Saturday, December 10, 2005

Mikroba Tangguh Bukti Kehidupan di Mars?

Jakarta, Jumat

Mikroba yang memproduksi metana ditemukan pada lapisan es Greenland serta padang pasir yang panas dan kering. Ditemukannya jenis bakteri yang hidup di lingkungan ekstrim tersebut semakin mendukung dugaan bahwa organisme tertentu mungkin dapat bertahan hidup di Mars.
Hewan renik penghasil metana itu ditemukan dalam sampel lapisan es yang diambil pada kedalaman tiga kilometer di bawah Greenland oleh para peneliti dari University of Greenland, Berkeley, AS. "Ini adalah kelompok Archaea (bakteri dan sejenisnya) pertama yang diketahui hidup dalam lingkungan tersebut," kata Buford Price, salah satu tim peneliti yang mempublikasikan temuannya dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.
Para ilmuwan telah mencatat bahwa konsentrasi metana pada lapisan es yang terendah dan sepanjang 90 meter mencapai sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada lapisan di atasnya. Mereka menduga bahwa tingginya kandungan metana karena adanya populasi mikroba dari golongan metanogen yang menghasilkan metana.
Di lain pihak, metana berkosentrasi tinggi juga ditemukan di atmosfer Mars oleh wahana Mars Express milik Eropa meskipun sumbernya masih belum diketahui. Metana bisa berasal dari aktivitas geologi, misalnya gunung berapi - yang belum terlihat sampai sekarang - atau sumber biologi, misalnya bakteri-bakteri metanogen. Sumber penghasil metana yang terbarukan jelas ada di sana. Sebab, jika tidak, sinar ultraviolet dari matahari seharusnya telah mengurai metana dalam 340 tahun.
Model permukaan Mars
Kelompok peneliti mengambil data di Greenland untuk memodelkan kondisi Mars sebagai salah satu program menyiapkan misi ke sana. Metanogen pada lapisan es yang ditemukan di Greenland tetap hidup pada suhu minus 10 derajat Celcius, tapi dapat memproduksi lebih banyak metana di lingkungan yang lebih hangat.
Untuk memperkirakan kandungan metana di Mars, mereka menganggap mikroba hidup pada suhu 0 derajat Celcius atau lebih. Temperatur sebesar ini berada pada kedalaman 150 meter hingga delapan kilometer di bawah permukaan Mars, tergantung pada jenis batuannya. Dari kedalaman tersebut, dibutuhkan waktu antara 15 tahun hingga 300 ribu tahun agar metana yang dihasilkan terlepas ke atmosfer.
"Menurut pendapat saya, NASA tidak akan menemukan cara untuk mengebor hingga 150 meter di Mars," kata Price, "Tapi, bor sederhana dapat digunakan untuk melihat apa yang dikeluarkan dari kawah-kawah di sana."
Kemudian, sebuah wahana dapat dikirim ke kawah yang lebih besar di mana kandungan metan pada atmosfernya tinggi. Robot penjelajah dapat diturunkan untuk menjelajahi bagian dalam kawah untuk mencari bukti-bukti kehidupan.
Penelitian lainnya yang dilaporkan dalam jurnal Icarus juga menemukan metanogen di lingkungan yang keras di Bumi. Para peneliti mempelajari lusinan tanah dan sampel uap dari lima gurun berbeda di Utah, Idaho, dan Kalifornia serta Kanada dan Chili.
Di sekitar Stasiun Penelitian Gurun Mars, Utah, ditemukan tanda-tanda kehidupan metanogen. Sedangkan kandungan metan dalam sampel gas 300 kali lebih besar daripada tanah sekitarnya.
Salah satu anggota tim Timothy Kral dari University of Arkansas, AS menyatakan bahwa lingkungan yang kering biasanya membinasakan bakteri jenis ini. "Jadi, menemukannya di area yang kering tidak pernah diperkirakan siapa pun sebelumnya," katanya.
Metanogen membutuhkan lingkungan anaerob (tanpa oksigen) untuk bertahan hidup serta kombinasi karbon dioksida dan hidrogen untuk menghasilkan energi. Sampel yang dikumpulkan Kral diperoleh dari lingkungan yang kemungkinan besar anaerob, yaitu lapisan kering pada kedalaman 70 centimeter di bawah gurun.
Permukaan Mars juga sangat kering, sehingga temuan tersebut mendukung dugaan bahwa kandungan metan yang ada di Mars mungkin dihasilkan oleh aktivitas mikroba. Tapi menurut Andrew Knoll, seorang ahli biogeokimia di Harvard University dan anggota tim ilmuwan wahana penjelajah Mars, metanogen mungkin tinggal di sana dengan syarat terdapat oksigen walaupun terbatas serta sumber makanannya.
Sumber asli: NewScientist.com
Penulis: Wah

Sumber : http://www.kompas.co.id/teknologi/news/0512/09/175212.htm

Friday, December 09, 2005

Indonesia Harus Serius Kembangkan Bioteknologi

JAKARTA--MIOL:
Bangsa Indonesia harus serius mengembangkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayatinya yang melimpah untuk memajukan industri bioteknologinya sebagai faktor potensial meningkatkan perekonomian nasionalnya.
Peneliti Bioisland Kementerian Ristek, Dr Meika Rusli saat menjadi pembicara dalam acara Seminar tentang "Klaster Bioteknologi Dunia dan Rencananya di Indonesia" di Jakarta, Selasa (6/12) mengatakan pemanfaatan biota Indonesia yang menyumbang sekitar 16,7 persen kekayaan hayati dunia, masih belum maksimal.
"Oleh karena itu, Biopark Serpong dibangun untuk menjawab permasalahan teknologi nasional menuju pemanfaatan bioteknologi sebagai faktor potensial peningkatan ekonomi nasional," katanya.
Namun, katanya lagi, hal itu masih membutuhkan kerjasama yang komprehensif antara pemerintah, akademisi, dan kalangan swasta karena selama ini pengembangan sektor industri bioteknologi masih belum mendapat dukungan pemerintah, baik dalam segi pendanaan maupun kebijakan yang kondusif.
"Memang selama ini untuk pengembangan Ristek ada di bawah naungan menteri, tapi yang mempunyai hak membuat kebijakan atau Perpres dalam rangka mendukung pengembangan bioteknologi itu adalah presiden sehingga seorang Menristek tidak bisa berbuat banyak," tegasnya.
Sedangkan kalangan swasta, menurut Meika, sangat diperlukan keberadaannya untuk menanamkan modalnya bagi pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi itu.
Sementara itu, peneliti Bioteknologi LIPI, Dr Arief Witarto mengatakan, konsep Biopark Serpong ini sudah menyerupai klaster Silicon Valley yang ada di Amerika dan Hyderabab India.
Serpong Biopark merupakan satu kawasan yang memiliki fasilitas dan infrastruktur terintegrasi untuk kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi. Tempat yang akan dibangun di Puspiptek Serpong itu nantinya akan menjadi rumah bagi para peneliti dan inkubator industri bioteknologi.
Saat ini, di seluruh dunia, penggunaan bioteknologi telah diarahkan untuk memproduksi material berbagai industri. Bioteknologi itu memanfaatkan mikroba atau organisme hidup demi kepentingan manusia. (Ant/OL-06)

Resistensi Bakteri TBC

Kamis, 4 Agustus 2005 15:15:37

Oleh Andi Utama

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit lama, namun sampai saat ini masih belum bisa dimusnahkan. Jika dilihat secara global, TBC membunuh 2 juta penduduk dunia setiap tahunnya, dimana angka ini melebihi penyakit infeksi lainnya. Bahkan Indonesia adalah negara terbesar ketiga dengan jumlah pasien TBC terbanyak di dunia, setelah Cina dan India. Sulitnya memusnahkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap obat yang digunakan. Karena itu, upaya penemuan obat baru terus dilakukan.


Artikel Selengkapnya di Sumber : http://www.beritaiptek.com/pilihberita.php?id=97&PHPSESSID=fc76a8eb2f4325fe48911973044a7c8e

Beasiswa PhD

International PhD Programme Dresden in Cell Biology, Bioengineering, Developmental Biology, Genetics, Biophysics, Neurobiology and Bioinformatics .

Selection 2006 Application deadline: 2 January 2006
Interview week in Dresden: 13-18 March 2006

selengkapnya: http://www.imprs-mcbb.de/index.html

PIN Polio dan Kesadaran Masyarakat

Kamis, 1 Desember 2005Sejak munculnya wabah polio di Indonesia, pemerintah dengan bantuan WHO dan UNICEF telah memutuskan untuk melakukan PIN sebagai usaha pemberantasan polio di negeri ini. PIN putaran pertama dan kedua masing-masing telah dilaksanakan pada bulan Agustus dan September yang lalu. Putaran ketiga telah dilakukan Rabu (30/11) lalu.


Imunisasi adalah satu-satunya cara untuk mengantisipasi penyebaran virus polio liar. Apalagi imunisasi ini diberikan secara cuma-cuma, sehingga negara harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk membiayai program PIN tersebut.


Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan dalam mengantisipasi penyakit polio adalah pencegahan, bukan pengobatan. Hal ini disebabkan, hingga kini belum ditemukan obat yang efektif untuk penyembuhan penyakit ini. Pencegahan dilakukan melalui imunisasi (vaksinasi), yaitu memberikan vaksin polio kepada anak-anak sehingga tercegah dari serangan polio. Dengan meminum vaksin, di dalam tubuh kita akan terbentuk antibodi yang bisa melawan serangan virus polio. Artinya, dengan vaksinasi tubuh kita akan memeroleh "senjata" yang bisa melawan serangan polio. Sebaliknya, orang yang tidak vaksinasi tidak akan memeroleh "senjata" tersebut, sehingga pada saat terinfeksi virus polio, virus akan dengan leluasa berkembang-biak di dalam tubuh dan akhirnya menyebabkan gejala polio.


Program imunisasi juga memutuskan mata rantai penularan virus polio liar. Jika seseorang tidak mendapatkan vaksin polio, virus polio yang menginfeksinya bisa berkembang-biak dan menyebabkan gejala polio. Tidak hanya itu, virus yang keluar dari tubuh seseorang melalui tinja bahkan bisa menular kepada orang lain dan menyebabkan gejala yang sama. Sebaliknya, jika seseorang tersebut divaksinasi, jika satu saat virus polio menginfeksi akan bisa dinetralisasikan oleh antibodi yang terbentuk di dalam tubuh yang dihasilkan dari vaksinasi. Akibatnya, virus polio tidak berkembang biak di dalam tubuhnya, dan secara otomatis tidak menular kepada orang lain yang ada di sekitarnya. Karena itu, jelas sekali bahwa imunisasi adalah cara yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan virus polio.


Untuk memusnahkan polio dari bumi ini, tahun 1988 WHO mencanangkan program "The Global Polio Eradication Initiative" dibantu oleh UNICEF, Pusat Pengontrolan dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat (The US Centers for Disease Control and Prevention, CDC) dan klub Rotary International. Strategi utama dalam program tersebut adalah imunisasi, baik imunisasi rutin yang diberikan kepada setiap bayi yang lahir maupun imunisasi massal melalui national immunization day (NID), atau di Indonesia lebih dikenal dengan PIN. Dengan program ini, pada 1995 Indonesia telah bebas dari polio. Dan dengan program ini juga, pada 2004 dunia sudah hampir bebas dari polio, di mana endemik polio hanya tinggal di 6 negara, India, Pakistan, Afghanistan, Mesir, Nigeria, dan Niger. Tetapi tahun 2005, wabah polio kembali terjadi di beberapa negara yang sebelumnya sudah bebas dari polio, termasuk Indonesia. Terjadinya wabah disebabkan tidak adanya program imunisasi, baik imunisasi rutin maupun imunisasi massal yang bisa mencakup seluruh balita. Padahal seharusnya program imunisasi polio harus tetap dijalankan selama virus polio masih belum hilang dari bumi ini.


Vaksin Polio


Untuk imunisasi polio ada dua jenis vaksin yang bisa digunakan. Pertama, vaksin yang terbuat dari virus polio yang dinonaktifkan atau lebih dikenal dengan IPV (inactivated polio vaccine). Vaksin ini selain harganya mahal juga memerlukan tenaga medis karena harus diberikan melalui suntikan. Karena itu, untuk program eradikasi polio, WHO tidak mengutamakan penggunaan vaksin ini. Vaksin ini kebanyakan digunakan di negara-negara maju seperti AS dan negara-negara di Eropa.


