Saturday, December 10, 2005
Mikroba Tangguh Bukti Kehidupan di Mars?
Mikroba yang memproduksi metana ditemukan pada lapisan es Greenland serta padang pasir yang panas dan kering. Ditemukannya jenis bakteri yang hidup di lingkungan ekstrim tersebut semakin mendukung dugaan bahwa organisme tertentu mungkin dapat bertahan hidup di Mars.
Hewan renik penghasil metana itu ditemukan dalam sampel lapisan es yang diambil pada kedalaman tiga kilometer di bawah Greenland oleh para peneliti dari University of Greenland, Berkeley, AS. "Ini adalah kelompok Archaea (bakteri dan sejenisnya) pertama yang diketahui hidup dalam lingkungan tersebut," kata Buford Price, salah satu tim peneliti yang mempublikasikan temuannya dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Para ilmuwan telah mencatat bahwa konsentrasi metana pada lapisan es yang terendah dan sepanjang 90 meter mencapai sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada lapisan di atasnya. Mereka menduga bahwa tingginya kandungan metana karena adanya populasi mikroba dari golongan metanogen yang menghasilkan metana.
Di lain pihak, metana berkosentrasi tinggi juga ditemukan di atmosfer Mars oleh wahana Mars Express milik Eropa meskipun sumbernya masih belum diketahui. Metana bisa berasal dari aktivitas geologi, misalnya gunung berapi - yang belum terlihat sampai sekarang - atau sumber biologi, misalnya bakteri-bakteri metanogen. Sumber penghasil metana yang terbarukan jelas ada di sana. Sebab, jika tidak, sinar ultraviolet dari matahari seharusnya telah mengurai metana dalam 340 tahun.
Model permukaan Mars
Kelompok peneliti mengambil data di Greenland untuk memodelkan kondisi Mars sebagai salah satu program menyiapkan misi ke sana. Metanogen pada lapisan es yang ditemukan di Greenland tetap hidup pada suhu minus 10 derajat Celcius, tapi dapat memproduksi lebih banyak metana di lingkungan yang lebih hangat.
Untuk memperkirakan kandungan metana di Mars, mereka menganggap mikroba hidup pada suhu 0 derajat Celcius atau lebih. Temperatur sebesar ini berada pada kedalaman 150 meter hingga delapan kilometer di bawah permukaan Mars, tergantung pada jenis batuannya. Dari kedalaman tersebut, dibutuhkan waktu antara 15 tahun hingga 300 ribu tahun agar metana yang dihasilkan terlepas ke atmosfer.
"Menurut pendapat saya, NASA tidak akan menemukan cara untuk mengebor hingga 150 meter di Mars," kata Price, "Tapi, bor sederhana dapat digunakan untuk melihat apa yang dikeluarkan dari kawah-kawah di sana."
Kemudian, sebuah wahana dapat dikirim ke kawah yang lebih besar di mana kandungan metan pada atmosfernya tinggi. Robot penjelajah dapat diturunkan untuk menjelajahi bagian dalam kawah untuk mencari bukti-bukti kehidupan.
Penelitian lainnya yang dilaporkan dalam jurnal Icarus juga menemukan metanogen di lingkungan yang keras di Bumi. Para peneliti mempelajari lusinan tanah dan sampel uap dari lima gurun berbeda di Utah, Idaho, dan Kalifornia serta Kanada dan Chili.
Di sekitar Stasiun Penelitian Gurun Mars, Utah, ditemukan tanda-tanda kehidupan metanogen. Sedangkan kandungan metan dalam sampel gas 300 kali lebih besar daripada tanah sekitarnya.
Salah satu anggota tim Timothy Kral dari University of Arkansas, AS menyatakan bahwa lingkungan yang kering biasanya membinasakan bakteri jenis ini. "Jadi, menemukannya di area yang kering tidak pernah diperkirakan siapa pun sebelumnya," katanya.
Metanogen membutuhkan lingkungan anaerob (tanpa oksigen) untuk bertahan hidup serta kombinasi karbon dioksida dan hidrogen untuk menghasilkan energi. Sampel yang dikumpulkan Kral diperoleh dari lingkungan yang kemungkinan besar anaerob, yaitu lapisan kering pada kedalaman 70 centimeter di bawah gurun.
Permukaan Mars juga sangat kering, sehingga temuan tersebut mendukung dugaan bahwa kandungan metan yang ada di Mars mungkin dihasilkan oleh aktivitas mikroba. Tapi menurut Andrew Knoll, seorang ahli biogeokimia di Harvard University dan anggota tim ilmuwan wahana penjelajah Mars, metanogen mungkin tinggal di sana dengan syarat terdapat oksigen walaupun terbatas serta sumber makanannya.
