10). Greider mengatakan, ”Pendekatan kami menunjukkan bahwa saat kami melakukan riset untuk menjawab sesuatu tentang penyakit yang spesifik, kami juga hanya bisa melakukannya dengan mengikuti hidung kami (naluri).”
Molekul deoxyribo nucleic acid (DNA) yang panjang seperti benang, pembawa gen-gen manusia, terkumpul menjadi kromosom. Telomere yang dihasilkan telomerase ini merupakan tutup di ujungnya. Telomere sebenarnya telah ditemukan beberapa dekade sebelumnya, tetapi Blackburn ingin tahu bagaimana itu dikopi sehingga bisa mencegah penuaan. ”Jam tidak berputar ke belakang, tetapi ada pertanyaan bagaimana kita bisa memperpanjang kesehatan kita,” ujarnya.
Hasil kerja mereka memang berbatasan dengan bidang kerja kimia. Sempat muncul dugaan bahwa mereka juga akan sekaligus menerima Nobel Kimia tahun 2009. ”Penemuan Blackburn, Greider, dan Szostak telah menambahkan dimensi baru pada pemahaman kita tentang sel, menjatuhkan cahaya pada mekanisme penyakit, dan menstimulasi perkembangan terapi baru yang berpotensi,” ungkap Komite Penghargaan Nobel.
Pemimpin Eksekutif Dewan Riset Kedokteran Inggris (Britain’s Medical Research Council) Sir Leszek Borysiewicz dalam pernyataannya menyatakan, ”Penelitian tentang kromosom membantu meletakkan dasar dari penelitian pada masa depan tentang kanker, sel punca, juga proses penuaan. Ini wilayah-wilayah yang amat penting.”
Tidak menunggu
Blackburn yang lahir di Australia dan kini memegang dua kewarganegaraan, AS dan Australia, mengakui, dia tidak menunggu-nunggu telepon dari Komite Penghargaan Nobel meskipun namanya berada di urutan teratas daftar penerima penghargaan. ”Saya terbangun dan perlu sementara waktu sebelum menyadarinya,” katanya menambahkan.
Dia mengatakan telah berada di California Selatan sehari sebelumnya untuk mengunjungi ibu mertuanya yang berulang tahun ke-95. ”Telepon berdering, dan saya meraba-raba di kegelapan untuk menerimanya,” ujarnya.
Blackburn, yang berani bicara blakblakan, dipecat pada 2004 dari Dewan Bioetik bentukan Presiden AS George W Bush karena mengkritik kebijakannya terkait riset tentang sel punca.
Riset lainnya yang sekarang dilakukan Blackburn menunjukkan bahwa stres kronis dan perilaku gaya hidup tertentu dapat mematikan telomere dan telomerase. Hal ini suatu ketika akan menjadi pintu masuk dari pemahaman baru dari dampak stres dan kemunculan dini penyakit yang terkait proses penuaan, seperti kebutaan dan kardiovaskular.
Untuk ayah
Greider mempersembahkan kemenangannya kepada sang ayah, yang ahli fisika, yang telah mendorong dia untuk terjun ke dunia ilmu pengetahuan.
”Dia akan mengatakan, ’Kami bisa melakukan apa pun yang kamu ingin lakukan, tetapi kamu harus menyukai apa yang kamu lakukan’,” ujarnya mengenang sang ayah.
Dia memulai penelitian telomerase pada akhir 1970-an dengan Blackburn, penasihat akademisnya yang memelopori riset mengenai kromosom dan DNA di Universitas California. Dia menambahkan, Hadiah Nobel itu merupakan pengakuan nilai penemuan yang didorong oleh rasa ingin tahu murni.
Stephen Desiderio, Direktur John’s Hopkins Institute for Basic Biomedical Sciences, tempat Greider bekerja, menandaskan, ”Sebagai rekan sesama ilmuwan, mentor, dan perempuan di dunia keilmuan, dia adalah inspirasi bagi bangsa ini dan dunia.” Kemenangan Greider membuat universitas itu amat gembira.