Kedua, vaksin berupa virus polio hidup yang patogennya telah dilemahkan, atau lebih dikenal dengan OPV (live-attenuated oral polio vaccine). Vaksin ini murah, baik biaya produksi maupun biaya pelaksanaan imunisasinya. Vaksin ini berbentuk sirup sehingga tidak memerlukan tenaga medis khusus dalam pelaksanaan imunisasinya. Begitu juga dengan jarum suntikan, tidak diperlukan pada imunisasi dengan OPV. Selain itu, karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki karakter seperti virus polio alami. Artinya, OPV bisa berkembang-biak di dalam tubuh, mengindus antibodi dan kemudian ke luar bersama tinja. Karena virus yang keluar juga memiliki karakter vaksin OPV, jika menginfeksi ke manusia di sekitarnya juga akan memberikan makna yang sama dengan vaksinasi. Ini juga merupakan kelebihan dari vaksin OPV dibandingkan IPV. Atas pertimbangan ini, WHO lebih menekankan penggunaan OPV dalam program eradikasi polio global. Begitu juga dengan program imunisasi di Indonesia, semuanya menggunakan OPV.


Dari segi keamanan, kedua jenis vaksin pada prinsipnya aman. Ini terbukti dari pemakaian kedua vaksin ini sejak pertama kali digunakan, tahun 1950-an sampai sekarang. Kedua vaksin ini ditemukan pada waktu yang hampir bersamaan. IPV dikembangkan oleh Jonas Salk tahun 1954, sedangkan OPV dikembangkan oleh Albert Sabin (1957). Sampai saat ini vaksin ini masih tetap dipakai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa vaksin ini adalah yang terbaik sampai saat ini.


OPV memiliki banyak kelebihan sehingga dipakai dalam program eradikasi polio global. Walaupun demikian, OPV juga memiliki sedikit kelemahan, yaitu kemungkinan berubah menjadi virus yang patogen. Karena OPV adalah virus hidup, dia memiliki kemungkinan berubah, termasuk berubah kembali menjadi patogen. Jika terjadi, ini akan berisiko terhadap orang yang mendapatkan vaksinasi. Kasus polio seperti ini dikenal dengan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP). Tapi perlu diingat bahwa kemungkinan VAPP ini sangat rendah, yaitu 1 kasus dalam 2-3 juta orang. (www.post-polio.org). Dengan kata lain, peluangnya adalah sebesar 0.00003-0.00005%. Jadi, kemungkinan VAPP ini sangat kecil, sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Peluang terserang polio jauh lebih besar jika tidak mendapatkan imunisasi. Ini merupakan hal yang perlu dipahami, sehingga diharapkan tidak terjadi salah pengertian yang membuat masyarakat enggan membawa balitanya untuk imunisasi polio.


Untuk melaksanakan program PIN, diperlukan dana besar, sehingga diharapkan program ini berjalan lancar, di mana diharapkan imunisasi dapat mencakupi semua balita yang ada di Indonesia. Berhasil tidaknya program ini sangat ditentukan oleh pengertian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi. Jangan sampai masyarakat tidak mau balitanya divaksinasi karena khawatir terjadi sesuatu. Ini adalah pengertian yang tidak benar dan keliru. Perlu dipahami bahwa hanya vaksinasilah yang bisa dilakukan sebagai antisipasi terhadap penyakit polio.

***

Andi Utama Penulis Virolog Puslit Bioteknologi-LIPI.

Sumber : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=128296

Tuesday, December 06, 2005

LANGKAN : Temuan Baru Penurun Kolesterol

Peneliti di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan penurun kolesterol yang dihasilkan dari fermentasi beras oleh kapang Monascus purpureus. ”Dalam tepung monascus terdapat senyawa aktif utama, yaitu Lovastatin atau Monacolin K yang menghambat kerja enzim HMG-CoA reductase. Enzim ini diketahui sebagai penyebab terbentuknya kolesterol,” urai Djadjat Tisnadjaja MTech, Ketua Tim Peneliti Monascus LIPI, di Jakarta, Kamis (27/10). Dengan mengonsumsi monascus terjadi peningkatan kolesterol baik (HDL) dan penurunan kolesterol buruk (LDL) dalam darah. Diketahui, kelebihan kolesterol buruk yang berlarut dapat menyebabkan pengendapan kolesterol pada arteri (arterosklerosis) hingga mengakibatkan penyakit jantung. Karena itu, bila monascus dikonsumsi secara teratur dapat terhindar dari penyakit itu. Monascus juga diketahui dapat memperbaiki sistem pencernaan. Saat ini monascus telah siap untuk ditingkatkan skala produksinya ke tingkat industri. ”Untuk itu Puslit Bioteknologi LIPI telah siap bekerja sama dengan industri atau investor untuk mengembangkan hasil penelitian ke skala komersial,” ujar Djadjat. (YUN)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0510/28/humaniora/2162169.htm

"Girls Science Camp 2005"Ulangan dan Kelinci Percobaan Jadi Hambatan

Dalam lomba karya ilmiah ini sebenarnya banyak karya peserta yang cukup inovatif. Sayangnya, waktu penelitian berbarengan dengan musim ulangan. Sampai ada empat finalis yang akhirnya enggak bisa mempresentasikan karya mereka.
"Menurut saya, dalam kehidupan sehari-hari itu yang terkena seriawan anak bayi. Soalnya, anak saya mengalaminya,” ungkap seorang guru. ”Apakah campuran getah dan jeruk nipis itu bisa buat bayi?”
Pertanyaan itu ditujukan kepada tiga cewek yang berdiri di podium. Wajah Indah, Ifi, dan Cindy tampak agak terkejut. Lantas mereka saling berpandangan dan berdiskusi sebentar. Sementara itu, juri, wartawan, peserta lain, dan guru di depan mereka menantikan jawaban dari cewek-cewek SMP Al Azhar Kelapa Gading, Jakarta, ini. Lantas Cindy mendekati mik, ”Getah jarak rasanya pahit. Campuran yang kami bikin memang buat obat seriawan, tetapi bukan buat bayi. Jadi menurut kami sebaiknya jangan diberikan kepada bayi.” Mendengar jawaban tegas itu, penonton pun bertepuk tangan.
Seperti itulah suasana yang terjadi ketika peserta L’Oreal Girls Science Camp 2005 mempresentasikan karya ilmiah mereka di Auditorium Pusat Bioteknologi LIPI, Cibinong, Bogor. Acara yang berlangsung Selasa, 21 Juni 2005, ini adalah lomba karya ilmiah untuk anak-anak SMP. Penyelenggaranya, perusahaan kosmetik L’Oreal. Dan pesertanya cewek semua. Makanya dinamakan L’Oreal Girls Science Camp 2005.
Ada enam kelompok dari enam SMP yang lolos ke babak final ini. Setiap kelompok wajib mempresentasikan karyanya di depan para juri, guru-guru, dan penonton yang hadir. Mereka juga harus bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh siapa pun yang hadir di ruang presentasi tersebut.
Terbentur ulangan
Sebenarnya event yang juga didukung oleh Lembaga Eijkman, Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI ini diikuti oleh 35 SMP se-Jabotabek. Tetapi setelah melalui proses seleksi yang kriterianya meliputi orisinalitas ide penelitian, inovasi, metodologi, dan implikasi, akhirnya ada 10 sekolah yang dinyatakan lolos. Lalu mereka diminta membuat satu kelompok yang terdiri atas tiga orang untuk melakukan penelitian lebih mendalam.
Sayangnya hanya enam kelompok yang bisa melakukan penelitian dan menyerahkan hasil penelitiannya kepada panitia, yaitu SMP Al Azhar Kelapa Gading, Jakarta, SMPN 19 Jakarta, SMP Al Azhar 1 Jakarta, SMP Islam Tugasku, SMP Regina Pacis, Jakarta, dan SMP Islam Harapan Ibu. Empat sekolah lainnya enggak bisa menyelesaikan penelitian karena waktunya bersamaan dengan masa ulangan. Aduh... sayang banget, ya!
Kelompok dari SMPN 19 yang terdiri dari Janita, Norita, dan Yasmin yang penelitian ilmiahnya berjudul Hidroponik Budidaya Lidah Buaya berhasil mengatasi persoalan terlalu sedikitnya waktu yang mereka miliki untuk melakukan penelitian. ”Kebetulan di rumahku ada tumbuhan lidah buaya. Jadi, penelitiannya dilakukan di rumah saja,” kata Janita yang harus menyiram pohon lidah buayanya tiap jam enam pagi dan jam lima sore. ”Mau pohon lain, takut waktunya habis buat cari pohon,” kata Janita.
Banyak kendala
Kelompok dari SMP Regina Pacis, Jakarta, juga mengeluhkan sedikitnya waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian. Akibatnya, masa penelitian mereka harus terpotong-potong karena ada ulangan umum. Padahal, waktu yang sempit itu hanya salah satu kendala yang dihadapi para peneliti muda ini. Masih banyak kendala lain yang menghadang mereka. Misalnya saja yang dialami oleh Indah dan kelompoknya dari SMP AL Azhar Kelapa Gading, Jakarta.
”Kami kesulitan mencari orang yang bersedia jadi obyek uji coba campuran yang kami buat,” ujar Indah. ”Padahal waktu yang kami miliki cuma tiga minggu untuk penelitian dan membuat makalah. Di kompleks rumahku ya enggak ada yang mau. Untungnya ada tetangga guruku yang mau, yaitu seorang bapak dan dua anak. Dalam waktu tiga hari, seriawan mereka sembuh,” ungkap Indah.
Kartika dan kelompoknya dari SMP Islam Harapan Ibu juga kesulitan mendapatkan ”kelinci percobaan”. Tak seorang pun yang rambutnya rontok bersedia jadi obyek penelitian mereka. Akhirnya Kartika, Neta, dan Ayu masing-masing menghitung sendiri berapa helai rambut mereka yang rontok. ”Ternyata, rambutku paling banyak rontoknya. Maka akulah yang dijadikan korbannya, ha-ha-ha...,” ujar Tika, panggilan Kartika.
Sebelum mendapat ide, Tika melihat literatur. Dia tahu kalau jeruk nipis bisa digunakan untuk mencegah munculnya ketombe dan rambut rontok. Tika pikir mengurangi kerontokan boleh juga karena hal itu sering mereka rasakan.
”Kita baru bisa dalam taraf mengurangi kerontokan. Maunya sih, penelitian kita sampai bagaimana supaya rambut enggak rontok. Tetapi waktunya enggak cukup buat meneliti, jadi ya… cuma mengurangi saja,” ungkap Tika.
Akhirnya penelitian Tika dan kelompoknya yang berjudul Jeruk Nipis untuk Mengatasi Kerontokan Rambut berhasil meraih juara kedua. Juara pertamanya adalah Indah dan kawan-kawan dari SMP Islam Al Azhar Kelapa Gading dengan penelitiannya yang berjudul Campuran Jeruk Nipis dan Getah Jarak Pagar sebagai Obat Sariawan. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, campuran kedua elemen tersebut dapat menghasilkan suatu formula yang efektif dalam menyembuhkan seriawan hanya dalam tiga hari dengan rasa yang lebih disukai.
Sedangkan SMP Islam Al Azhar I Kebayoran meraih juara ketiga dengan tema penelitian Pemanfaatan Sukun di Kepulauan Seribu sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk Setempat.
Selain penelitian kelompok, dilombakan juga karya tulis ilmiah perorangan. Untuk kategori ini yang jadi juara pertamanya adalah Gloria Ate, siswi SMPN 1 Cikini. Gloria menyisihkan peserta lainnya dengan karya tulisnya yang berjudul Pengembangan Daerah Aliran Sungai & Kanal di Wilayah Jakarta sebagai Pusat Kegiatan Masyarakat.
Biar lebih baik
Kalau tujuan utamanya ingin menumbuhkan minat anak SMP pada bidang sains, kelihatannya cukup berhasil ya. Buktinya walau di tengah suasana ulangan umum, cukup banyak juga pesertanya. Belum lagi kalau dilihat dari kualitasnya. Tema atau topik yang diajukan oleh peserta sangat menarik. Selain yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa karya lain yang membuat orang ingin tahu lebih jauh.
Misalnya saja karya tulis ilmiahnya Effika Nurningtyas. Siswi SMP Al Azhar 1 ini mengangkat tema Pemanfaatan Buah Jarak sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti BBM. Di saat harga BBM yang semakin melambung tinggi, tentu karya Effika ini sangat menarik perhatian banyak orang. Iya enggak?
Nah, semoga saja tahun depan lomba ini digelar lagi. Tidak sebatas Jabotabek saja, tetapi bisa lebih luas lagi. Iya dong, cewek-cewek SMP dari luar Jabotabek kan ingin dapat kesempatan juga! Pasti deh akan lebih banyak lagi karya-karya yang berkualitas. Apalagi kalau waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian lebih lama lagi. Hasilnya pasti lebih baik dari yang sekarang.
Oh iya, soal hadiah nih... masak sih untuk juara satu penelitian kelompok, hadiah uangnya cuma Rp 1,2 juta? Kayaknya enggak cukup tuh untuk bikin penelitian baru, he-he-he....!