Sumber asli: NewScientist.com
Penulis: Wah
Sumber : http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0512/09/175212.htm
Friday, December 09, 2005
Indonesia Harus Serius Kembangkan Bioteknologi
Sementara itu, peneliti Bioteknologi LIPI, Dr Arief Witarto mengatakan, konsep Biopark Serpong ini sudah menyerupai klaster Silicon Valley yang ada di Amerika dan Hyderabab India.
Serpong Biopark merupakan satu kawasan yang memiliki fasilitas dan infrastruktur terintegrasi untuk kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi. Tempat yang akan dibangun di Puspiptek Serpong itu nantinya akan menjadi rumah bagi para peneliti dan inkubator industri bioteknologi.
Resistensi Bakteri TBC
Oleh Andi Utama
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit lama, namun sampai saat ini masih belum bisa dimusnahkan. Jika dilihat secara global, TBC membunuh 2 juta penduduk dunia setiap tahunnya, dimana angka ini melebihi penyakit infeksi lainnya. Bahkan Indonesia adalah negara terbesar ketiga dengan jumlah pasien TBC terbanyak di dunia, setelah Cina dan India. Sulitnya memusnahkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap obat yang digunakan. Karena itu, upaya penemuan obat baru terus dilakukan.
Artikel Selengkapnya di Sumber : http://www.beritaiptek.com/pilihberita.php?id=97&PHPSESSID=fc76a8eb2f4325fe48911973044a7c8e
Beasiswa PhD
Selection 2006 Application deadline: 2 January 2006
Interview week in Dresden: 13-18 March 2006
selengkapnya: http://www.imprs-mcbb.de/index.html
PIN Polio dan Kesadaran Masyarakat
Kamis, 1 Desember 2005Sejak munculnya wabah polio di Indonesia, pemerintah dengan bantuan WHO dan UNICEF telah memutuskan untuk melakukan PIN sebagai usaha pemberantasan polio di negeri ini. PIN putaran pertama dan kedua masing-masing telah dilaksanakan pada bulan Agustus dan September yang lalu. Putaran ketiga telah dilakukan Rabu (30/11) lalu.
Imunisasi adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi penyebaran virus polio liar. Apalagi imunisasi ini diberikan secara cuma-cuma, sehingga negara harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membiayai program PIN tersebut.
Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan dalam mengantisipasi penyakit polio adalah pencegahan, bukan pengobatan. Hal ini disebabkan, hingga kini belum ditemukan obat yang efektif untuk penyembuhan penyakit ini. Pencegahan dilakukan melalui imunisasi (vaksinasi), yaitu memberikan vaksin polio kepada anak-anak sehingga tercegah dari serangan polio. Dengan meminum vaksin, di dalam tubuh kita akan terbentuk antibodi yang bisa melawan serangan virus polio. Artinya, dengan vaksinasi tubuh kita akan memeroleh "senjata" yang bisa melawan serangan polio. Sebaliknya, orang yang tidak vaksinasi tidak akan memeroleh "senjata" tersebut, sehingga pada saat terinfeksi virus polio, virus akan dengan leluasa berkembang-biak di dalam tubuh dan akhirnya menyebabkan gejala polio.
Program imunisasi juga memutuskan mata rantai penularan virus polio liar. Jika seseorang tidak mendapatkan vaksin polio, virus polio yang menginfeksinya bisa berkembang-biak dan menyebabkan gejala polio. Tidak hanya itu, virus yang keluar dari tubuh seseorang melalui tinja bahkan bisa menular kepada orang lain dan menyebabkan gejala yang sama. Sebaliknya, jika seseorang tersebut divaksinasi, jika satu saat virus polio menginfeksi akan bisa dinetralisasikan oleh antibodi yang terbentuk di dalam tubuh yang dihasilkan dari vaksinasi. Akibatnya, virus polio tidak berkembang biak di dalam tubuhnya, dan secara otomatis tidak menular kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Karena itu, jelas sekali bahwa imunisasi adalah cara yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan virus polio.