Greider mengatakan, ”Pendekatan kami menunjukkan bahwa saat kami melakukan riset untuk menjawab sesuatu tentang penyakit yang spesifik, kami juga bisa hanya melakukannya dengan mengikuti hidung kita (naluri).”
Penghargaan tertinggi
Sementara itu, Szostak memandang penghargaan tersebut sebagai penghargaan tertinggi. Jadi, amat menyenangkan menerima pengakuan seperti itu, lagi pula bisa berbagi dengan rekannya, koleganya. ”Saya rasa kami membutuhkan keseimbangan antara ilmu dasar dan riset terapan,” ujarnya.
Szostak memang sejak 1970-an terus-menerus meneliti telomerase. Menurut Berg, ”Dia mencoba menemukan bagaimana dia dapat membuat proto-sel dan membuatnya menyalin materi genetiknya. Ini sama dengan benar-benar menciptakan kehidupan di tabung percobaan.”
Sejumlah perusahaan telah mencoba mendapatkan hasil penelitian telomerase. Geron Corp dari Menlo Park, California, telah meluncurkan uji klinis untuk mengetes telomerase guna melihat kemungkinannya memerangi kanker.
Tidak ada obat atau perawatan yang sudah di depan mata. Konselor UCSF Susan Desmond-Hellmann mengatakan, ”Penelitian Blackburn menjadi amat penting bagi bioteknologi dan perusahaan farmasi.” Dia sebelumnya adalah pejabat eksekutif perusahaan bioteknologi besar Genentech. (AP/AFP/Reuters/Berbagai Sumber)
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Mereka yang ”takut” pada proses penuaan, dan berpendapat penyakit kanker adalah penyakit tak tersembuhkan, telah menemukan ujung lorong cahaya melalui penemuan yang mengarah pada lorong jawab.
Tiga ilmuwan—Elizabeth Blackburn, Carol Greider, dan Jack Szostak—Senin (5/10), menerima Hadiah Nobel Kedokteran tahun 2009 karena menemukan dan mengidentifikasi sebuah mekanisme kunci dalam operasi genetis sel, sebuah penemuan yang telah mengilhami penelitian-penelitian baru dalam penuaan dan kanker.
Mereka, pada akhir 1970-an dan 1980-an, telah berhasil memecahkan persoalan besar di bidang biologi, ”Bagaimana kromosom mampu mengopi diri secara sempurna saat membelah diri dan bagaimana mereka melindungi diri mereka dari degradasi”, demikian tertulis pada sitat.
Ini kemenangan kedua mereka bertiga setelah tahun 2006 mereka memenangi Lasker Prize karena mampu memprediksi dan menemukan suatu enzim yang disebut telomerase yang membantu menahan kromosom sel tetap muda. Mereka menemukan solusinya di ujung kromosom, di bagian yang disebut telomere yang sering dibandingkan dengan bagian plastik pada ujung-ujung tali sepatu yang menahan tali sepatu itu agar tidak terurai (Kompas, 6/10). Greider mengatakan, ”Pendekatan kami menunjukkan bahwa saat kami melakukan riset untuk menjawab sesuatu tentang penyakit yang spesifik, kami juga hanya bisa melakukannya dengan mengikuti hidung kami (naluri).”
Molekul deoxyribo nucleic acid (DNA) yang panjang seperti benang, pembawa gen-gen manusia, terkumpul menjadi kromosom. Telomere yang dihasilkan telomerase ini merupakan tutup di ujungnya. Telomere sebenarnya telah ditemukan beberapa dekade sebelumnya, tetapi Blackburn ingin tahu bagaimana itu dikopi sehingga bisa mencegah penuaan. ”Jam tidak berputar ke belakang, tetapi ada pertanyaan bagaimana kita bisa memperpanjang kesehatan kita,” ujarnya.