FITRI HARIYADININGSIH Tim MUDA
Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/24/muda/1836302.htm

5 (Lima) Delegasi Indonesia mengikuti Nobel Prize Winners Meeting di Lindau, Jerman

Kementerian Negara Riset dan Teknologi akan mengirimkan delegasi Indonesia pada the 55th Nobel Laureates Meeting diadakan di Lindau, Jerman pada tanggal 26 Juni – 1 Juli 2005. Hari ini (17/6) sebanyak 5 orang akan diterima Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dr. Kusmayanto Kadiman untuk melakukan bincang-bincang dan juga arahan dari Menegristek sebelum bertolak ke Jerman. Dalam acara ini akan hadir juga Rektor ITB, Rektor UI, Pejabat LIPI, Direktur DAAD dan pejabat Kementerian Riset dan Teknologi serta Alexander P. Hansen, penasehat Menristek untuk Jerman.
Kelima peserta merupakan hasil seleksi yang telah dilakukan sejak Desember 2004 dan telah melampau berbagai proses. Peserta seleksi terdiri dari berbagai lembaga iptek dan perguruan tinggi, sebanyak 18 orang terdiri dari, antara lain: UNDIP, ITS, UI, BPPT, LAPAN, BATAN, LIPI dan ITB. Ke-18 orang tersebut terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan antara lain mahasiswa S1, mahasiswa S2, sarjana S2, dan S3. Untuk proses seleksi ini, Menegristek memberikan kepercayaan kepada Kepala LIPI untuk menjadi ketua tim seleksi dari pihak Indonesia. Minimnya jumlah peminat disebabkan tingginya kualifikasi peserta yang ditentukan oleh Panitia Pertemuan Para Pemenang Nobel (Lindau Committee) termasuk persyaratan usia dan kelengkapan administrasi lainnya.
Seleksi tahap kedua dilakukan pada tanggal 10 Maret 2005. Seleksi kedua dihadiri oleh Dr. Alexander P. Hansen (Penasehat Menegristek dari Jerman), Mrs. Ilonna Krueger – Rechmann (Director DAAD Jakarta), Dr. Anung Kusnowo (LIPI) dan Academic Selection Committee of DAAD dari Jerman yang tengah berada di Jakarta. Akhirnya diputuskan hanya ada 5 orang yang akan menjadi delegasi Indonesia, yaitu:
1. Anto Tri SugiartoUsia : 33 tahun Pendidikan terakhir : PhD in Production Engineering, Guama University, JapanPekerjaan : Peneliti pada Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi dan Metrologi LIPI
2. Arief Budi WitartoUsia : 34 tahun Pendidikan terakhir : Doctor of Engineering in Biotechnology, Department of Biotechnology, Tokyo University of Agriculture and Technology, JapanPekerjaan : Peneliti (Kepala Penelitian Bidang Protein Engineering), Divisi Molekular Biologi, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI
3. Dian PratiwiUsia : 29 tahunPendidikan terakhir : S1 Kedoketeran Umum Universitas IndonesiaPekerjaan : Mahasiswa S2 Semester 8 jurusan Dermatology and Venereology Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia
4. IsmunandarUsia : 35 tahun (per Juni 2005)Pendidikan terakhir : PhD di bidang Kimia Inorganik, University of Sidney Pekerjaan : Dosen Fakultas Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB)
5. Nurul Taufiqu RochmanUsia : 35 tahun (per Agustus 2005) Pendidikan terakhir : S3 – Doctor of Engineering, Material Production Engineering, Kagoshima University, Japan Pekerjaan : Peneliti di LIPI
Sebagai bentuk dukungan terhadap partisipasi Indonesia pada pertemuan para pemenang Nobel, Lindau Committee telah membebaskan biaya pendaftaran sebesar 500 EUR dan boarding and lodging untuk para peserta dari Indonesia
Setelah menghadiri acara di Lindau, delegasi Indonesia akan mengadakan program kunjungan ke laboratorium – laboratorium penelitian yang ada di Jerman antara lain di Constance, Munich, Bonn dan Frankfurt, pada tanggal 4 – 9 Juli 2005. Program kunjungan ini dikoordinir dan didanai oleh Deutsche Forschungsgemeinschaft (DFG), yang memiliki kerjasama bilateral dengan RISTEK. Kedutaan Besar RI di Berlin juga telah menunjukkan perhatian melalui kesediaannya untuk menanggung biaya akomodasi dan mengatur suatu program akhir pekan untuk delegasi Indonesia.
Nobel Laureates Meeting berlangsung setiap tahun dengan mengambil tema secara bergantian di bidang – bidang Fisika, Kimia, Biologi/Medicine. Pada tahun tahun 2000 dan 2005 ini tema pertemuan difokuskan pada “interdisciplinary”, yang membahas bidang yaitu fisika, kimia, biologi/medicine. Para pemenang Nobel akan diundang untuk berpartisipasi sebagai lecturer untuk memberikan presentasi atau kuliah singkat mengenai bidangnya masing – masing. Diskusi panel diikuti oleh seluruh peserta dari berbagai negara yang diadakan pada setiap sesi perkuliahan. Diskusi biasanya mengambil topik permasalahan di bidang fisika, kimia dan biologi/medicine. Selain itu diskusi diarahkan pada bagaimana menjawab tantangan ilmiah maupun sumbangsi ilmu pengetahuan tersebut bagi perkembangan masyarakat.
The 55th Nobel Laureates meeting 2005 dihadiri oleh peserta dari berbagai negara antara lain : USA, Italia, Jerman, Inggris, Perancis, Turki, Romania, Portugal, Lithunia, Rusia, Hongaria, Saudi Arabia, United Arab Emirates, Israel, Portugal, Swedia, Swiss, Venezuela, Brazil, Argentina, Indonesia, India, Cina, Pakistan, Korea, Spanyol, Chile, Bulgaria, Ukraina, Australia, Belgia, dsb.
Untuk peserta dari Asia, India mengirimkan 47 orang delegasi, Cina 34 orang, Korea 7 orang, Jepang 20 orang, Pakistan 10 orang, Singapura 2 orang dan Malaysia 8 orang. Sedangkan Indonesia mengirimkan 5 orang untuk berpartisipasi pada pertemuan tersebut.

Tuesday, July 12, 2005

BIOTEKNOLOGI, SEBUAH GELOMBANG BARU EKONOMI

Bisnis Indonesia (14 Juni 2005)

Di era teknologi informasi dan komunikasi (informationand communication technology/ICT) saat ini, produk ICTtelah merambah ke seluruh belahan dunia, lapisan masyarakatdan berbagai sektor kehidupan. Tidak heran ICT tidaksaja menjadi industri raksasa tapi juga menciptakangelombang ekonomi baru.

Dari sekian banyak teknologi yang terus berkembangpesat di dunia, pilihan teknologi yang punya kemampuansama dengan ICT untuk merevolusi kehidupan manusia, membentukindustri raksasa dan menciptakan gelombang ekonomibaru, adalah bioteknologi. "Next great entrepreneural wave",demikian ramalan majalah bisnis Amerika, the RedHerring (The Business of Technology) beberapa tahun yang lalu.

Era bioteknologi mulai berkembang tahun 1970-andimulai dengan pemanfaatan bioteknologi untuk industri farmasi. Teknologi DNA rekombinan yang dikembangkan, digunakanuntuk memproduksi protein rekombinan yang sangat penting untuk kedokteran seperti insulin, hormon pertumbuhan, dll.Setelah melewati fase awal pembuatan protein rekombinan, bioindustri farmasi berkembang ke arah pembuatanantibodi dari yang poliklonal sampai monoklonal denganteknologi yang diawali dari hibridoma sampai rekayasa antibodi.


Antibodi ini memperluas jangkauan aplikasi bioindustri farmasi dari terapi ke diagnostik. Selanjutnya fase ketiga yang sedang dilalui sekarang menginjak ke teknologi kloningyang memperluas sekaligus memperdalam teknologi rekayasa jaringan yang awalnya dikembangkan untuk pemenuhan transplantasi jaringan/organ saja. Teknologi kloningterdiri dari 3 teknologi utama yaitu teknologi sel tunas, teknologitransfer inti sel dan teknologi telomere.

Dari uraian di atas, memang nampak walau bioteknologidapat diaplikasikan ke berbagai sektor kehidupan,bioindustri farmasi adalah yang paling banyak mendapatkan manfaatnya, baru disusul pertanian dan lingkungan,seperti diungkapkan oleh Cynthia Robbins-Roth (2000) dalam bukunya "FromAlchemy to IPO: The Business of Biotechnology".Bioindustri memang belum dirasakan merambah ke seluruh aspekkehidupan manusia seperti ICT, tapi dalam sektorkedokteran pengaruhnya semakin besar dan penting.

Penderita diabetes sekarang bisa hidup seperti manusia normal berkat insulin rekombinan dan alat pengukur gula darah yang menggunakan enzim rekombinan glukosadehidrogenase. Penderita kanker semakin panjang harapan hidupnya berkat erythropoietin rekombinan, growth colony stimulating factor rekombinan yang memacu pertumbuhan sel-sel darah setelah kemo dan radioterapi.

Bahkan dengan teknologi rekayasa antibodi, beberapajenis kanker telah dapat disembuhkan total tanpa efek samping sedikit pun, dicegah dengan vaksin kanker atau dilambatkan pertumbuhannya menjadi semacam penyakitmenahun saja yang tidak mematikan.

Mampukah bersaing?

Indonesia yang dikenal sebagai negara kaya sumber dayaalam hayati, telah mengembangkan bioteknologi sejak1980-an, tak berpaut lama dari dimulainya revolusi bioteknologiitu sendiri. Sektor aplikasi yang mendapat curahanperhatian besar adalah pertanian.

Bioteknologi adalah teknologi yang bergantungsepenuhnya terhadap sumber daya genetik makhluk hidupdari jasad renik/mikroba sampai organisme sempurna, manusia. Sehingga sangat logis kalau Indonesia perlu terus mengembangkan bioteknologi untuk memanfaatkan kekayaan alamnya sendiri itu, supaya tidak tertinggal gelombang ekonomibaru berikutnya.

Di lain pihak ada kekhawatiran apakah Indonesia,negara berkembang yang kaya sumber daya alam tapilemah ekonomi ini dapat bersaing dengan negara maju dalam mengembangkan teknologi tinggi seperti bioteknologi? Kekhawatiran ini nampaknya bisa dijawab oleh pengalaman negaraberkembang lain yaitu Kuba (Cuba-Innovation ThroughSynergy dalam Health Biotechnology Innovation in Developing Countries.Edisi spesial jurnal Nature Biotechnology tahun 2004).

Kuba yang juga negara agraris dengan pertanian tembakau dan tebunya yang terkenal, sekarang telah menjadi negara maju bioindustri farmasi dengan ekspor utama setelah pariwisata adalah obat-obat produk bioteknologi.Karena pengembangan yang sistematis, dan kerja sama yang erat antaralembaga penelitian, lembaga pendidikan lembaga ekonomi/industri atau perusahaan, lingkaran teknologi ke bisnis, berjalan mulus.

Dengan memfokuskan pada pengembangan bioteknologikedokteran/farmasi, Kuba telah berhasil menyediakan produk-produk obat bioteknologi dengan gratis kepada rakyatnya sertamenjadi devisa utama negara.

Agrofarmasi

Apakah Indonesia, perlu meniru Kuba dalam mengejar ketertinggalan dengan negara maju untuk bidang bioteknologi ini, ataukah ada pilihan lain? Kemajuan Kuba yang diamati sekarang telah diawali hampir 30 tahun yang laludengan memfokuskan diri pada pembuatan protein rekombinanseperti interferon. Tentunya kita perlu menanti waktuyang sama bila akan memulai sekarang ini. Bagaimana kalaumemanfaatkan keunggulan komparatif dan sumber dayayang ada?