Untuk memusnahkan polio dari bumi ini, tahun 1988 WHO mencanangkan program "The Global Polio Eradication Initiative" dibantu oleh UNICEF, Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (The US Centers for Disease Control and Prevention, CDC) dan klub Rotary International. Strategi utama dalam program tersebut adalah imunisasi, baik imunisasi rutin yang diberikan kepada setiap bayi yang lahir maupun imunisasi massal melalui national immunization day (NID), atau di Indonesia lebih dikenal dengan PIN. Dengan program ini, pada 1995 Indonesia telah bebas dari polio. Dan dengan program ini juga, pada 2004 dunia sudah hampir bebas dari polio, di mana endemik polio hanya tinggal di 6 negara, India, Pakistan, Afghanistan, Mesir, Nigeria, dan Niger. Tetapi tahun 2005, wabah polio kembali terjadi di beberapa negara yang sebelumnya sudah bebas dari polio, termasuk Indonesia. Terjadinya wabah disebabkan tidak adanya program imunisasi, baik imunisasi rutin maupun imunisasi massal yang bisa mencakup seluruh balita. Padahal seharusnya program imunisasi polio harus tetap dijalankan selama virus polio masih belum hilang dari bumi ini.
Vaksin Polio
Untuk imunisasi polio ada dua jenis vaksin yang bisa digunakan. Pertama, vaksin yang terbuat dari virus polio yang dinonaktifkan atau lebih dikenal dengan IPV (inactivated polio vaccine). Vaksin ini selain harganya mahal juga memerlukan tenaga medis karena harus diberikan melalui suntikan. Karena itu, untuk program eradikasi polio, WHO tidak mengutamakan penggunaan vaksin ini. Vaksin ini kebanyakan digunakan di negara-negara maju seperti AS dan negara-negara di Eropa.
Kedua, vaksin berupa virus polio hidup yang patogennya telah dilemahkan, atau lebih dikenal dengan OPV (live-attenuated oral polio vaccine). Vaksin ini murah, baik biaya produksi maupun biaya pelaksanaan imunisasinya. Vaksin ini berbentuk sirup sehingga tidak memerlukan tenaga medis khusus dalam pelaksanaan imunisasinya. Begitu juga dengan jarum suntikan, tidak diperlukan pada imunisasi dengan OPV. Selain itu, karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki karakter seperti virus polio alami. Artinya, OPV bisa berkembang-biak di dalam tubuh, mengindus antibodi dan kemudian ke luar bersama tinja. Karena virus yang keluar juga memiliki karakter vaksin OPV, jika menginfeksi ke manusia di sekitarnya juga akan memberikan makna yang sama dengan vaksinasi. Ini juga merupakan kelebihan dari vaksin OPV dibandingkan IPV. Atas pertimbangan ini, WHO lebih menekankan penggunaan OPV dalam program eradikasi polio global. Begitu juga dengan program imunisasi di Indonesia, semuanya menggunakan OPV.
Dari segi keamanan, kedua jenis vaksin pada prinsipnya aman. Ini terbukti dari pemakaian kedua vaksin ini sejak pertama kali digunakan, tahun 1950-an sampai sekarang. Kedua vaksin ini ditemukan pada waktu yang hampir bersamaan. IPV dikembangkan oleh Jonas Salk tahun 1954, sedangkan OPV dikembangkan oleh Albert Sabin (1957). Sampai saat ini vaksin ini masih tetap dipakai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa vaksin ini adalah yang terbaik sampai saat ini.
OPV memiliki banyak kelebihan sehingga dipakai dalam program eradikasi polio global. Walaupun demikian, OPV juga memiliki sedikit kelemahan, yaitu kemungkinan berubah menjadi virus yang patogen. Karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki kemungkinan berubah, termasuk berubah kembali menjadi patogen. Jika terjadi, ini akan berisiko terhadap orang yang mendapatkan vaksinasi. Kasus polio seperti ini dikenal dengan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Tapi perlu diingat bahwa kemungkinan VAPP ini sangat rendah, yaitu 1 kasus dalam 2-3 juta orang. (www.post-polio.org). Dengan kata lain, peluangnya adalah sebesar 0.00003-0.00005%. Jadi, kemungkinan VAPP ini sangat kecil, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Peluang terserang polio jauh lebih besar jika tidak mendapatkan imunisasi. Ini merupakan hal yang perlu dipahami, sehingga diharapkan tidak terjadi salah pengertian yang membuat masyarakat enggan membawa balitanya untuk imunisasi polio.
Untuk melaksanakan program PIN, diperlukan dana besar, sehingga diharapkan program ini berjalan lancar, di mana diharapkan imunisasi dapat mencakupi semua balita yang ada di Indonesia. Berhasil tidaknya program ini sangat ditentukan oleh pengertian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. Jangan sampai masyarakat tidak mau balitanya divaksinasi karena khawatir terjadi sesuatu. Ini adalah pengertian yang tidak benar dan keliru. Perlu dipahami bahwa hanya vaksinasilah yang bisa dilakukan sebagai antisipasi terhadap penyakit polio.