Hasil kerja mereka memang berbatasan dengan bidang kerja kimia. Sempat muncul dugaan bahwa mereka juga akan sekaligus menerima Nobel Kimia tahun 2009. ”Penemuan Blackburn, Greider, dan Szostak telah menambahkan dimensi baru pada pemahaman kita tentang sel, menjatuhkan cahaya pada mekanisme penyakit, dan menstimulasi perkembangan terapi baru yang berpotensi,” ungkap Komite Penghargaan Nobel.
Pemimpin Eksekutif Dewan Riset Kedokteran Inggris (Britain’s Medical Research Council) Sir Leszek Borysiewicz dalam pernyataannya menyatakan, ”Penelitian tentang kromosom membantu meletakkan dasar dari penelitian pada masa depan tentang kanker, sel punca, juga proses penuaan. Ini wilayah-wilayah yang amat penting.”
Tidak menunggu
Blackburn yang lahir di Australia dan kini memegang dua kewarganegaraan, AS dan Australia, mengakui, dia tidak menunggu-nunggu telepon dari Komite Penghargaan Nobel meskipun namanya berada di urutan teratas daftar penerima penghargaan. ”Saya terbangun dan perlu sementara waktu sebelum menyadarinya,” katanya menambahkan.
Dia mengatakan telah berada di California Selatan sehari sebelumnya untuk mengunjungi ibu mertuanya yang berulang tahun ke-95. ”Telepon berdering, dan saya meraba-raba di kegelapan untuk menerimanya,” ujarnya.
Blackburn, yang berani bicara blakblakan, dipecat pada 2004 dari Dewan Bioetik bentukan Presiden AS George W Bush karena mengkritik kebijakannya terkait riset tentang sel punca.
Riset lainnya yang sekarang dilakukan Blackburn menunjukkan bahwa stres kronis dan perilaku gaya hidup tertentu dapat mematikan telomere dan telomerase. Hal ini suatu ketika akan menjadi pintu masuk dari pemahaman baru dari dampak stres dan kemunculan dini penyakit yang terkait proses penuaan, seperti kebutaan dan kardiovaskular.
Untuk ayah
Greider mempersembahkan kemenangannya kepada sang ayah, yang ahli fisika, yang telah mendorong dia untuk terjun ke dunia ilmu pengetahuan.
”Dia akan mengatakan, ’Kami bisa melakukan apa pun yang kamu ingin lakukan, tetapi kamu harus menyukai apa yang kamu lakukan’,” ujarnya mengenang sang ayah.
Dia memulai penelitian telomerase pada akhir 1970-an dengan Blackburn, penasihat akademisnya yang memelopori riset mengenai kromosom dan DNA di Universitas California. Dia menambahkan, Hadiah Nobel itu merupakan pengakuan nilai penemuan yang didorong oleh rasa ingin tahu murni.
Stephen Desiderio, Direktur John’s Hopkins Institute for Basic Biomedical Sciences, tempat Greider bekerja, menandaskan, ”Sebagai rekan sesama ilmuwan, mentor, dan perempuan di dunia keilmuan, dia adalah inspirasi bagi bangsa ini dan dunia.” Kemenangan Greider membuat universitas itu amat gembira.
Greider mengatakan, ”Pendekatan kami menunjukkan bahwa saat kami melakukan riset untuk menjawab sesuatu tentang penyakit yang spesifik, kami juga bisa hanya melakukannya dengan mengikuti hidung kita (naluri).”
Penghargaan tertinggi
Sementara itu, Szostak memandang penghargaan tersebut sebagai penghargaan tertinggi. Jadi, amat menyenangkan menerima pengakuan seperti itu, lagi pula bisa berbagi dengan rekannya, koleganya. ”Saya rasa kami membutuhkan keseimbangan antara ilmu dasar dan riset terapan,” ujarnya.