Dalam hal ini, bidang yang diusulkan adalah sinergi antara kekuatan Indonesia pada pertanian dan agroindustrinya dengan kekuatan bioteknologi yang telah mengakar padafarmasi/kedokteran, sehingga diusulkan istilah"agrofarmasi". Bertani protein adalah salah satu bentuk agro-farmasiyang sangat mungkin dilakukan di Indonesia.

Sebagaimana bentuk pertanian lainnya, bertani pisang untuk mendapatkan buah pisang, bertani jagung untukmendapatkan buah jagung, bertani protein bertujuan untukmendapatkan protein rekombinan yang menjadi bahan bakuobat. Teknologi perakitan tanaman transgenik yang sudah lama dikuasai peneliti Indonesia, disinergikan dengan teknologi rekayasa protein yang menjadi fondasi bioteknologi modern untuk merakit tanaman yang dapat memproduksi erythropoietin,albumin, interferon, dsb yang digunakan untuk terapi berbagaipenyakit.

Teknologi ini sedang mendapat perhatian besar duniakarena mampu mengurangi biaya produksi yang membuatharga obat bioteknologi sangat mahal. Apalagi memasuki tahun2000-an ini akan mulai banyak dikenal obat bioteknologi generik karena masa paten 20 tahun sejak ditemukannya sudah habis.

Walaupun biaya lisensi paten sudah tidak ada, kita belum dapat membuat protein-protein rekombinan itusecara sintetik dengan reaksi kimia biasa karena kompleksitas proteinyang tinggi, jadi masih harus menggunakan organisme hidup seperti bakteri dan sel hewan sebagai reaktor untukmemproduksinya. Tanaman yang hanya membutuhkan lahan subur dan cahaya matahari yang cukup, dipadu dengan kemajuan teknologi yang telah bersinergi itu, dapat menurunkan biaya produksi tersebut.

Produk dari bertani protein atau molecular farming initidak hanya bahan baku obat yang diekstrak dari daunatau biomassa lain tanaman hasil rakitan bioteknologi itu,tapi bisa juga buah yang bisa langsung dikonsumsimelalui arahan tenaga medis karena berfungsi sebagai vaksin/ediblevaccine. Berkat bioteknologi pulalah, beberapa produkvaksin generasi baru sudah tidak menggunakan patogen yangdimatikan atau dilemahkan tapi cukup antigen proteinnya saja. Protein inilah yang diekspresikan dalam buah pisang misalnya, sehingga pisang itu dapat menjadi vaksinyang dimakan.

Pengembangan agrofarmasi selain strategis untukpemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat, jugaberpotensi mensejahterakan kehidupan petani. Seringkali petanitidak punya peluang lain kecuali memasarkan produknyake industri tertentu sehingga rentan praktik monopsoni. Denganadanya alternatif pemanfaatan tanaman dari sektorlain, maka hal tersebut dapat dihindari.

Arief B. Witarto
Peneliti pada Pusat PenelitianBioteknologi-LIPI/Cibinong Science Center

Friday, July 01, 2005

“SI KECIL” YANG CERDIK DAN ULET - Belajar dari virus

-Senin, 18 Agustus 2003 - Sorotan
Oleh Andi Utama*

“Sesungguhnya di langit dan di bumi ada bukti-bukti kekuasaan Tuhan, bagi orang yang beriman. Dan juga mengenai kejadianmu dan binatang yang bertebaran di muka bumi ini, semuanya menjadi bukti bagi kaum yang yakin” (Surat 45: 3-4).
Kita diperintahkan oleh Allah mempelajari ciptaanNya baik yang ada di langit maupun di bumi. Pengetahuan tentang ciptaan Allah tersebut akan menambah keimanan kita dan lebih mendekatkan kita kepadaNya. Selain itu, juga ada pelajaran yang bisa kita ambil daripadanya. Dalam tulisan ini, penulis akan sedikit menceritakan bagaimana virus, makhluk yang sangat kecil ini tidak pernah putus asa dan selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Mutasi dan rekombinasi virus

Mungkin kita sering mendengar kalau virus melakukan mutasi dan rekombinasi. Mutasi adalah proses perubahan gen (DNA atau RNA) virus, dimana beberapa nukleotida pembentuk gen-nya berubah. Dengan bermutasi, virus ini merubah dirinya sehingga bisa menghindari dari tangkapan antibodi yang ada di dalam tubuh atau obat yang diminum untuk mengantisipasi virus tsb. Proses mutasi ini tidak terjadi pada gen-gen yang sangat diperlukan untuk perkembangbiakan virus itu sendiri. Mutasi hanya terjadi pada gen tertentu yang mengantisipasi ancaman yang datang. Dengan demikian, proses mutasi ini terjadi tanpa mengganggu kehidupan virus itu sendiri dan bertujuan tidak lain adalah untuk mempertahankan hidup virus tersebut.

Jika dengan bermutasi virus masih merasa tidak nyaman terhadap berbagai ancaman, mereka melakukan rekombinasi (penyilangan gen). Proses ini biasanya terjadi diantara virus yang secara genetika hubungannya dekat. Mereka kompak untuk saling membantu, sehingga mereka saling meminjamkan gen mereka. Dengan rekombinasi ini, tidak hanya bisa menghindar dari serangan antibodi dan obat, tetapi juga akan lebih stabil dan kuat sehingga bisa bertahan dan bergenerasi di alam.

Seperti contoh, vaksin polio. Vaksin polio yang umum digunakan adalah virus polio itu sendiri, dimana patogennya sudah dilemahkan. Vaksin ini terdiri dari campuran virus serotipe 1, 2, dan 3. Kalau kita minum vaksin polio, untuk beberapa bulan virus dapat dideteksi di feces penerima vaksin. Kalau kita analisa virus keluar melalui feces ini akan dapat dilihat mutasi virus tersebut. Dan diantaranya ada rekombinasi antara serotipe. Namun hanya sebagian kecil virus ini yang menyebabkan gejala polio.

Yang menjadi masalah adalah rekombinasi vaksin dengan virus polio liar atau virus yang secara genetika dekat dengan virus polio. Virus ini tidak hanya menyebabkan gejala polio pada individu, tapi juga menyebar menjadi wabah karena kemampuannya yang tinggi untuk menular.
Integrasi virus

Selain proses mutasi dan rekombinasi, integrasi adalah strategi lain dari virus untuk mempertahankan hidupnya. Stategi ini adalah strategi dimana gen virus menyatu dengan gen sel induknya. Strategi ini dilakukan oleh retrovirus seperti HIV. Dengan berintegrasi ini, virus seolah-olah menghilang dari sel, sehingga tidak bisa ditangkap oleh sistem imun tubuh atau obat. Selain itu, dengan integrasi ini virus bisa stabil di dalam sel untuk selamanya, sehingga sel akan terinfeksi selamanya (long life infection). Gen virus yang berintegrasi dengan gen sel induk akan menjalankan proses replikasi (perkembangbiakan) pada saat gen sel induk mengalami proses replikasi.

Pelajaran yang bisa diambil

Nah, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena kehidupan virus ini? Kalau kita amati, sangatlah cerdik dan ulet virus ini. Mereka selalu berusaha untuk bisa lebih kuat dan tidak pernah berputus asa di dalam hidupnya. Mereka selalu berusaha berubah untuk bisa tahan terhadap berbagai faktor lingkungan yang menyerang dan merusak mereka. Sementara itu, tidak sedikit manusia yang pemalas dan cepat pasrah. Rasanya malu, kalau kita makhluk hidup yang paling tinggi dan sempurna, kalah semangat dengan virus, makhluk yang sangat kecil.
Keuletan virus ini perlu kita tiru. Seperti virus ini, kita tidak boleh cepat pasrah dan putus asa. Kita harus selalu berusaha untuk maju dan lebih punya power, sehingga tahan terhadap segala tantangan hidup ini. Untuk itu, kita harus selalu berpikir bagaimana kita bisa berubah sesuai dengan perubahan kondisi, lingkungan serta kemajuan zaman. Dan pemikiran itu harus diwujudkan dalam kenyataan, supaya kita bisa menilai salah benarnya pemikiran kita tersebut.
Selain itu, kerjasama antara virus untuk melakukan rekombinasi juga perlu ditiru. Kita semua tahu bahwa kita disuruh berjamaah dan saling membantu sesama kita. Dengan berjamaah ini, kita akan lebih mudah berjuang dalam mempebaiki diri dan merubah lingkungan.
Namun, suatu hal yang alami dan lumrah, tidak semua sifat virus itu adalah baik dan harus ditiru. Yang perlu kita tiru adalah sifat baik seperti yang diuraikan di atas. Sementara itu, sifat jelek virus seperti menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit pada manusia, tentunya harus kita jauhkan. Karena kita tahu bahwa melakukan sesuatu yang merugikan manusia lainnya, termasuk menyakitinya, adalah sikap yang dilarang.

Diakhir kata, penulis mengajak kita semua untuk memperhatikan dan kalau bisa memperlajari ciptaanNya dan mengambil makna yang ada di dalamnya. Tujuan akhir memperlajari ciptaan Allah tentu saja supaya lebih mendekatkan kita kepadaNya.

*Penulis adalah Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI dan pengurus ISTECS Japan.
sumber : http://kammi-jepang.net/sorotan.php?id=32

Mencegah Penularan, Strategi Efektif Atasi AIDS : OPINI

Dr Andi Utama, Peneliti Puslit Bioteknologi LIPI; Postdoctoral Fellow of Japan Society for Promotion of Science, National Institute of Infectious Diseases, Jepang.

AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) adalah penyakit global yang menjadi masalah di seluruh dunia. Dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada 1 Desember, WHO melancarkan program The 3 by 5 Initiative dengan tujuan untuk menyuplai obat antiretroviral (ARV) kepada tiga juta pasien AIDS di negara berkembang menjelang tahun 2005.

Program ini dilakukan untuk memberantas penyakit AIDS yang disebabkan oleh infeksi virus HIV (human immunodeficiency virus), yang jumlahnya kian hari terus bertambah. Menurut laporan WHO pada Desember 2002, lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS. Dan sekarang diperkirakan penderita AIDS berjumlah lebih dari 42 juta. Jumlah ini terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Jumlah pasien di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara diperkirakan sekitar 5,6 juta.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Ditjen PPM & PLP Depkes, sampai dengan November 2003 dilaporkan bahwa jumlah pasien AIDS dan pengidap HIV adalah 3.924 orang. Dalam jangka tiga bulan terakhir (Juli-September 2003) telah dilaporkan tambahan 151 kasus AIDS dan 126 pengidap infeksi HIV. Ini membuktikan bahwa kalau tidak dilakukan tindakan pencegahan dari dini, kasus AIDS/HIV akan menjadi masalah besar di Indonesia pada masa yang akan datang.

Terapi AIDS/HIV

Terapi AIDS/HIV saat ini adalah terapi kimia (chemotherapy) yang menggunakan obat ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor).

Di antara nucleoside-based inhibitor RT adalah AZT (zidovudine), ddI (didanosine), ddC (zalcitabine), 3TC (lamivudine), d4T (stavudine
), dan lain-lain. Nevirapine dan efavirenz adalah nama obat ARV berupa inhibitor protease.
Sementara itu, inhibitor protease yang sampai saat ini terdaftar resmi di USA Food and Drug Administration (FDA) adalah amprenavir (Agenerase), indinavir (Crixivan), lopinavir/ritonavir (Kaletra), ritonavir (Norvir), saquinavir (Fortovase), and nelfinavir (Viracept).

Terapi menggunakan obat AZV ini umumnya tidak dilakukan dengan satu jenis obat saja, tapi dengan kombinasi berbagai macam obat. Hal ini disebabkan karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang resisten terhadap obat tersebut.
Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS saat ini. Strategi ini disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Dengan HAART ini, biasanya direkomendasikan untuk menggunakan protease inhibitor dengan minimal dua jenis obat lainnya. Walaupun demikian, cara ini juga masih belum efektif dan masih mengakibatkan munculnya virus yang resisten.