***Andi Utama Penulis Virolog Puslit Bioteknologi-LIPI.
Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=128296
Tuesday, December 06, 2005
LANGKAN : Temuan Baru Penurun Kolesterol
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/28/humaniora/2162169.htm
"Girls Science Camp 2005"Ulangan dan Kelinci Percobaan Jadi Hambatan
"Menurut saya, dalam kehidupan sehari-hari itu yang terkena seriawan anak bayi. Soalnya, anak saya mengalaminya,” ungkap seorang guru. ”Apakah campuran getah dan jeruk nipis itu bisa buat bayi?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada tiga cewek yang berdiri di podium. Wajah Indah, Ifi, dan Cindy tampak agak terkejut. Lantas mereka saling berpandangan dan berdiskusi sebentar. Sementara itu, juri, wartawan, peserta lain, dan guru di depan mereka menantikan jawaban dari cewek-cewek SMP Al Azhar Kelapa Gading, Jakarta, ini. Lantas Cindy mendekati mik, ”Getah jarak rasanya pahit. Campuran yang kami bikin memang buat obat seriawan, tetapi bukan buat bayi. Jadi menurut kami sebaiknya jangan diberikan kepada bayi.” Mendengar jawaban tegas itu, penonton pun bertepuk tangan.
Seperti itulah suasana yang terjadi ketika peserta L’Oreal Girls Science Camp 2005 mempresentasikan karya ilmiah mereka di Auditorium Pusat Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor. Acara yang berlangsung Selasa, 21 Juni 2005, ini adalah lomba karya ilmiah untuk anak-anak SMP. Penyelenggaranya, perusahaan kosmetik L’Oreal. Dan pesertanya cewek semua. Makanya dinamakan L’Oreal Girls Science Camp 2005.
Ada enam kelompok dari enam SMP yang lolos ke babak final ini. Setiap kelompok wajib mempresentasikan karyanya di depan para juri, guru-guru, dan penonton yang hadir. Mereka juga harus bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh siapa pun yang hadir di ruang presentasi tersebut.
Terbentur ulangan
Sebenarnya event yang juga didukung oleh Lembaga Eijkman, Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI ini diikuti oleh 35 SMP se-Jabotabek. Tetapi setelah melalui proses seleksi yang kriterianya meliputi orisinalitas ide penelitian, inovasi, metodologi, dan implikasi, akhirnya ada 10 sekolah yang dinyatakan lolos. Lalu mereka diminta membuat satu kelompok yang terdiri atas tiga orang untuk melakukan penelitian lebih mendalam.
Sayangnya hanya enam kelompok yang bisa melakukan penelitian dan menyerahkan hasil penelitiannya kepada panitia, yaitu SMP Al Azhar Kelapa Gading, Jakarta, SMPN 19 Jakarta, SMP Al Azhar 1 Jakarta, SMP Islam Tugasku, SMP Regina Pacis, Jakarta, dan SMP Islam Harapan Ibu. Empat sekolah lainnya enggak bisa menyelesaikan penelitian karena waktunya bersamaan dengan masa ulangan. Aduh... sayang banget, ya!
Kelompok dari SMPN 19 yang terdiri dari Janita, Norita, dan Yasmin yang penelitian ilmiahnya berjudul Hidroponik Budidaya Lidah Buaya berhasil mengatasi persoalan terlalu sedikitnya waktu yang mereka miliki untuk melakukan penelitian. ”Kebetulan di rumahku ada tumbuhan lidah buaya. Jadi, penelitiannya dilakukan di rumah saja,” kata Janita yang harus menyiram pohon lidah buayanya tiap jam enam pagi dan jam lima sore. ”Mau pohon lain, takut waktunya habis buat cari pohon,” kata Janita.
Banyak kendala
Kelompok dari SMP Regina Pacis, Jakarta, juga mengeluhkan sedikitnya waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian. Akibatnya, masa penelitian mereka harus terpotong-potong karena ada ulangan umum. Padahal, waktu yang sempit itu hanya salah satu kendala yang dihadapi para peneliti muda ini. Masih banyak kendala lain yang menghadang mereka. Misalnya saja yang dialami oleh Indah dan kelompoknya dari SMP AL Azhar Kelapa Gading, Jakarta.
”Kami kesulitan mencari orang yang bersedia jadi obyek uji coba campuran yang kami buat,” ujar Indah. ”Padahal waktu yang kami miliki cuma tiga minggu untuk penelitian dan membuat makalah. Di kompleks rumahku ya enggak ada yang mau. Untungnya ada tetangga guruku yang mau, yaitu seorang bapak dan dua anak. Dalam waktu tiga hari, seriawan mereka sembuh,” ungkap Indah.