Szostak memang sejak 1970-an terus-menerus meneliti telomerase. Menurut Berg, ”Dia mencoba menemukan bagaimana dia dapat membuat proto-sel dan membuatnya menyalin materi genetiknya. Ini sama dengan benar-benar menciptakan kehidupan di tabung percobaan.”
Sejumlah perusahaan telah mencoba mendapatkan hasil penelitian telomerase. Geron Corp dari Menlo Park, California, telah meluncurkan uji klinis untuk mengetes telomerase guna melihat kemungkinannya memerangi kanker.
Tidak ada obat atau perawatan yang sudah di depan mata. Konselor UCSF Susan Desmond-Hellmann mengatakan, ”Penelitian Blackburn menjadi amat penting bagi bioteknologi dan perusahaan farmasi.” Dia sebelumnya adalah pejabat eksekutif perusahaan bioteknologi besar Genentech. (AP/AFP/Reuters/Berbagai Sumber)
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Tiga Peneliti Ribosom Raih Nobel Kimia
Jakarta, Kompas - Tiga peneliti ribosom memenangi Nobel Kimia Tahun 2009, yang diumumkan tim juri di Stockholm, Swedia, Rabu (7/10). Mereka dinilai berjasa membuka jalan bagi temuan obat antibiotik baru yang menghambat fungsi ribosom pada bakteri penyebab penyakit pada organisme hidup.
Ribosom digambarkan sebagai ”mesin” penghasil protein, yang mengontrol organisme hidup. Bekerja secara terpisah, ketiganya menggunakan metode yang disebut X-ray crystallography untuk menunjukkan dengan tepat posisi ratusan dari ribuan atom penyusun ribosom.
Ketiganya adalah Venkatraman Ramakrishnan (57) dan Thomas Steitz (69) dari Amerika Serikat serta Ada Yonath (70) dari Israel, yang fokus pada penelitian biologi molekuler di sejumlah institusi bergengsi. Ketekunan mereka meneliti struktur dan fungsi ribosom membuka jalan penting atas keberadaan antibiotik baru.
Peran mereka atas keberadaan alat pemodelan struktur ribosom tiga dimensi (3D) membawa para ilmuwan pada temuan obat-obatan baru pembunuh mikroba.
”Obat-obatan itu secara langsung membantu menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan manusia,” demikian catatan juri pada pengumuman di Royal Swedish Academy of Sciences kemarin. Pengumuman itu sekaligus memupus peluang tiga peraih Nobel Kesehatan 2009, yang penelitiannya berhubungan dengan bidang kimia.
Atas pencapaian itu, ketiganya harus berbagi hadiah berupa uang sebanyak 1,4 juta dollar AS atau sekitar Rp 14 miliar.
Ilmuwan luar biasa
Profesor David Garner, Presiden Royal Society of Chemistry, menggambarkan ketiga peraih nobel kimia tersebut sebagai ”ilmuwan luar biasa” dan menyebutkan karya mereka ”sangat besar artinya”. Ketiganya berhasil menguak struktur molekul yang kompleks dalam detail yang tak terbayangkan.
Ramakrishnan, ilmuwan kelahiran India, saat ini merupakan ilmuwan senior pada MRC Laboratory of Molecular Biology di Cambridge, Inggris, sedangkan Steitz, lulusan Universitas Harvard, saat ini merupakan profesor biofisika dan biokimia molekuler di Universitas Yale, AS.
Yonath adalah profesor biologi struktural dan struktur biomolekuler pada Weizmann Institute of Science di Rehovot, Israel. Ia merupakan perempuan keempat peraih Nobel Kimia, sejak pertama kali diberikan tahun 1901.
”Ini sungguh melampaui mimpi-mimpi saya. Terima kasih,” kata Yonath dalam konferensi persnya.