Walaupun demikian, upaya penemuan obat baru tetap dilakukan. Seiring dengan itu, juga dilakukan usaha untuk pengembangan vaksin terhadap virus HIV. Di antaranya yang cukup memberi harapan adalah kandidat vaksin dari rekombinant protein gp120 (protein selaput envelope protein virus HIV). Kandidat vaksin ini dikembangkan oleh VaxGen Inc, perusahaan yang bergerak di bidang produk biologi untuk penyakit menular yang berpusat di Australia.
Namun sayang sekali, kandidat vaksin yang bernama AIDSVAX ini tidak terbukti efektif pada pengujian klinis fase-3, yaitu fase pengujian skala besar terhadap ketahanan manusia terhadap serangan virus HIV.

Kendala pengobatan AIDS/HIV

Sulitnya penemuan obat atau vaksin virus HIV ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain tingginya tingkat mutasi virus ini. Terjadinya mutasi ini menyebabkan virus mudah berubah bentuk dan sifat sehingga resisten terhadap obat. Jika obat yang dipakai adalah inhibitor terhadap enzim transcriptase seperti AZT (zinovudine, misalnya), terjadinya mutasi yang signifikan pada gen transcriptase akan membuat AZT tidak akan berfungsi lagi.
Biasanya hal ini bisa diatasi dengan menggunakan obat kombinasi. Tapi tindakan ini tidak mempan terhadap virus HIV disebabkan tingkat mutasinya yang tinggi. Baru-baru ini, salah satu studi terhadap 80 orang pasien yang diberi obat tripel zidovudine, lamivudine, dan nevirapine memperlihatkan bahwa 61% di antaranya ditemukan mutasi yang membuat virus resisten terhadap obat ini (Re et al, 2003).

Selain itu, virus HIV juga melakukan proses rekombinasi (penyilangan gen) dengan virus HIV yang berbeda tipe. Ini lebih menyebabkan lagi virus HIV bisa berubah menjadi bermacam-macam bentuk dan sifat. Karena biasanya obat yang dirancang hanya ditargetkan untuk virus tertentu, maka berubahnya virus akan menyebabkan obat yang dirancang tidak berfungsi lagi. Analisis virus HIV yang diisolasi dari pasien yang diberi obat inhibitor protease membuktikan bahwa rekombinasi virus menyebabkan resistennya virus terhadap protease inhibitor (Penn et al, 2001). Liciknya, virus ini hanya mengubah diri untuk menjadi resisten terhadap obat, tanpa mengurangi sifat patogennya.

Penularan AIDS dan gaya hidup

Virus HIV biasanya hidup dan berkembang biak pada sel darah putih manusia, yang erat hubungannya dengan sistem daya tahan tubuh manusia karena merupakan sumber antibodi. Jadi, HIV akan berada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, cairan sperma, cairan vagina, cairan sumsum tulang, air susu ibu, dan cairan otak.

Karena itu, maka penularan HIV akan berlangsung pada saat terjadi pencampuran cairan tubuh yang mengandung virus HIV. Pencampuran tersebut bisa terjadi melalui berbagai perilaku. Di antaranya adalah hubungan seks dengan pasangan pengidap HIV, suntikan jarum yang tercemar virus HIV, transfusi darah yang mengandung HIV, dan kelahiran dari ibu yang mengidap HIV.

Dari sini jelas bahwa hubungan seks merupakan faktor utama penyebab penyebaran AIDS. Artinya, penyebaran AIDS sangat dipengaruhi oleh gaya hidup suatu masyarakat, seperti pergaulan pria dan wanita yang bebas, kenakalan remaja yang cenderung menggunakan NAPZA, atau perilaku homoseksual. Dengan kata lain, semakin banyak hal-hal di atas ditemukan dalam masyarakat, kecepatan penyebaran virus HIV akan semakin tinggi.
Pencegahan penularan menjadi kunci

Karena kita tahu bahwa sampai saat ini tidak ada obat yang efektif untuk penyakit AIDS/HIV ini, seharusnyalah kita sadar bahwa upaya efektif yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi masalah ini adalah pencegahan. Dengan menghindari penyebaran virus HIV, dengan cara menjauhi gaya hidup yang menyebabkan penyebaran HIV, masalah ini akan bisa diatasi. Sebaliknya jika kita lalai dan tidak acuh terhadap perilaku yang menularkan virus HIV, masalah ini tidak akan bisa diatasi.

Dalam rangka memberantas AIDS/HIV di Indonesia, pada Maret 2003, Depkes telah mengeluarkan buku Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Tahun 2003-2007. Di dalam buku tersebut ditetapkan untuk mencapai target di atas ada enam area yang diprioritaskan, yaitu pencegahan HIV/AIDS, perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap orang HIV/AIDS, surveilans HIV/AIDS dan infeksi menular seksual, kegiatan penelitian, lingkungan yang kondusif, koordinasi multipihak, serta penanggulangan berkesinambungan.
Dari sini jelas sekali bahwa pencegahan merupakan hal yang utama. Tentu saja hal ini tidak mudah dilaksanakan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang AIDS/HIV itu sendiri. Pengetahuan tersebut meliputi bahaya AIDS, bagaimana penularannya, serta bagaimana pecegahannya. Begitu juga kesadaran yang masih kurang. Karena itu, untuk melaksanakan pencegahan ini pun memerlukan kerja sama berbagai pihak, mulai dari tingkat individu sampai pada tingkat pemerintahan.

Apa yang direncanakan oleh Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan, untuk menggalang komitmen politik dari anggotanya di pusat maupun daerah guna mencegah meluasnya HIV/AIDS melalui kebijakan serta peraturan yang terpadu, merupakan salah satu usaha yang efektif (Media Indonesia, 1/12/2003). Dengan memperingati Hari AIDS Sedunia ini, marilah kita sama-sama berusaha agar penyakit AIDS/HIV ini tidak semakin menyebar di negara kita.***

Eradikasi Polio, Mungkinkah?

Oleh :
Andi UtamaPeneliti Puslit Bioteknologi LIPI, Pernah Bekerja di WHO Polio Referential Laboratory, National Institute of Infectious Diseases, Tokyo, Japan

Polio adalah penyakit yang sejak 1995 telah punah dari bumi Indonesia. Namun, sekarang muncul kembali. Sampai saat ini Departemen Kesehatan mencatat sudah lima anak di Kabupaten Sukabumi positif terserang polio (Republika, 6/5/2005).

Hasil analisis genetika menunjukan bahwa virus polio yang di Sukabumi mirip dengan virus polio yang diisolasi di Sudan. Pada hasil analisis tersebut terdapat dua kemungkinan. Pertama adalah virus yang menyerang anak-anak di Sukabumi merupakan virus polio impor yang tadinya tidak pernah ada di Indonesia. Kedua, virus tersbut merupakan virus asli Indonesia yang kebetulan sama dengan virus di Sudan.

Belajar dari kejadian ini, kita harus selalu waspada dengan melakukan vaksinasi pada setiap balita tanpa pengecualian. Ini adalah tindakan yang mutlak dilakukan sampai polio benar-benar lenyap dari bumi ini. Merupakan tindakan yang gegabah jika kita melalaikan program vaksinasi Polio karena dianggap virus polio liar tidak ada di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa selama virus liar tidak punah dari seluruh pelosok bumi ini, akan selalu terbuka peluang masuknya virus polio liar dari luar, terutama dari wilayah endemik polio.

Oleh karena itu, negara-negara yang telah dinyatakan bebas polio sejak puluhan tahun yang lalu sekalipun tetap melaksanakan vaksinasi terhadap semua balitanya. Jepang seperti contoh, telah bebas polio sejak puluhan tahun yang lalu, namun sampai saat ini mereka tetap mewajibkan vaksinasi polio untuk setiap bayi yang lahir. Begitu juga dengan negara maju lainnya, yang konsisten menjalankan program imunisasi.

Program eradikasi polioPada 1998, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memulai program The Global Polio Eradication Initiative, yaitu program pemusnahan polio dari bumi ini. WHO mentargetkan sampai 2005 dunia sudah bebas dari polio, namun kenyataannya sampai saat ini masih ada negara yang endemik polio seperti India, Pakistan, Afganistan dan negara di Afrika seperti Nigeria dan Niger. Ditambah lagi dengan munculnya kasus di negara yang tadinya telah dinyatakan bebas polio, termasuk Indonesia.

Pada awalnya WHO optimistis untuk bisa mewujudkan target ini. Hal ini disebabkan karena virus polio tidak menginfeksi hewan apapun, kecuali manusia. Dengan demikian, virus ini akan lebih mudah dikontrol. Optimistis ini dibuktikan dengan musnahnya virus polio liar di hampir seluruh belahan bumi. Endemik polio hanya tersisa di lima negara, yaitu India, Pakistan, Afganistan, Nigeria, dan Niger.

Keberhasilan ini dicapai tidak lain adalah karena program imunisasi yang rapi yang dilakukan di masing-masing negara melalui bermacam-macam cara, di antaranya melalui program Hari Imunisasi Nasional (National Immunization Day), Pekan Imunisasi Nasional (National Immunization Week), seperti yang biasa dilaksanakan di Indonesia, atau imunisasi rutin yang dilakukan terhadap balita.

Dalam pelaksanaan program imunisasi polio, ada dua jenis vaksin yang tersedia, yaitu inactivated Polio vaccine (IPV) dan live-attenuated oral Polio vaccine (OPV). IPV adalah vaksin ini dikembangkan pada 1954 oleh Jonas Salk. Vaksin ini dibuat dengan mematikan virus dengan formalin. Vaksin ini biasanya tersedia dalam bentuk cairan dan vaksinasi dilakukan dengan suntikan. Oleh karena itu vaksinasi dengan IPV memerlukan biaya yang mahal, termasuk biaya jarum suntik dan tenaga medis untuk menyuntik.

Sementara itu, OPV adalah vaksin ini dikembangkan oleh Albert Sabin pada 1957. Vaksin ini adalah virus hidup yang dilemahkan (live-attenuated), sehingga bisa berkembangbiak di dalam tubuh manusia, khususnya di usus. Vaksin ini biasanya tersedia dalam bentuk cairan yang dicampur dengan sirup dan vaksinasi dilakukan dengan meminum sirup tersebut. Karena itu vaksinasi dengan OPV lebih murah karena tidak memerlukan biaya tambahan untuk beli jarum suntikan dan juga mudah untuk diberikan kepada anak-anak. Selain itu, seperti virus Polio alami, OPV juga keluar bersama tinja dan menginfeksi ke manusia di sekitarnya. Infeksi ini juga akan sama nilainya dengan imunisasi karena yang terinfeksi adalah OPV. Karena itu, vaksinasi terhadap satu orang bisa berarti vaksinasi terhadap satu keluarga.

Dengan sifat-sifat yang disebutkan di atas, jelas bahwa OPV lebih disukai dari pada IPV, sehingga dalam program eradikasi polio, WHO mengutamakan penggunaan OPV, termasuk juga di Indonesia. Walaupun demikian, OPV juga mempunyai kelemahan. Karena OPV adalah virus hidup, selalu terbuka peluang untuk terjadinya mutasi. Dan di antara mutasi ini selalu ada peluang untuk terjadinya mutasi yang memunculkan sifat virus polio liar dan menyebabkan gejala penyakit polio pada balita penerima vaksin. Kasus ini dinamakan vaccine-associated paralytic Poliomyelitis (VAPP). Tetapi dalam kenyataannya, peluang kasus VAPP ini sangat sedikit, yaitu 1/200 juta.

Kendala program eradikasi polioAda beberapa kendala untuk mengsukseskan program eradikasi polio global ini. Di antaranya adalah masalah politik dan perang. Hal ini disebabkan perang atau hubungan politik yang tegang akan menghambat pelaksanaan program imunisasi. Tidak hanya program imunisasi, surveillance system juga tidak bisa dilaksanakan di daerah perang atau konflik, sehingga kita tidak bisa mengetahui status polio di daerah tersebut. Dan kenyataannya, di kawasan-kawasan seperti ini masih belum bebas dari polio.

Masalah lain yang menjadi kendala adalah terjadinya mutasi dan rekombinasi (penyilangan gen) pada vaksin polio, khususnya OPV. Hal ini disebabkan karena OPV adalah virus hidup yang bisa melakukan mutasi dan rekombinasi. Dengan mutasi dan rekombinasi ini virus berpeluang untuk kembali menjadi virus liar yang ganas. Sementara OPV adalah vaksin yang umumnya digunakan dalam program pemusnahan polio global. Karena virus polio terdiri dari 3 serotipe (serotipe 1, 2, dan 3), OPV yang digunakan juga merupakan campuran dari tiga serotipe ini. Dan kebanyakan rekombinasi yang terjadi pada virus vaksin adalah rekombinasi ketiga serotipe ini. Hasil rekombinasi seperti ini tidak terlalu berbahaya dan sampai saat ini terbukti bahwa hasil rekombinasi ini belum pernah menyebabkan terjadinya wabah polio di manapun.