Kartika dan kelompoknya dari SMP Islam Harapan Ibu juga kesulitan mendapatkan ”kelinci percobaan”. Tak seorang pun yang rambutnya rontok bersedia jadi obyek penelitian mereka. Akhirnya Kartika, Neta, dan Ayu masing-masing menghitung sendiri berapa helai rambut mereka yang rontok. ”Ternyata, rambutku paling banyak rontoknya. Maka akulah yang dijadikan korbannya, ha-ha-ha...,” ujar Tika, panggilan Kartika.
Sebelum mendapat ide, Tika melihat literatur. Dia tahu kalau jeruk nipis bisa digunakan untuk mencegah munculnya ketombe dan rambut rontok. Tika pikir mengurangi kerontokan boleh juga karena hal itu sering mereka rasakan.
”Kita baru bisa dalam taraf mengurangi kerontokan. Maunya sih, penelitian kita sampai bagaimana supaya rambut enggak rontok. Tetapi waktunya enggak cukup buat meneliti, jadi ya… cuma mengurangi saja,” ungkap Tika.
Akhirnya penelitian Tika dan kelompoknya yang berjudul Jeruk Nipis untuk Mengatasi Kerontokan Rambut berhasil meraih juara kedua. Juara pertamanya adalah Indah dan kawan-kawan dari SMP Islam Al Azhar Kelapa Gading dengan penelitiannya yang berjudul Campuran Jeruk Nipis dan Getah Jarak Pagar sebagai Obat Sariawan. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, campuran kedua elemen tersebut dapat menghasilkan suatu formula yang efektif dalam menyembuhkan seriawan hanya dalam tiga hari dengan rasa yang lebih disukai.
Sedangkan SMP Islam Al Azhar I Kebayoran meraih juara ketiga dengan tema penelitian Pemanfaatan Sukun di Kepulauan Seribu sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk Setempat.
Selain penelitian kelompok, dilombakan juga karya tulis ilmiah perorangan. Untuk kategori ini yang jadi juara pertamanya adalah Gloria Ate, siswi SMPN 1 Cikini. Gloria menyisihkan peserta lainnya dengan karya tulisnya yang berjudul Pengembangan Daerah Aliran Sungai & Kanal di Wilayah Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Masyarakat.
Biar lebih baik
Kalau tujuan utamanya ingin menumbuhkan minat anak SMP pada bidang sains, kelihatannya cukup berhasil ya. Buktinya walau di tengah suasana ulangan umum, cukup banyak juga pesertanya. Belum lagi kalau dilihat dari kualitasnya. Tema atau topik yang diajukan oleh peserta sangat menarik. Selain yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa karya lain yang membuat orang ingin tahu lebih jauh.
Misalnya saja karya tulis ilmiahnya Effika Nurningtyas. Siswi SMP Al Azhar 1 ini mengangkat tema Pemanfaatan Buah Jarak sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti BBM. Di saat harga BBM yang semakin melambung tinggi, tentu karya Effika ini sangat menarik perhatian banyak orang. Iya enggak?
Nah, semoga saja tahun depan lomba ini digelar lagi. Tidak sebatas Jabotabek saja, tetapi bisa lebih luas lagi. Iya dong, cewek-cewek SMP dari luar Jabotabek kan ingin dapat kesempatan juga! Pasti deh akan lebih banyak lagi karya-karya yang berkualitas. Apalagi kalau waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian lebih lama lagi. Hasilnya pasti lebih baik dari yang sekarang.
Oh iya, soal hadiah nih... masak sih untuk juara satu penelitian kelompok, hadiah uangnya cuma Rp 1,2 juta? Kayaknya enggak cukup tuh untuk bikin penelitian baru, he-he-he....!
FITRI HARIYADININGSIH Tim MUDA
Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/24/muda/1836302.htm
5 (Lima) Delegasi Indonesia mengikuti Nobel Prize Winners Meeting di Lindau, Jerman
Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi
Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...
-
Minggu, 6 Desember 2015 11:29 WIB | 7.064 Views Buah persik. (Pixabay/Hans) Kunming (ANTARA News) - Penelitian fosil biji persik men...
-
MEDAN, JUMAT - Peneliti Universitas Sumatera Utara, Basuki Wirjosentono, mengenalkan plastik ramah berbahan hasil samping minyak sawit menta...
-
Oleh Cardiyan HIS Kalah dalam kuantiti publikasi di jurnal tetapi menang dalam kualiti publikasi. Tanya kenapa? Karena ITB yang merupakan re...