Contoh hebat
Secara khusus, Presiden American Chemical Society Thomas Lane menyebutkan, penghargaan Nobel Kimia ini merupakan ”sebuah contoh hebat dari para pemimpin di bidangnya—orang dari seluruh dunia—yang bekerja menuju tujuan bersama dan memungkinkan mewujudkannya”.
Melalui kemajuan dalam analisis kimiawi, penggambaran, dan sains komputer, lanjut Lane, mereka saat ini mempunyai jendela yang tepat masuk ke dalam bangunan yang terdiri atas sel-sel. Kesempatan itu memberi pengetahuan bagi peneliti-peneliti lain untuk menghasilkan obat-obat baru memerangi penyakit.(AFP/BBC/AP/GSA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Ribosom digambarkan sebagai ”mesin” penghasil protein, yang mengontrol organisme hidup. Bekerja secara terpisah, ketiganya menggunakan metode yang disebut X-ray crystallography untuk menunjukkan dengan tepat posisi ratusan dari ribuan atom penyusun ribosom.
Ketiganya adalah Venkatraman Ramakrishnan (57) dan Thomas Steitz (69) dari Amerika Serikat serta Ada Yonath (70) dari Israel, yang fokus pada penelitian biologi molekuler di sejumlah institusi bergengsi. Ketekunan mereka meneliti struktur dan fungsi ribosom membuka jalan penting atas keberadaan antibiotik baru.
Peran mereka atas keberadaan alat pemodelan struktur ribosom tiga dimensi (3D) membawa para ilmuwan pada temuan obat-obatan baru pembunuh mikroba.
”Obat-obatan itu secara langsung membantu menyelamatkan kehidupan dan mengurangi penderitaan manusia,” demikian catatan juri pada pengumuman di Royal Swedish Academy of Sciences kemarin. Pengumuman itu sekaligus memupus peluang tiga peraih Nobel Kesehatan 2009, yang penelitiannya berhubungan dengan bidang kimia.
Atas pencapaian itu, ketiganya harus berbagi hadiah berupa uang sebanyak 1,4 juta dollar AS atau sekitar Rp 14 miliar.
Ilmuwan luar biasa
Profesor David Garner, Presiden Royal Society of Chemistry, menggambarkan ketiga peraih nobel kimia tersebut sebagai ”ilmuwan luar biasa” dan menyebutkan karya mereka ”sangat besar artinya”. Ketiganya berhasil menguak struktur molekul yang kompleks dalam detail yang tak terbayangkan.
Ramakrishnan, ilmuwan kelahiran India, saat ini merupakan ilmuwan senior pada MRC Laboratory of Molecular Biology di Cambridge, Inggris, sedangkan Steitz, lulusan Universitas Harvard, saat ini merupakan profesor biofisika dan biokimia molekuler di Universitas Yale, AS.
Yonath adalah profesor biologi struktural dan struktur biomolekuler pada Weizmann Institute of Science di Rehovot, Israel. Ia merupakan perempuan keempat peraih Nobel Kimia, sejak pertama kali diberikan tahun 1901.
”Ini sungguh melampaui mimpi-mimpi saya. Terima kasih,” kata Yonath dalam konferensi persnya.
Contoh hebat
Secara khusus, Presiden American Chemical Society Thomas Lane menyebutkan, penghargaan Nobel Kimia ini merupakan ”sebuah contoh hebat dari para pemimpin di bidangnya—orang dari seluruh dunia—yang bekerja menuju tujuan bersama dan memungkinkan mewujudkannya”.
Melalui kemajuan dalam analisis kimiawi, penggambaran, dan sains komputer, lanjut Lane, mereka saat ini mempunyai jendela yang tepat masuk ke dalam bangunan yang terdiri atas sel-sel. Kesempatan itu memberi pengetahuan bagi peneliti-peneliti lain untuk menghasilkan obat-obat baru memerangi penyakit.(AFP/BBC/AP/GSA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/
Subscribe to:
Posts (Atom)
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...