Rekombinasi yang berbahaya adalah rekombinasi antara virus vaksin polio dengan virus lain. Baru-baru ini ada wabah polio yang disebabkan oleh virus yang berasal dari vaksin yang telah berekombinasi dengan virus lain. Pada 2000-2001 terjadi wabah di kepulauan Hispaniola. Pada tahun 2001, juga terjadi wabah yang sama di Filipina. Setahun berikutnya juga terjadi di Madagaskar. Dari hasil analisis ditemukan bahwa virus ini adalah virus vaksin yang telah berekombinasi dengan virus lain. Namun perlu dicatat bahwa gejala polio hanya terjadi pada balita yang tidak diimunisasi atau riwayat imunisasinya tidak jelas.

Kesempurnaan program imunisasiSeperti yang dijelaskan di atas, OPV berpeluang menyebabkan gejala polio (VAPP) dan bahkan bisa berekombinasi menjadi virus yang berbahaya. Namun perlu dicatat bahwa gejala polio hanya terjadi pada balita yang tidak diimunisasi atau riwayat imunisasinya tidak jelas. Hal ini menunjukan bahwa vaksinasi atau imunisasi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Oleh karena itu, negara-negara yang telah mendeklerasikan bebas polio sekalipun masih tetap melaksanakan program imunisasi, terutama imunisasi rutin terhadap setiap anak yang lahir. Begitu juga dengan Indonesia, kita harus melakukan program imunisasi yang rapi sehingga menutup kemungkinan terjadinya wabah polio, baik yang disebabkan oleh virus impor maupun dari virus vaksin yang berubah (vaccine-derived poliovirus).

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua, baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengerti betapa pentingnya imunisasi, sehingga program WHO untuk menciptakan dunia yang bebas polio bisa terwujud.

Segera Disusun, Pedoman Pengkajian Keamanan Produk Rekayasa Genetik

Jakarta, Kompas - Sabtu, 14 Mei 2005
Pemerintah melalui Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan menyusun pedoman Pengkajian Keamanan Produk Rekayasa Genetik. Pedoman ini akan digunakan sebagai acuan pengkajian keamanan produk tersebut dari segi kesehatan manusia dengan tujuan memberi kepastian pengkajian yang dilakukan melalui pendekatan kehati-hatian.

Ketua I Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan yang juga Kepala Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian Achmad Suryana ketika dikonfirmasi, Kamis (12/5) di Jakarta, mengatakan, konsep mengenai pedoman itu sudah dua kali dikonsultasikan ke publik. Konsultasi yang pertama di Jakarta dan kedua dilakukan di Surabaya.

"Kami mengundang semua pemangku kepentingan, baik pengusaha, perguruan tinggi, maupun lembaga swadaya masyarakat untuk membahas pedoman itu. Kita juga mengirim pedoman ini ke situs internet Departemen Pertanian agar diketahui masyarakat sehingga bisa memberi masukan," kata Achmad Suryana.

Pedoman setebal 21 halaman itu berisi lima bab, antara lain syarat dan tata cara permohonan pengkajian keamanan pangan produk rekayasa genetik (PRG), syarat dan tata cara pengkajian keamanan pangan PRG, serta keputusan keamanan pangan PRG.

Di dalam pedoman itu disebutkan bahwa PRG adalah hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagian dan hasil olahannya, serta jasad renik transgenik, hasil olahannya, dan produk hasil metabolismenya.

Setiap orang atau badan hukum yang akan mengedarkan pangan PRG harus mengajukan permohonan pengkajian keamanan pangan PRG secara tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) dengan menggunakan formulir permohonan.
Selama pengkajian itu terdapat delapan tahapan yang harus dilewati. Secara keseluruhan, waktu yang dibutuhkan untuk pengkajian itu selama 24 minggu termasuk waktu untuk pengumuman kepada masyarakat selama empat minggu. Waktu ini di luar waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi informasi dan data yang diperlukan serta pengujian di laboratorium.

Mereka yang hendak mengedarkan pangan PRG juga harus membuat deskripsi umum tentang pangan PRG. Deskripsi tersebut meliputi hasil panen, proses transformasi PRG, tipe, dan tujuan modifikasi bahan dasarnya. Deskripsi harus cukup membantu memberi penjelasan tentang sifat pangan yang hendak diuji keamanannya.

"Nanti kalau sudah ada masukan, pedoman ini akhirnya kita dijadikan pedoman umum untuk melaksanakan pengkajian keamanan pangan produk rekayasa genetik. Ini bentuk kehati-hatian pemerintah dalam mengatur pangan hasil rekayasa genetik. Kita masih menerima masukan dari masyarakat," kata Suryana. (MAR)

Koalisi Ornop Tolak Komersialisasi Produk Transgenik


Jakarta, Kompas - Rabu, 23 Februari 2005
Penerapan produk kapas transgenik di Sulawesi Selatan-yang berbuntut masalah-dan pengalaman negara-negara lain yang mengizinkan peredaran produk transgenik memicu penolakan terhadap komersialisasi produk transgenik di Indonesia. Di Jakarta, penolakan diungkapkan Koalisi Ornop untuk Keamanan Hayati dan Pangan.

Selain itu, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf juga menyatakan hal serupa. Sonny, yang semasa menjadi menteri pernah dilobi pihak Monsanto agar mendukung penanaman produk kapas transgenik, mendukung moratorium produk transgenik di Indonesia.
"Dimensi ketidakadilan produk transgenik besar karena petani akan bergantung penuh pada perusahaan besar untuk benih, pupuk, dan obat-obatan," kata Sonny dalam diskusi bertema "Kasus Suap Kapas Transgenik dan Penyelesaiannya" yang diselenggarakan Koalisi Ornop untuk Keamanan Hayati dan Pangan di Jakarta, Senin (21/2).

Alasan lain penolakan adalah risiko dampak lingkungan yang ditimbulkannya, yang di negara lain-seperti Argentina-terbukti membahayakan kehidupan lebah, ikan, dan burung. Semua disebabkan racun herbisida penangkal hama. Berdasarkan data dari Koalisi Ornop, penerapan kedelai transgenik RR di Argentina telah membuat petani bergantung sepenuhnya pada perusahaan penyuplai benih. Dampak lain, penggunaan herbisida sebanyak 28 juta liter pada periode 1997/1998 naik menjadi 100 juta liter pada tahun 2002.

"Kami menolak dampak sosial ekonomi kepada masyarakat. Kalau untuk kepentingan ilmiah di laboratorium, silakan saja," kata Tedjo Wahyu Jatmiko dari Koalisi Ornop.
Disinyalir, komersialisasi kapas transgenik merupakan sasaran antara, sebelum akhirnya meluncurkan tanaman bernilai ekonomis tinggi, seperti jagung dan kedelai.
Menurut pengajar di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas Santosa, produk transgenik yang telah melalui uji analisis keamanan pangan sulit dibuktikan berbahaya dalam waktu dekat. "Potensi risiko tetap ada sehingga harus menerapkan prinsip kehati-hatian," kata dia.

Karena itu, sebelum dinyatakan aman untuk ditanam massal, produk transgenik harus lolos analisa risiko lingkungan (ARL) yang komprehensif. "Jangan tergesa-gesa untuk memutuskan," kata mantan Ketua Tim ARL Kapas Transgenik di Sulawesi Selatan yang mengundurkan diri karena berbeda sikap tersebut.
Saat itu, ia mengajukan usul tiga tahun untuk menganalisis risiko lingkungan yang komprehensif, terbuka, dan melibatkan berbagai disiplin ilmu sebelum keluar kebijakan penanaman skala komersial kapas transgenik di Sulawesi Selatan. Di sisi lain, ada kelompok yang menentang usul itu. Belakangan, pihak Monsanto mengungkapkan bahwa persetujuan penanaman kapas transgenik diwarnai suap terhadap sekitar 140 pejabat Indonesia.
Daftar tunggu

Di tengah pro dan kontra komersialisasi produk transgenik di Indonesia, menurut informasi dari Konphalindo, terdapat sekitar 27 produk transgenik lain yang sedang dikembangkan di Departemen Pertanian.
Salah satu kekhawatiran yang muncul, produk-produk itu satu per satu dilepas tanpa didahului sosialisasi dan kajian risiko komprehensif. Hingga kini, pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengaku belum mengetahui perihal daftar tunggu produk transgenik yang tengah dikembangkan di Departemen Pertanian.

"Sepanjang masih riset memang tidak harus ada pemberitahuan kepada kami," kata Asisten Deputi Urusan Kajian Dampak Lingkungan KLH Dana A Kartakusuma.
Menurut Dana, yang mendesak adalah mengembangkan tata laksana kajian risiko lingkungan terhadap produk-produk transgenik. "Ratifikasi Protokol Cartagena dan Kyoto perlu segera ditindaklanjuti perangkat hukum yang jelas di Indonesia," katanya. (GSA/VIN)

Call for papers, Annales Bogorienses Vol. 10 No. 2, December 2005

Dear All,

We are inviting contributors to submit drafts for scientific papers to be published in our December 2005 edition of Annales Bogorienses (Volume 10, Number 2, 2005). The draft should be submitted to the editors by 30 September 2005 following the attached guidelines for authors.

Annales Bogorienses (ISSN: 0517-8452) is a six-monthly peer-reviewed scientific journal published by the Research Centre for Biotechnology, the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) in collaboration with LIPI Press.

Editor in Chief

Dr. M. Ahkam Subroto


Associate Editors

Dr. Bambang Sunarko

Dr. Adi Santoso

Dr. Wien Kusharyoto

Dr. Satya Nugroho



Editor Office: Gedung Perpustakaan, Research Centre for Biotechnology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Kabupaten Bogor, Indonesia, Phone: 62-21-8751527, Fax: 62-21-8754588, E-mail: annales@lipi.go.id.



------------------------------------------------------------------------------------------------


Guide for authors


1. Types of contribution


This journal publishes peer reviewed original scientific papers, reviews, short communications, and technique papers in the fields of life sciences. Main interests areas are biotechnology, molecular biology and biochemistry. Reviews will be written by invitation, however, unsolicited reviews will also be considered for publication if prospective authors first contact the Executive Editor to check the suitability of their proposed subject matter.


2. Manuscript preparation

General. Papers should be in English. Manuscripts must be typewritten preferably using word processor package of Microsoft Word, double-spaced with one centimeter margins on all side of white paper. The lines on each page of the text should be numbered to aid the reviewers. Good quality printouts (A4 size paper) with a font size of 12 of Courier New type are required. For original scientific paper, the manuscript should not be more than 25 pages. For mini-reviews and short communications, the manuscript should not be more than 12 pages.

Three sets of original manuscript and three sets of original figures including the disk must be submitted. Paper sent out to the authors for revision should be returned within seven days; otherwise they will be treated as new submissions. Rejected manuscripts will be returned to the authors from the Editors. Original manuscripts are discarded one month after publication unless the Publisher is asked to return original material after use.

The Editors reserve to right to adjust style to certain standards of uniformity. Authors should retain a copy of their manuscript since we cannot accept responsibility for damage or loss of papers. Three copies of manuscripts and the disk should be sent to:

Editor of Annales Bogorienses

Research Centre for Biotechnology

Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Jln. Raya Bogor KM 46

Cibinong 16911

Kabupaten Bogor

Indonesia

E-mail: annales@lipi.go.id


Title page

- The name(s) of the author(s)

- A concise and information title

- The affiliation(s) and address(s) of the author(s)

- The e-mail address, telephone and fax numbers of the communicating author

Abstract should be a brief summary of the paper and should present the most important results and conclusions in no more than 200 words. Besides written in English, abstract should also be written in Indonesian.

Keywords, three to five, should be supplied after the abstract for rapid scanning of the contents of the paper and used for compiling the index.

Abbreviation should be defined at first mention in the abstract and again in the main body of the text and used consistently thereafter.

The Introduction section should contain a brief survey of the relevant literatures and the reasons for doing the work.

The Materials and methods section should provide sufficient information to permit reproducibility of the experimental work.

The Results section should be presented as concisely as possible, where appropriate in the form of tables or figures. Full details of replication of results and statistical significance of differences claimed should be given.

The discussion section should deal with the significance of the results and their relationship to the object of the work. Comparison with relevant published work should be made and conclusions drawn.

References. The list of references should be arranged alphabetically by authors' names. The manuscript should be carefully checked to ensure that the spelling of authors' names and dates are exactly the same in the text as in the reference list. References should be given in the following form:

Lau, O.W., K.K. Shiu & S.T. Chang. 1985. Determination of ascorbic acid in vegetables and fruits by differential pulse polarography. J. Sci. Food. Agric. 36: 733-739.

Elizur, A., Y. Haupt., R.G. Tearle., & A.J. Howells. 1990. Gene and genome structure in Diptera: comparative molecular analysis of an eye colour gene in three species. In: J.S.F. Barker., W.T. Starmer., & R.J. (Eds.). Ecological and evolutionary genetics of Drosophila. Plenum Press, New York, pp. 337-358.

Hearn, M.T.W., F.E. Regnier & C.T. Wehr (Eds.) High performance liquid chromatography of protein and peptides. Proceedings of 1st International Symposium. February 11-12, 1982. New York.


Illustrations and Tables

All figures (photographs, graphs or diagrams) and tables should be cited in the text, and each numbered consecutively throughout. They should accompany the manuscript, but should not be included within the text. All illustrations should be clearly marked on the back with the figure number. All figures should be in black and white. However, colored figures will be accommodated with the cost will be paid by the authors.

Line drawings. Good quality printouts on white paper produced in black ink are required. The inscriptions should be clearly legible.



Size of figures. Original photographs must be supplied as they are to be reproduced. If necessary, a scale should be marked on the photograph. Please note that photocopies of photographs are not acceptable.



Figure legends must be brief and self-sufficient explanations of the illustrations.

Tables should have a title and a legend explaining any abbreviation used in that table. Footnotes to tables should be indicated by superscript lower-case letters (or asterisk for significance values and other statistical data).

3. Offprints

Ten offprints will be supplied free of charge to the first author. Offprints can be ordered using the order form sent to the corresponding author after the manuscript has been accepted.

How Pathogens Manipulate Host Cell Membranes for their Own Purposes

Press Release 0513, June 22, 2005
Versatile Bacteria Toxin
How Pathogens Manipulate Host Cell Membranes for their Own Purposes
Some aggressive bacteria are capable of penetrating human body cells and then destroy them from the inside. Just how this is done, for example, by the food germ, Listeria monocytogenes, has been studied by a team of scientists from the German Research Centre for Biotechnology (GBF) in Braunschweig and the University of Giessen. Their findings: the bacteria secrete a toxin that causes major alterations to the surface of host cells. These pathogens are then able to overcome the cell's defence mechanisms, making it easier for them to penetrate the cell. The results of the study have been published in the journal, Cellular Microbiology.
The primary boundary of life is defined by the cell membrane, an oily sheet made up of various fat molecules and proteins. In order to integrate and communicate important signals from the "outside world" into the cell, the proteins and fat molecules which make up the cell membrane have to work in a coordinated fashion. For that, some of the proteins and fat molecules are concentrated into viscous assemblies called "rafts". "These rafts," explains GBF work group leader, Dr. Siegfried Weiss, "are the key for many biochemical processes since they provide anchorage to many important regulatory molecules. Rafts are therefore in essence the ´trigger spots` where the cell processes signals received from the outside."
These key areas are the focus of Listeria monocytogenes. The bacteria produce a cell toxin that induces several small raft regions on the cell's surface to aggreagate together into a big, "super raft". "By this mechanism, the bacteria are able to activates the the rafts-associated regulatory molecules," says GBF junior scientist Nelson Gekara, "and these trigger different responses in the cell which for intance leads to a block in the cell´s defense mechanisms, much to the advantage of the invading bacteria." Furthermore, the rafts also function as a port-of-entry for the pathogens.
Listeria monocytogenes enters the human body from contaminated foodstuffs and can trigger intestinal ailments. People with weak immune systems are especially susceptible and therefore prone to the characteristic complications such as meningitis and abortion which stem from such infections.
"The mechanism with which Listeria attacks the surface of the targeted cell can tell us a lot about basic principles of infection," emphasizes Weiss. "We suspect that other, medically far more important pathogens proceed in a similar manner - for example, Streptococci or Bacillus anthracis, the anthrax pathogen." Weiss hopes that the Listeria cell toxin can help scientists better understand the function and importance of rafts on human cell surfaces.
Additional information
More information can be found in the original article:
Gekara, N., Jacobs, T., Chakraborty, T. and Weiss, S. "The cholesterol dependent cytolysin Listeriolysin O aggregates rafts via oligomerization". A pre-publication online version of the article is available on the Web site of the journal Cellular Microbiology: http://www.blackwell-synergy.com/loi/cmi
Photo material available at: www.gbf.de/presseinformationen -- GBF - Gesellschaft für Biotechnologische Forschung mbh - Presse- und Öffentlichkeitsarbeit - Mascheroder Weg 1 D - 38124 Braunschweig
Tel +49 (0) 531.6181-508 Fax +49 (0) 531.6181-511 http://www.gbf.de oder http://www.gbf.de/presse

Wednesday, June 29, 2005

Peneliti Indonesia Diundang ke Jerman

Minggu, 19 Juni 2005

Indonesia akan mengirimkan lima orangwakil dalam pertemuan the 55th Nobel Laureates Meeting yang diadakan di Lindau, Jerman, 26 Juni-1 Juli.

Mereka yang terpilih menjadi delegasi Indonesia, yakniAnto Tri Sugiarto, peneliti pada Pusat PenelitianKalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI); Arief Budi Witarto,peneliti bidang Protein Engineering Divisi MolekularBiologi Puslit Bioteknologi LIPI; Dian Pratiwi,mahasiswi S-2 semester 8 Jurusan Dermatologi danVeneorologi FKUI; Ismunandar, dosen Fakultas KimiaITB; serta Nurul Taufiqu Rochman, peneliti LIPI.
Kelima orang tersebut merupakan peserta yang lolospada dua tahap seleksi, yakni pada Desember 2004 dan10 Maret lalu. Adapun mereka yang ikut seleksi terdiriatas berbagai lembaga iptek dan perguruan tinggisebanyak 18 orang, antara lain dari UniversitasDiponegoro (Undip), Institut Teknologi 10 NovemberSurabaya (ITS), Universitas Indonesia, Badan PusatPengkajian Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan danAntariksa (Lapan), Badan Tenaga Atom Nasional (Batan),Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), danInstitut Teknologi Bandung (ITB). Para peserta seleksiberlatar belakang mahasiswa S-1, S-2, dan S-3.
Dalam pertemuan antara peserta seleksi dan MenristekKusmaryanto Kadiman di Jakarta kemarin, Menristekmenjelaskan Indonesia sebelumnya tidak diperhitungkankarena prestasinya di bidang akademik kurang sekali."Jumlah peserta seleksi pun sangat minim. Dilihatdari jumlah paper penelitian, paten, tulisan-tulisanyang dikutip, semuanya nyaris tak terdengar, sehinggamembutuhkan lobi yang terus-menerus untuk mendapatkanundangan ini," katanya.

Untuk itu ia mengharapkan, adanya undangan pertemuandengan para peraih Nobel di seluruh dunia memicu parapeneliti Indonesia untuk giat melakukan penelitianyang hasilnya bisa dimanfaatkan orang banyak.
Penasihat Menristek dari Jerman Alexander P Hansenmenjelaskan, keikutsertaan Indonesia dalam pertemuandi Lindau ini merupakan pertama kalinya. "Hanya tiganegara di Asia yang khusus diundang oleh LindauCommittee, yakni China (34 orang) dan India (47).Indonesia merupakan negara Asia ketiga yang diundangdan dipilih karena merupakan negara yang sangat luasdengan jumlah penduduk besar. Kali ini hanya limaorang yang dibawa ke sana." (Nda/H-4).

Sumber : Media Indonesia (18 Juni 2005)

Kloning Terapi Makin Jadi Kenyataan

Minggu, 19 Juni 2005

ISTILAH "kloning" selama ini lebih banyak memberikankesan menakutkan daripada harapan. Ini dikarenakanperkembangan teknologi kloning yang muncul lebih banyak mengarahkepada kloning reproduksi, yaitu membuat individu baruyang identik. Walaupun banyak pula manfaatnya, terutamauntuk peternakan seperti pemuliaan sapi unggul, tetapisangat mudah disalahgunakan untuk menciptakan manusia kloning yangsangat kontroversial.

Kloning yang dinantikan sesungguhnya adalah kloningterapi, yaitu membuat sel, jaringan, sampai organ yangidentik sehingga tidak menimbulkan penolakan untuk keperluanpencangkokan/transplantasi. Ilmuwan dari Korea Selatanberhasil memberikan kontribusi besar menuju kloning terapi itumelalui keberhasilannya mendapatkan sel tunas dariembrio manusia hasil kloning yang dipublikasikan di jurnalScience (19 Mei 2005).

Setahun sebelumnya, kelompok peneliti yang dipimpinoleh Woo Suk Hwang dari Fakultas Kedokteran Hewan,Seoul National University itu, telah berhasil melakukan kloning selmanusia tetapi masih menggunakan sel telur yangmenjadi penerima/akseptor inti sel dan sel somatik/dewasa yangmenjadi pemberi/donor inti sel dari pasien yang sama.

Dalam praktik kloning terapi nanti, hal seperti inijustru jarang terjadi. Seorang pasien laki-laki tidakmungkin menyediakan sel telurnya sendiri karena laki-lakitidak memproduksi sel telur, misalnya. Namun, hasilpenelitian yang dipublikasikan di jurnal Science (12 Maret 2004) itutelah banyak memberikan informasi penting tentang halteknis yang belum diketahui untuk kesuksesan kloning sel manusia.

Dalam tahapan kloning sel, setelah inti sel dari seldewasa ditransfer ke dalam sel telur yang telahdihilangkan intinya, diperlukan waktu untuk sel tersebut didiamkanyang disebut waktu "pemrograman kembali".

Pada saat itu, genom atau keseluruhan DNA dalam intisel yang menjadi cetak biru kehidupan mengalamiadaptasi dari yang sebagian digunakan dan sebagian lagi dimatikanpada sel dewasa menjadi seakan "diformat" kembali.

Setelah itu, sel telur diaktifkan oleh kondisitertentu untuk menjadi embrio. Lalu dikultur dalammedia khusus sehingga embrio berkembang sampai tahap blastosis yangmengandung sel tunas embrio.

Tiga hal penting di atas telah berhasil diperoleh darieksperimen awal ini, yaitu untuk waktu pemrogramankembali diperlukan dua jam. Kemudian, kondisi pengaktifan seltelur lebih baik menggunakan senyawa kimia alami,yaitu calcimycin dan DMAP, pada konsentrasi dan lama waktutertentu daripada dengan cara fisik, seperti medanlistrik atau mekanik yang sebelumnya digunakan.

Terakhir, komposisi media untuk kultur lebih optimaldengan penambahan protein human serum albumin dan gulajenis fruktosa juga pada konsentrasi tertentu.

Berbekal keberhasilan awal itulah, kelompok penelitiyang masih dipimpin oleh peneliti yang sama tetapidengan jumlah anggota yang lebih besar, dari 13 menjadi 24 penelitiitu, mendapatkan pencapaian yang spektakuler dalamwaktu relatif singkat, satu tahun.

Dalam hasil penelitian terbaru ini, sel donor berasaldari pasien laki-laki maupun perempuan dari usia 2tahun sampai 56 tahun.

Untuk lebih mendekatkan pada tujuan kloning terapi,pasien yang memberikan selnya adalah penderitapenyakit yang disebabkan oleh kerusakan sel tertentu sehingga bisadisembuhkan dengan pencangkokan sel normal yang tentusaja harus identik supaya tidak ada penolakan.

Penyakit dan sel yang perlu diganti itu masing-masingadalah penyakit genetik kerusakan imunitas CGH dengansel tunas hematopoetik darah, penyakit kerusakan saraf punggungseperti yang diderita aktor film Superman, ChristopherReeve, dengan sel saraf motorik, dan penyakit diabetes dengansel beta-islet yang memproduksi hormon insulin.

Keberhasilan transfer inti sel dari sejenis sel dewasacukup tinggi, yaitu membutuhkan 5 sampai 48 sel telur,tergantung dari usia perempuan asal sel telur itu,yaitu yang di atas usia 30 tahun umumnya lebih rendah keberhasilannya. Perkembangan embrio hasil kloningsampai menjadi blastosis pun juga tinggi, yaiturata-rata 69,7 persen. Dari blastosis inilah diperoleh sel tunasembrio yang kali ini secara keseluruhan diperoleh 11galur sel. Kebenaran sel tunas embrio itu telah dicek berdasarberbagai penanda berupa aktivitas enzim maupunekspresi protein tertentu. Yang juga penting bahwa sel tunas embrioidentik secara genetik dan imunologi dengan sel pasienyang menjadi donor inti sel telah dikonfirmasi menggunakan beberapasegmen DNA penanda maupun karakterisasi protein MHC dipermukaan sel. Bentuk kromosom sel tunas embrio puntampak normal setelah diamati dengan mikroskop.Terakhir, kemampuan sel embrio tunas untuk berdiferensiasiberubah menjadi sel spesialis telah dicek secara invitro/dalam tabung reaksi maupun in vivo/dalam tubuh.

Setelah keberhasilan ini, apa selanjutnya perkembanganyang dinanti dalam kloning terapi? Bagi pasienpenderita penyakit genetik, perlu dilakukan terapi genetikterhadap sel yang dijadikan donor inti sel agar selembrio tunas yang diperoleh sudah tidak mengandung cacat genetik lagi.Terapi genetik seperti ini telah dikembangkan lebihdulu daripada teknologi kloning sendiri. Setelahberhasil melakukan pencangkokan sel, tantangan berikut adalahpencangkokan jaringan, seperti kulit, pembuluh darah,dan tulang rawan.

Karena jaringan dibentuk oleh sel yang serupa, seltunas embrio hasil kloning dapat ditumbuhkan di atascetakan dari polimer biologi yang sudah dibentuk sesuai denganjaringan yang hendak dibuat. Teknologi rekayasajaringan ini telah dikembangkan sejak tahun 1987 oleh Robert Langer danJoseph Vacanti dari Massachussets, Amerika Serikat.

Sementara pembuatan organ seperti jantung dan hatiyang lebih kompleks membutuhkan waktu penelitian yanglebih lama. Namun jelas, tahapan-tahapan menuju kloning yangbermanfaat untuk kesejahteraan manusia semakin menjadikenyataan dengan keberhasilan tim Korea Selatan ini.

Penulis : Arief B Witarto (Biotek LIPI)
Sumber : Kompas (17 Juni 2005)

Thursday, May 19, 2005

L'Oreal Girls Science Camp

Jakarta,

L'Oreal Indonesia bekerja sama dengan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI menyelenggarakan "L'Oreal Girls Science Camp 2005" yang terbuka untuk siswi smp se-Jabotabek. Kompetisi yang diselenggarakan pada Mei-Juni 2005 itu mengangkat tema "Pemanfaatan Sumber Daya Alam Asli Indonesia untuk Mengatasi Masalah Kehidupan Sehari-hari". Setiap sekolah diwajibkan melakukan penelitian ilmiah untuk mendukung penemuannya.

Richele Maramis, manajer komunikasi korporat dan humas L'Oreal Indonesia , menyatakan bahwa pihaknya ingin memupuk minat sains dari usia sedini mungkin mengingat bidang ini sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Saat ini, lebih dari 35 SMP sudah mendaftarkan diri.

Sumber : Koran Tempo, Kamis 19 Mei 2005

Monday, May 16, 2005

Protein Tanpa Bentuk yang Menjaga Fungsi Otak

Kamis, 5 Mei 2005

kita mengontrol seluruh aktivitas tubuh termasukemosi, kecerdasan, dan menyimpan memori. Untuk itu,penyakit yang menyerang sel otak atau neuron (neurodegenerativedisease) seperti alzheimer, parkinson, dan Huntingtondan Creutzfeldt-Jakob (CJD) berakibat fatal karenamelumpuhkan fungsi kemanusiaan kita yang palingesensial itu.

Penelitian akhir- akhir ini menunjukkan bahwapenyakit-penyakit tersebut disebabkan olehprotein-protein tak berbentuk yang secara alamiah ada dalam sel itu namun berubahmenjadi patogen dengan menunjukkan bentuk/strukturnya.

Pemahaman kita terhadap protein selama ini menyatakanbahwa protein selalu harus memiliki bentuk aliasstruktur agar dapat berfungsi. Protein adalah rantai asam aminodengan panjang minimal 50-an asam amino yang melaluiproses pelipatan (folding) menemukan strukturnya yang unik.Keunikan yang dimaksud, dari 350 kemungkinan strukturyang ada (3 arah sumbu x, y, z dari 50 asam amino penyusun proteindengan ukuran terkecil), hanya satu yang dipilih.

Proses pelipatan ini demikian kompleks dan menyimpanbanyak misteri sehingga kemampuan untuk kita melakukanrekayasa terhadap protein masih terbatas. Tidak heran, salahsatu super komputer tercepat di dunia bernama BlueGene yang dibuat oleh IBM, khusus diperuntukkan buat melakukansimulasi bagaimana protein melipat.

Untuk mengurai kompleksitas struktur protein, ilmuwanmembagi struktur protein berdasar beberapa parameter.Menurut parameter hierarki dalam proses pelipatan, strukturprotein dibagi menjadi struktur primer yaitu sekuenasam aminonya; struktur sekunder yaitu struktur lokal sepertialfa-helix, beta-sheet, turn, dan random; strukturtersier yaitu struktur keseluruhan satu rantai protein; dan terakhirstruktur kuartener yaitu struktur keseluruhan proteinyang memiliki lebih dari satu rantai.

Pentingnya struktur dalam memahami fungsi protein yangsangat beragam mulai dari enzim, hormon, antibodi,reseptor, dan sebagainya tampak dari berbagai usaha penelitimengembangkan teknik untuk menganalisa dan melihatbentuk protein tersebut. Mulai dari teknik kristalografi sinar-X yangdikembangkan oleh Max Perutz dan John Kendrew(menerima Nobel Kimia 1962), teknik mikroskop elektron oleh Aaron Klug(Nobel Kimia 1982), teknik spektroskopi NMR (nuclearmagnetic resonance) oleh Kurt Wuthrich, dan teknik spektrometrimassa oleh Koichi Tanaka serta John Fenn (bertiga,bersama-sama menerima Nobel Kimia 2002).

Usaha menentukan struktur protein secara eksperimendirasa semakin penting sehingga pusat data koordinatstruktur protein yaitu Protein Data Bank menerima penambahandata yang terus bertambah secara eksponensial dandidirikannya konsorsium internasional penentuan struktur protein.Tidak mau kalah, para ilmuwan noneksperimen basah yang mengandalkan kekuatan komputer melakukan prediksi dansimulasi struktur protein yang dikompetisikan setiaptahun. Berbagai pusat data juga dibuat untukmengklasifikasikan protein berdasar strukturnyaseperti SCOP.

Di tengah ingar-bingarnya perhatian terhadappentingnya bentuk/struktur dalam memahami fungsiprotein itu, satu kejutan lahir dengan ditemukannya protein yang secaraalamiah tidak memiliki struktur yang tetap, alias takberbentuk. Stanley Prusiner, penerima Nobel Kedokteran 1997,menemukan bahwa protein bernama prion dalam kondisinormal tidak memiliki struktur yang jelas namun kemudian berubahmenjadi abnormal yang menyebabkan penyakit (bersifatpatogen) dengan membentuk struktur tertentu.

Prion ini menyebabkan penyakit CJD pada manusia dansapi gila/BSE pada sapi atau domba. Dimulai darikondisi normal tak berbentuk, sebagian dari rantai asam amino proteinitu melipat biasanya jadi struktur sekunderbeta-sheet, lalu mulai terjadi pengendapan/agregasi dalam bentuk serat(lihat gambar). Pengendapan yang intensif dalam selotak inilah yang akhirnya menyebabkan sel itu mati. (Gambar)

Mekanisme serupa telah ditemukan sebelumnya padaprotein beta-amyloid yang menyebabkan penyakitalzheimer. Dengan demikian, protein yang telah menjadi serat danmengendap itu dinamakan amyloid-like fibril (seratmirip amyloid). Setelah itu, penyakit kerusakan otak yang pentinglainnya diketahui disebabkan oleh mekanisme yang sama,misalnya protein alfa synuclein pada penyakit parkinson yangdiderita oleh petinju legendaris Muhammad Ali danaktor film Back to the Future, Michael J Fox serta protein Huntingtinpada penyakit huntington. Kehadiran protein-proteinjenis baru yang tak berbentuk ini menjadi penting dan menarikkarena semua berada dalam sel otak. Bagaimana fungsisebenarnya protein-protein itu masih belum diketahui dengan jelasseperti hasil eksperimen dengan tikus percobaan yangtelah dihilangkan gen penyandi protein prionnya tanpamemberikan efek fisiologis yang berarti. Akan tetapiyang jelas ketika "protein siluman yang tak berwajah" ini memperlihatkanbentuknya, terjadilah penyakit-penyakit yangmenakutkan seperti di atas.

Pengobatan

Sampai saat ini belum ada pengobatan yang mujarabuntuk penyakit-penyakit ini sehingga penderitanyaseperti harus pasrah saja menunggu maut sambil terus digerogotikemampuan otaknya. Walau demikian, para peneliti mulaimengembangkan obat hasil bioteknologi, pertama menggunakan antibodi.Seperti dilaporkan penulis (Mencari Obat Penyakit SapiGila, Kompas 23/01/04), pada tahun 2003 Cashman dari Kanadadan Hawke dari Inggris secara terpisah telah berhasilmemperoleh antibodi yang spesifik berikatan dengan protein prionabnormal. Menggunakan antibodi ini, interaksi antaraprotein normal dengan protein abnormal bisa dicegah sehinggaperkembangan penyakit bisa dihambat sampaidisembuhkan. Keberhasilan ini memberi inspirasi untuk mengobatipenyakit kerusakan otak lainnya dengan cara sama.

Bard dan Liu, masing-masing memublikasikan hasilpenelitiannya di jurnal Proc. Natl. Acad. Sci. USA(2003) dan Biochemistry (2004) mengenai pengembangan antibodiyang mengenali protein beta-amyloid penyebab alzheimeryang dapat mencegah pengendapan protein abnormal. Hasilpenelitian ini telah dicoba pada eksperimen invitro(di luar sel, terhadap protein saja) dan invivo (di dalam selseperti kondisi sesungguhnya). Untuk penyakithuntington, Heiser dan Lecerf telah memublikasikan hasil penelitian merekamengenai pengembangan antibodi yang dapat menghambatagregasi protein Huntingtin. Heiser mendapatkan antibodi yangdiberi nama 1C2 yang berikatan dengan sekuen polyQdari protein Huntingtin. Sementara Heiser memperoleh antibodi C4yang mengenali sekuen nomor 1-17 protein Huntingtin.Terakhir, protein alfa synuclein penyebab penyakit parkinsontelah coba dihalangi pengendapannya dengan antibodioleh Emadi tahun 2004. Antibodi yang dikembangkan mengenali dualokasi sekaligus dalam protein alfa synuclein, yaitusekuen nomor 27-37 dan nomor 101-111.

Pembuatan antibodi tidak mudah dan memerlukan biayatinggi sehingga harga produknya menjadi mahal, hal inimendorong dikembangkannya bentuk pengobatan kedua denganbioteknologi. Prof Koji Sode dari Tokyo University ofAgriculture and Technology, tempat penulis dulu menimba ilmu,menggunakan teknik rekayasa protein telah berhasilmembuat protein alfa synuclein versi mutan yang memiliki sifat pengendapandan pembentukan serat, jauh lebih kecil daripadaaslinya. Ketika protein mutan ini dicampur dengan protein asli,pembentukan serat menurun dramatis sampai 10 persendari kontrol tanpa pencampuran protein mutan yang mencapai 100 persen.Diperkirakan, interaksi antara protein mutan danprotein normal itu mencegah terjadinya pengendapan yang berlanjutpada pembentukan serat, sebagaimana mekanismepencegahan oleh antibodi.

Penulis : Arief B Witarto (Puslit Bioteknologi LIPI)
Sumber : Kompas (3 Mei 2005)

Tiga Tahun Lagi, Indonesia Yakin Lepas dari Impor Sapi

Jumat, 8 Januari 2016 Program sapi unggulan berhasil dikembangkan. VIVA.co.id - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasa...